Bondan Winarno, Ustadz Televisi dan Kisah Seorang Guru Ngaji

Bondan Winarno, Ustadz Televisi dan Kisah Seorang Guru Ngaji

Bondan Winarno memang telah tiada, tapi tulisannya abadi, seperti kisah Guru Ngaji berikut ini

Bondan Winarno, Ustadz Televisi dan Kisah Seorang Guru Ngaji

Masih segar di ingatan kita betapa hebohnya kejadian salah tulis ayat yang dilakukan oleh salah seorang ustazah di sebuah stasiun televisi. Foto kesalahan penulisan ayat itu viral di dunia maya dan memantik banyak reaksi. Kesalahan penulisan ayat memang bukan perkara sepele, sebab salah tulis akan mengubah makna kata/kalimat. Meski pihak televisi dan ustazah telah memberikan klarifikasi, kegaduhan terjadi dalam waktu yang tak sebentar.

Membincang tayangan agama di televisi sebetulnya problematis. Di satu sisi, jika diampu ustaz yang mumpuni, pemirsa akan mendapat banyak pengetahuan dan pencerahan. Namun di sisi lain, kompetensi pengisi acara agama di televisi kerap dipertanyakan. Kita tentu masih belum lupa pernyataan seorang ustaz di televisi yang mengatakan ada “pesta seks di surga”. Pernyataan itu memancing keributan warganet dan menimbulkan gaung yang panjang.

Kita tentu berharap kesalahan serupa itu tidak terulang. Televisi mestinya bisa melakukan seleksi ketat, tidak hanya ustaz/ustazah pengisi acara keagamaan, namun juga tim yang terlibat. Kompetensi (dasar) dalam bidang agama mestinya sudah terpenuhi. Jika kesalahan demi kesalahan masih terjadi, masyarakat yang dirugikan. Mereka akan tenggelam dalam kegaduhan tak berkesudahan.

Mencermati fenomena ustaz televisi saya teringat salah satu cerpen Bondan Winarno. Ya, Bondan Winarno yang moncer dengan ucapan mak nyus itu. Ia memang lebih dikenal sebagai pembawa acara kuliner dan jurnalis yang menulis laporan invertigasi kelas wahid ((Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi). Yang barangkali tak banyak diketahui, Bondan juga menulis cerpen dan telah dibukukan dengan tajuk Petang Panjang di Central Park (Noura, 2016). Salah satu cerpen di buku itu begitu melekat di benak saya: Abus.

Cerpen Abus berkisah tentang seorang guru ngaji di Kampung Petekan. Nama asli Abus adalah Bustomi. Tokoh Aku dan teman-temannya yang memberi panggilan Abus (dari Abu Bustomi). Alkisah, tokoh Abus adalah seorang guru ngaji yang galak. Suatu hari tokoh Aku kena gebuk rotan Abus. Lantaran sakit hati, tokoh Aku merencanakan pembalasan. Ia memilih membubuhkan cabai dan merica pada siwak yang biasa dipakai Abus. Kontan Abus marah besar. Tak ada yang berani berangkat ngaji setelah tragedi subuh itu.

 

Tokoh Abus sebetulnya tidak galak-galak amat. Selain jadi guru ngaji, Abus juga berjualan bubur kacang hijau. Ia amat murah senyum saat berjualan. Buburnya yang enak itu laris dan selalu ludes. Uang hasil berjualan bubur ia tabung dalam ruas bambu dan, yang mengejutkan, saat jumlahnya telah cukup uang tabungan digunakan untuk naik haji.

Di usia 83, Abus berangkat haji, untuk ketujuh kali.

Sebelum berangkat haji, Abus minta ditahlilkan. Anggap saja aku sudah mati, kata Abus. Seolah pertanda, Abus memang tak pernah kembali dari Tanah Suci. Namun, warga Kampung Petekan dikejutkan munculnya Abus setelah tujuh tahun kepergiannya. Ayah tokoh Aku menjamu Abus yang tampak amat renta. Abus minta sayur lodeh dan ikan asin. Setelah makan dengan lahap dan berterima kasih, Abus meninggal. Tokoh Aku menyesal karena belum sempat mengaku dan meminta maaf kepada Abus.

Tokoh serupa Abus mungkin mudah kita jumpai di kehidupan kita. Seorang guru ngaji di kampung yang sederhana dan sahaja. Mengajar dengan penuh ketulusan tanpa pamrih. Meski digambarkan galak, namun itu hanya satu sisi kepribadiannya saja. Membandingkan Abus sang guru ngaji Kampung Petekan dengan ustaz televisi rasanya kontras betul. Tampaknya memang ada pergeseran makna ustaz di zaman kiwari ini.

Bondan dan Cerita Pendek

Buku kumpulan cerpen Petang Panjang di Central Park yang memuat cerpen Abus  sebelumnya pernah terbit dengan judul Pada Sebuah Beranda (memuat 25 cerpen Bondan periode 1980-2000). Cerpen-cerpen Bondan antara lain pernah terbit di Kompas, Horison, Matra, dan Femina. Buku itu meneguhkan posisi Bondan sebagai cerpenis unggul.

Bondan mengaku gagasan mengumpulkan cerpennya dalam satu buku bermula saat ia ingin memberikan hadiah bagi teman dan keluarga di ulang tahunnya yang ke-55. Ia ingin menunjukkan bahwa sebetulnya ia adalah penulis, temasuk menulis cerpen. Bagi Bondan, menulis cerpen adalah sebuah penawar jenuh dari rutinitas kerja seorang wartawan, penyegaran di tengah deadline yang sambung menyambung.

Tatkala membaca cerpen-cerpen Bondan sebagian pembaca mungkin tak sadar sudah sampai di akhir cerita, saking asyiknya mengikuti cerita dan mahirnya sang pengarang mengikat pembaca. Benar belaka apa yang disampaikan Goenawan Mohamad mengenai cara menulis Bondan. Menurutnya, Bondan memiliki kecakapan bertutur, yang memikat dari awal sampai akhir. Tak aneh pula jika Seno Gumira Ajidarma mengatakan Bondan adalah penulis piawai, dalam arti terjamin enak dibaca, memberi pengetahuan, dan seleranya berkelas.