Dampak sosial kaum imigran non-Eropa yang berduyun dan beranak-pinak di negeri kaum kulit putih pernah terlintas dalam pikiran saya ketika orang-orang dari negara yang berkonflik di Timur Tengah mengungsi ke negara-negara Eropa dan negeri kaum kulit putih lainnya. Tak jelas apakah para pengungsi itu akan kembali atau bertahan sebagai pengungsi selamanya.
Saya merasa aneh menyebut “negeri kaum kulit putih”. Apakah warna kulit adalah sejenis kekuasaan atau pemegang sejenis hak eksklusif atas tempat tertentu?
Perasaan aneh saya itu terjawab hari ini.
Manifesto Brenton Tarrant, “The Great Replacement: Towards A New Society” membuat saya terhenyak.
Tarrant, pemuda kulit putih, hari ini membantai kaum imigran di sebuah masjid di Selandia Baru. Bagi Tarrant, mereka yang shalat Jumat di masjid itu adalah para penjajah.
Dalam manifesto itu termuat gugatan orang kulit putih yang terdesak oleh kaum imigran di negeri mereka sendiri. Tarrant menyebut kaum imigran sebagai “white genocide” — pemusnah bangsa kulit putih.
Sepertinya Tarrant bukan hanya membenarkan aksi pembantaiannya. Dia menyiarkan aksi pembantaiannya itu di media sosial.
Tarrant adalah juga seorang pembantai yang “ideologis” dan terpelajar. Ironis. Dia tak sekadar protes dan marah terhadap nasib kaumnya, manusia-manusia kulit putih di Tanah Air mereka sendiri.
Di awal manifesto yang terkesan rasis itu dikutip puisi Dylan Thomas. “Jangan bersikap lembut kepada malam yang baik itu!”
Tapi Tarrant dan manifestonya itu sungguh jauh dari keindahan puisi.