Motif seseorang melakukan teror sebetulnya sangat bervariasi, ada yang dilandaskan pada semangat keagamaan, sosial ekonomi, dorongan teman, guru dan keluarga, bahkan balas dendam. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan pada Rabu (11/11/2019) menambah rentetan kasus terorisme baik di Indonesia maupun seluruh dunia.
Pelaku pengeboman juga bukan berarti buta agama dan ilmu pengetahuan, banyak di antara mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi dan memiliki IQ cemerlang, misalnya Aman Abdurrahman, sang ideolog Jamaah Anshorud Daulah (JAD) yang divonis hukum mati atas perbuatannya. Ia dikenal sebagai hafiz qur’an yang lulus dengan predikat cumlaude di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta.
Dalam The Terrorist in Search of Humanity: Militant Islam and Global Politics, Faisal Devij menjelaskan bahwa terorisme tidak bersumber dari agama. Dalam pembahasan soal representasi Islam sebagai motif dari aksi terorisme, Faisal menyatakan bahwa aksi terorisme merupakan suatu bentuk protes terhadap tatanan dunia global yang dipandang tidak adil, khususnya di bawah kendali negara adi kuasa, Amerika Serikat (Leebarty Taskarina, 2018).
Penelitian Faisal Devij ini selaras dengan pengakuan Iswanto, mantan anggota Jamaah Islamiyah yang menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya melakukan aksi teror karena melihat umat muslim dizalimi di beberapa negara, seperti Afghanistan dan Palestina. Pengakuan Iswanto ini diucapkan saat ia mengisi kampanye perdamaian di SMAN 1 Kepanjen Malang bersama tim Aliansi Indoesia Damai (AIDA).
Dengan kata lain, para pelaku teror sebenarnya sangat melek dengan problematika agama, ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di dunia. Untuk melampiaskan kekecewaannya, ia justru membalasnya kepada pemerintah Indonesia dan pihak-pihak non muslim yang ada di Indonesia.
Terorisme menjadi perpaduan sempurna antara kepedihan dan kekecewaan terhadap negara yang dipandang tak becus mengurus hidup warganya dengan tafsiran sempit terhadap ajaran-ajaran agama. Sehingga para pelakunya kerapkali membuat pembelaan berdasarkan dalil-dalil agama yang sakral.
Dalam melakukan aksinya, kelompok ekstrimis juga seringkali mengatasnamakan jihad. Tak jarang mereka juga dibuai angan-angan surga beserta 72 bidadari di dalamnya. Impian mendapatkan 72 bidadari surga ini didasari pada hadis dari Miqdam bin Ma’dikarib:
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ: يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
Dari Miqdam bin Ma’dikarib. Rasulullah bersabda, “Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya.” (HR Ibnu Majah)
Selain Imam Ibnu Majah, beberapa Imam lainnya juga meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang berbeda, diantaranya Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Abi Syaibah, dan Imam at-Thabrani,
Angan-angan mendapatkan 72 bidadari tentu saja terlalu duniawi untuk kenikmatan surga yang tak terhingga. Bukankah di akhirat kelak kita bisa mendapatkan kenikmatan lain yang justru lebih besar? kenikmatan yang tak akan pernah bisa ditemukan di dunia, yaitu pertemuan dengan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Di dunia kita dapat menikmati makanan dan minuman yang lezat, namun kenikmatan bertemu Allah tidak pernah kita temui di dunia. Kita tak pernah bertemu dengan Allah di dunia, sehingga tak bisa membayangkan bagaimana bahagianya bertemu dengan Allah. Sebaliknya, kenikmatan-kenikmatan yang telah kita temui di dunia selalu saja terbayang-bayang agar bisa ditemui lagi di surga.
Begitulah Allah memberikan gambaran-gambaran tentang surga agar mudah dicerna akal manusia yang begitu terbatas. Laki-laki di masa Arab jahiliyah memiliki banyak istri, maka dari itu mereka diberikan gambaran puluhan bidadari surga karena itulah kenikmatan yang dapat dibayangkan oleh mereka.
Jikalau motivasi melakukan teror demi mendapatkan 72 bidadari surga, lalu apakah bom bunuh diri sama dengan jihad para sahabat di masa Rasulullah SAW? Layakkah para pelaku mendapatkan kenikmatan surga itu sebagaimana yang dijanjikan kepada para sahabat yang berperang di masa Rasulullah SAW? Bukankah Islam melarang umatnya membunuh dirinya sendiri?
Bukankah Islam melarang umatnya membunuh manusia tanpa alasan yang benar? Bukankah membunuh satu manusia sama dengan membunuh semua umat manusia?
Wallahu a’lam bisshawab
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo