Pemberian gelar Honoris Causa kepada Megawati Soekarno Putri boleh disebut sebagai pucuk gunung es betapa ilmu pengetahuan di Indonesia masih belum lepas atau bahkan semakin terbelenggu oleh kuasa politik dan ideologi negara, walaupun telah banyak rezim yang telah dilalui.
Belum pernah sebelumnya di Indonesia, ada pemberian gelar Honoris Causa yang penulis karya ilmiahnya adalah seorang mantan pemegang tampuk kekuasaan, membahas pencapaiannya sendiri, diinagurasi oleh Universitas di bawah naungan kementerian yang dipimpin oleh oligarki, dan diberi sambutan oleh pemegang tampuk kekuasaan yang satu partai dengan si kandidat dan menjalin politik akomodasi dengan oligarki.
Inagurasi yang akan diselenggarakan pada hari Jum’at, 11 Juni 2021, minimalnya mencoreng dua hal. Pertama, menambah daftar coreng wibawa dunia akademik Indonesia. Jurnalnya yang terbit di Jurnal Pertahanan dan Bela Negara milik UNHAN, membahas soal pencapaiannya sebagai presiden. Megawati menggunakan testimoni menterinya sebagai tolak ukur keberhasilan kepemimpinannya sebagai presiden di periode 2001-2004. Artinya, dari segi bukti ilmiah, administratif dan inagurasi hanya uplek-uplek di lingkaran kuasa. Bukan di lingkaran saintifik.
Di negara-negara demokrasi maju, seperti Amerika misalnya, pembahasan soal pencapaian dan keberhasilan kepemimpinan presiden menjadi jatah lembaga riset presidensil yang memiliki otonomi kredibilitas dan kepakaran khusus. Lembaga ini konsern secara spesifik terhadap apa yang terjadi di pucuk kekuasaan.
Kedua, mencoreng wibawa institusi kepresidenan Indonesia. Inagurasi ini akan meninggalkan kesan bahwa Indonesia pernah memiliki presiden yang ‘narsis’ lewat jalur ‘akademik’. Narsisme ini agaknya menjadi ekspresi kuasa yang terlalu membuncah, yang pada gilirannya akan melemahkan demokrasi itu sendiri: bahwa, gelar akademik pun mudah diobral. Konsekuensinya, kepakaran yang melekat pada pemimpin bukan berasal dari kualitas organik, namun dari hibah kuasa.
***
Pemberian gelar Honoris Causa kepada Megawati adalah alarm untuk mempertanyakan ulang “apa agenda ilmu pengetahuan Indonesia?” Khususnya rumpun ilmu sosial. Apakah hanya menjadi pelayan kuasa? Atau hanya sebagai komoditi gelar? Atau sebagai penyaji opsi-opsi alternatif, evaluasi dan koreksi terhadap masalah kehidupan bersama?
Ini adalah pertanyaan klasik yang telah diperdebatkan puluhan tahun silam, hanya saja kini mengalami evolusi. Dulu di masa baru-barunya Pak Harto berkuasa, ilmu ekonomi beserta pakarnya mendapat posisi yang spesial di mata kekuasaan dan dikerahkan untuk melayani agenda pembangunan ekonomi. Sementara ilmu sosial berada dipinggirnya, dan baru mendapat peran bila agenda pembangunan menimbulkan dampak yang di luar kendali rezim[1].
Pengerahan itu dilakukan dalam rangka sekedar melengkapi kebutuhan formalitas, bahwa sebuah kebijakan telah diambil berdasarkan riset, walaupun arah dan tujuannya telah ditentukan sejak awal. Dan hasil riset itu hanya sebagian kecil yang dibuka secara umum sehingga sulit untuk membahasnya dengan transparan[2].
Kecintaan rezim terhadap ilmu ekonomi memberikan dampak terhadap corak akademik di Indonesia. Ilmu sosial di Indonesia pada masa itu cenderung positivistik dan menyukai angka[3]. Rezim Pak Harto menjinakkan kampus-kampus, dan corak ilmu sosial yang demikian digunakan untuk merawat ideologi dan melunakkan nalar kritis mahasiswa.
Empat prinsip pendidikan Orde Baru: hierarki, kepemimpinan, kekeluargaan dan kedisiplinan[4], akhirnya berkelindan dengan situasi itu dan mewarnai kultur akademik di Indonesia: gelar akademik lebih dipertimbangkan berdasarkan seberapa cocok antara karya ilmiah yang dibuat dan ideologi rezim, dibanding berdasarkan seberapa signifikan substansi dan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Baik dalam institusi nasionalis ataupun islamis[5], kultur ini terjadi.
Proses akademik, pada gilirannya, lebih berfokus pada hierarki (jabatan, usia, dan sejenisnya) dan identitas (bergelar apa, beragama apa, dari suku mana, dll), dibanding berfokus pada substansi premis-argumen ataupun sumbangannya terhadap kemanusiaan. Proses yang seharusnya dipayungi oleh prinsip “saya bisa salah, anda bisa benar, maka mari ngobrol”[6] justru dipayungi oleh prinsip “saya benar, anda tidak tau apa-apa, maka dengarkan dan diam.”
***
Kini, sebagian dari kondisi itu telah berubah, namun sebagian lain masih bertahan. Kultur dan proses akademik saat ini, misalnya, telah mengalami perbaikan secara gradual. Keterbukaan dan egalitarianisme mulai membudaya, khususnya di kalangan pengajar generasi baru. Sementara, sebagian generasi lain ada yang lekang dimakan zaman.
Adanya platform-platform baru seperti website dan media sosial memungkinkan terjadinya kebebasan akademik yang lebih populer. Kritik dan analisa terhadap ketidak-idealan kondisi kehidupan bersama dapat menjangkau publik dengan gaya bahasa yang lebih membumi dan penyajian yang lebih ringkas, baik oleh ilmuan ataupun mahasiswa.
Hal itu dapat memberikan ruang ekspresi bagi publik untuk menuangkan sinismenya terhadap kuasa dan ideologi yang mencengkram sendi-sendi akademik. Masalah kasus TWK misalnya, baik yang isu KPK ataupun LPDP, menunjukkan betapa istilah ‘kebangsaan’, ‘Pancasila’, dan ‘Indonesia’ menjadi istilah yang sangat politis dan termonopoli oleh rezim.
Pancasila misalnya, sering disajikan sebagai sesuatu yang “here, now and this”. Padahal publik berhak mengetahui bagaimana evolusi makna Pancasila dari rezim ke rezim, dan berhak mendapatkan debat soal “mengapa ideologi Pancasila” yang disaji secara kritis, bukan apologetik ataupun romantis.
Akan tetapi, masalah sebenarnya adalah, istilah-istilah politis itu digunakan untuk merantai sendi-sendi akademik: dari mulai dasar hukum, proses seleksi peserta didik, keberpihakan staf pengajar, bahkan hingga tujuan riset. Dampaknya, ilmu sosial di Indonesia kesulitan untuk melakukan koreksi mendasar terhadap praktik penyelewengan ataupun kekerasan ideologis yang dilakukan oleh rezim.
Awetnya kesulitan yang dialami ilmu sosial tidak lepas dari keberpihakan ilmuan dan iklim birokratis kampus. Dulu, di awal Orde Baru, ilmuan-ilmuan ditarik ke dalam lembaga perancang kebijakan yang melingkar di sekitar kuasa[7]. Sementara jumlah ilmuan di kampus-kampus masih belum cukup berenergi untuk menopang kebutuhan pendidikan nasional ataupun untuk melawanan praktik penyelewengan dan kekerasan ideologis.
Kini skemanya agak sedikit berubah. Kampus sebenarnya memiliki cukup energi untuk mengoreksi status quo secara mendasar, namun hal ini terhalangi karena ada tarik-ulur orientasi antara ilmuan yang komitmen dengan kesakralan substansi ilmu pengetahuan dan ilmuan yang lunak bernegosiasi dengan kuasa dan ideologi.
Hal itu juga sayangnya dibebani oleh masalah rebutan kapital[8]. Negosiasi yang dilakukan ilmuan terhadap kuasa kadang bertujuan untuk mendapatkan keleluasaan otoritas agenda riset ataupun keleluasaan jabatan. Sebagai timbal balik, rezim menitipkan agendanya ideologis dan politiknya di dalam kampus melalui jejaring ilmuan tadi.
Hal itu terjadi karena di lain sisi ada desakan administratif yang sangat menentukan kesejahteraan hidup ilmuan, seperti misal akumulasi kredit publikasi ilmiah dan kewajiban mengajar, yang antara selisih ketersediaan waktu dan bobot ideal publikasi ilmiah yang ia harapkan, sering kali tidak terkejar. Sehingga, melunak terhadap kuasa dan ideologi kadang dapat menjadi pilihan yang dapat merelaksasi tekanan kewajiban, namun sekaligus lebih mensejahterakan.
***
Ibu Megawati adalah pucuk dari rantai kuasa yang telah lama terkonsolidasi dalam sendi anggaran, birokrasi, dan arah institusi ilmu pengetahuan di Indonesia, sehingga mempermudah proses pertukaran antara kapital ke kampus dan legitimasi akademik dari kampus ke politisi. Ini menjadi repot ketika pengaruh partai dan oligarki juga ikut terlibat.
Kalau situasi ini dibiarkan hingga menjadi ‘tradisi.’ Maka, konsekuensi jangka panjangnya, tidak mustahil bila distorsi ideologi yang jauh dari prinsip ilmiah akan mengakuisisi mata kuliah di kampus, debat di selasar, buku sekolah anak-anak, dan apapun yang menjadi ruang tukar pikiran, sepenuhnya. Ini hal kecil, namun resikonya, Indonesia dapat menjadi negara yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri.
Bibliografi
[1] Soemarjan, Selo. 1994. “Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia Mandeg.” Prisma, No.1, Januari 2004
[2] Abdullah, Taufik. 1983. “Ilmu Sosial dan Peranannya di Indonesia.” Prisma, No.6, Juni 1983
[3] Vedi Hadiz & Daniel Dhakidae. 2006. “Pengantar”, dalam Vedi Hadiz & Daniel Dhakidae (ed.) Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox
[4] Bourchier, David. 2016. Illiberal Democracy in Indonesia. New York: Routledge
[5] Mochtar, Affandi. 2001. Membedah Diskursus Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Kalimah
[6] Kleden, Ignas. 1983. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
[7] Ibid. Abdullah.
[8] Nugroho, Heru. 2005. “Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi,” dalam Vedi Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.) Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox