Bom Bunuh Diri Makassar Adalah Bukti Tidak Seimbangnya Ilmu dan Cinta

Bom Bunuh Diri Makassar Adalah Bukti Tidak Seimbangnya Ilmu dan Cinta

Bom Bunuh Diri Makassar Adalah Bukti Tidak Seimbangnya Ilmu dan Cinta
foto diduga pelaku bom bunuh diri di gereja katedral makassar (sumber: Twitter)

Indonesia kembali berduka dengan adanya kejadian bom bunuh diri di Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus atau Katedral Makassar pada Minggu (28/3/2021), sekitar pukul 10.30. Merujuk kabar yang dilansir Cnnindonesia.com, bom meledak saat umat Katolik sedang melaksanakan misa Minggu Palma, awal dari perayaan pekan suci. Pekan Suci atau Minggu Sengsara merupakan rangkaian satu minggu menjelang paskah untuk merayakan wafatnya Isa Al-Masih dan kebangkitan Yesus. Rangkaian pekan suci dimulai dari Minggu Palma, Kamis, Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci dan Minggu Paskah.

Kasus bom bunuh diri di Indonesia bukanlah hal baru. Sebelumnya, kasus serupa sudah banyak terjadi, yaitu kasus bom Bali I pada 12 Oktober tahun 2002, bom Bali II 2005, bom hotel JW Mariott Jakarta 2003, bom Kalimalang 2010, bom Masjid Cirebon 2011, bom Sarinah 2016, hingga bom Kampung Melayu Jakarta 2017. Entah bagaimana ceritanya, para tokoh-tokoh agama radikal bisa sangat sukses melanggengkan doktrin yang sesat ini.

Bom bunuh diri di Katedral Makassar tersebut tentu sangat merugikan, baik materiil dan moril, bagi jemaat gereja itu sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Meskipun tidak ada korban jiwa dari pihak jemaat, namun trauma akan terus menghantui umat-umat Katolik di Indonesia, khususnya di wilayah tersebut. Di sisi lain, kerugian moril tentu tidak hanya dirasakan oleh korban di kejadian, namun juga dirasakan oleh kelompok yang “direpresentasikan” oleh sang pelaku, sebut saja umat Muslim yang selalu menjadi pusat perhatian atas rentetan kejadian terorisme di Indonesia.

Pertanyaannya, mengapa umat Muslim bisa beribadah dengan nyaman dan tenang, bahkan pelantang masjid pun meraung secara keras yang pada derajat tertentu cenderung mengganggu orang lain, namun Islam tetap tidak mendapat tindakan teguran berarti terhadap hal ini? Kontras dengan itu, ketika umat agama lain ingin melakukan ibadah, kenapa mereka harus berpikir dan meyakinkan diri ribuan kali supaya ibadah mereka aman?

Tidak usah berpikir jauh-jauh tentang ibadah yang nyaman, tenang, dan tentram, mereka bisa beribadah dengan aman saja sudah patut disyukuri. Orang-orang Kristen seringkali kesulitan dalam membangun gereja, dan jikapun diizinkan, birokrasinya biasanya berbelit-belit. Memprihatinkan sekali bukan?

Jika memang oknum yang melakukan kekejian itu merupakan orang Islam, pertanyaannya, ajaran Islam macam apa yang melatarbelakangi motif bom bunuh diri ini?

Dalam al-Qur’an saja, jika dilacak, hanya sekitar 2,1% ayat yang berbicara mengenai perang. Perlu diingat bahwa ayat-ayat kekerasan tersebut bersifat kontekstual, artinya ia turun dengan konteks tertentu ketika umat Nabi Muhammad telah terdesak oleh ketidakadilan, dan meskipun begitu, umat Muslim tidak serta merta diizinkan untuk berperang. Yang perlu dicatat juga, bahwa ayat-ayat perang yang muncul dalam al-Qur’an adalah bersifat defensive. Artinya umat Islam harus terlebih dahulu dalam posisi yang terintimidasi, baru perintah untuk melawan tersebut dikeluarkan.

Sebagai muslim, kita memang diajarkan untuk sangat mencintai agamanya. Tentu kita sangat familiar dengan frase “cinta Islam sampai mati, “la ilaha illallah muhammadurrasulullah”. Doktrin ini adalah benar dan wajar. Ia mengajarkan keteguhan hati dan memeluk Islam secara kaffah. Akan tetapi, doktrin ini menjadi salah kaprah ketika cinta itu tidak diiringi dengan ilmu yang memadai. Sangat memprihatinkan.

Orang-orang yang terlalu cinta kepada agama tanpa ilmu yang memadai kemudian menjadi sangat mudah terombang-ambing oleh realitas sosial. Termasuk sangat mudahnya mereka terpancing dan terpapar oleh ideologi-ideologi radikal. Para kelompok-kelompok ekstremis ini menjanjikan doktrin yang mengakomodir kecintaan mereka terhadap Islam. Caranya, para ekstremis ini menanamkan doktrin bahwa umat Islam adalah korban kedzaliman, dan tidak mempunyai banyak pilihan, pada akhirnya aksi terorisme menjadi satu-satunya upaya mereka untuk menyerang balik terhadap pihak yang mereka pikir menciptakan ketidakadilan itu.

Seakan-akan sesuai dengan ayat Qur’an tentang peperangan yang dijelaskan di atas, bukan? Ya, namun playing victim ala radikalisme ini hanyalah sebuah pseudo yang ditanamkan pada korban-korbannya. Mengapa mereka sangat mudah dicekoki doktrin-doktrin palsu tersebut, ya karena mereka memang tidak mempunyai kapasitas ilmu yang memadai tentang ke-Islaman, orang-orang ini sangat mudah dieksploitasi demi keinginan dan ambisi kelompok-kelompok tersebut.

Cinta terhadap Islam terejawantah dalam iman yang juga kuat terhadap Islam. Namun, lagi-lagi, Prof. Quraish Shihab menekankan lebih jauh bahwa di tengah derasnya arus informasi saat ini, masyarakat dilarang untuk hanya sekadar tahu atau memiliki ilmu saja. Apalagi hanya melalui internet atau media sosial. Masyarakat harus memadunya dengan pemahaman, karena tanpa pemahaman, itu keliru. QS. al-Mujadilah: 11 menyatakan,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Mengapa Allah menggandengkan antara iman dan ilmu? Karena kedua kata tersebut memiliki hubungan satu sama lain yang sangat erat, di mana jika orang bertambah imannya maka semestinya bertambah jugalah ilmunya. Mirisnya, yang sedang banyak terjadi di zaman digital sekarang ini justru banyak orang yang terlalu beriman, terlalu cinta, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu yang memadai, sehingga mereka hanya melakukan sesuatu yang seolah-olah membela imannya dan memanifestasikan cintanya dengan mengabaikan fakta bahwa manusia bukan hanya transenden, namun juga sosial. Inilah kurang lebih yang menjadi kekhawatiran Prof. Quraish Shihab tentang pentingnya ilmu dalam beragama.

Akhir kalam, cinta itu buta, kepada siapapun termasuk kepada agamanya sendiri. Cinta itu akan kosong karena tidak dituntun oleh ilmu dan kesadaran pemeluknya. Cinta tanpa diiringi dua hal tersebut akan menjadi cinta yang destruktif, karena ia tanpa pelita, ia berjalan tidak karuan mengikuti arah egonya berjalan. Cinta bisa membawa pemeluknya ke surga jika dilakukan dengan benar, sebaliknya, cinta justru bisa menjerumuskan ke neraka karena dilandasi oleh kebodohan dan keegoisan.

Islam sudah cukup tercemar sehingga banyak menjadi cibiran di seluruh dunia karena aksi-aksi kekerasannya, sampai kapan telinga kita harus mendengar desas-desus negatif ini kalau bukan kita sendiri yang mulai menyebarkan kedamaian.