Razia buku yang berbau komunis dan Marxisme terjadi di salah satu kota di Indonesia dan perampasan buku itu dilakukan aliansi yang menamakan dirinya Ormas Brigade Muslim. Tujuannya apa? Kata mereka, menghentikan penyebaran paham yang menurut mereka akan membahayakan masa depan generasi bangsa. Sayangnya, niat nan ‘mulia’ ini malah salah sasaran, salah satu buku yang diboikot peredarannya adalah karya Franz Magnis-Suseno yang kontennya justru kontradiktif dengan ajaran Marxisme-Leninisme itu sendiri.
Kejadian ini tentu saja tidak hanya menggelikan, namun juga sebenarnya merupakan indikator bahwa generasi muslim kita semakin insecure terhadap dinamika kehidupan di sekeliling mereka. Menurut mereka, memiliki iman yang kuat bukan persoalan internal manusia, tetapi urusan seluruh manusia, termasuk yang nonmuslim sekalipun. Jadi, jangan heran jika apa-apa yang sekiranya akan melemahkan iman, harus dibumihanguskan sesegera mungkin tanpa melihat secara mendalam substansinya seperti apa.
Tindakan buru-buru untuk merazia buku yang tampak kekirian tanpa pernah membacanya terlebih dulu, memperlihatkan juga bahwa generasi kita semakin malas untuk berpikir rasional. Tanpa pernah membaca atau bahkan membuka isinya, mereka menganggap bahwa mereka sudah bertindak heroik dan melakukan jihad fii sabilillah. Padahal, salah satu perintah dalam AlQuran adalah iqra’ alias bacalah!
Bagaimana mereka bisa mengaku jihad, lha wong anjuranNya saja belum dilakukan! Makanya main rampas buku saja salah sasaran?
Tidak sinkronnya tindakan mereka dengan apa esensi ajaran Islam sebenarnya dapat dikatakan bahwa generasi kini semakin manja dalam ihwal mujahadah peningkatan iman dan taqwa. Dilahirkan di era yang serba instan, membuat mereka tidak hanya tergesa-gesa dalam menerjemahkan ayat dan ajaran, tetapi juga meniatkan ibadah untuk mengejar pengakuan publik bahwa mereka adalah barisan mujahid yang telah membela agama Allah dengan segenap jiwa raga. Meski, mereka sendiri tidak paham latar belakang dan dampak masif atas tindakan yang mereka lakukan.
Bukan hanya paham komunis saja, yang dianggap sebagai momok ideologi yang perlu ditakuti, asap daging babi pun menjadi semacam virus yang mematikan, akibatnya penutupan paksa restoran yang menyajikan menunya perlu segera dilaksanakan. Melihat hal ini, jelas bahwa sindrom ketakutan generasi muslim kita perlu segera dihentikan.
Phobia berlebihan terhadap hal-hal haram ini sesungguhnya ada batasnya. Toh, kita hidup di lingkungan yang dirahmati dengan keragaman suku, bangsa, dan agama.
Bila kita terus menerus memaksa orang lain untuk menghargai dan menuruti keinginan kita, bukankah itu sama halnya seperti anak-anak kecil yang merengek untuk dituruti semua keinginannya? Atau jangan-jangan generasi muslim sekarang sudah mengidap penyakit keras hati yang akut? Karena saya tiba-tiba teringat jawaban almarhum Gusdur ketika ditanya tanda-tanda keras hati, “saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh, tapi saat membaca AlQuran tak sedikitpun hatimu tersentuh.”
Wallahu a’lam.