Bolehkah Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya?

Bolehkah Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya?

Bolehkah Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya?
Makam Syekh Arsyad al-Banjari dikunjungi banyak peziarah (gambar: www.wisatakalimantan.com)

Sejumlah umat muslim belakangan ini berpendapat kalau kita shalat di sebuah masjid atau tempat shalat apapun yang ada makam di depannya, dianggap keharaman. Ada anggapan sebagian muslim, bahwa jika kita shalat menghadap makam, atau shalat di dalam masjid yang ada makamnya, maka kita sedang mempraktikkan kemusyrikan. Kemusyrikan yang dituduhkan adalah sujud kepada makam tersebut. Tapi, benarkah demikian? Apakah shalat di dalam masjid yang ada makamnya diharamkan karena sebuah kemusyrikan?

Jawabannya adalah shalat di dalam masjid yang ada makam di dalamnya atau menghadap makam, itu shalatnya tetap sah. Persoalan ini pada hakikatnya kembali kepada niat kita masing-masing saat shalat, ketika di hadapan kita ada ada makam atau pusara orang shalih. Jika dalam shalat kita sampai meyakini sedang “menyembah” mereka, maka disitulah kemusyrikan terjadi. Imam al-Baidhawi mengatakan,

لما كانت اليهود والنصارى يسجدون لقبور أنبيائهم؛ تعظيمًا لشأنهم، ويجعلونها قبلة، ويتوجهون في الصلاة نحوها، واتخذوها أوثانًا، لعنهم الله ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه، أما من اتخذ مسجدًا بجوار صالِحٍ أو صلَّى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه -لا التعظيم له والتوجه- فلا حرج عليه؛ ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام ثم الحطيم، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته، والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة؛ لِما فيها من النجاسة

ketika orang-orang Yahudi dan Nasrani menyembah pusara Nabi-Nabi mereka, dengan tujuan mengagungkan status mereka, bahkan menjadikannya kiblat (arah), dan saat shalat menghadapkan diri kea rah kuburan tersebut, lalu menjadikannya berhala, Allah melaknat mereka dan malarang orang-orang Islam agar jangan melakukan hal seripa. Adapun yang membangun masjid bersebelahan dengan pusara orang shalih, dengan bermaksud meyakinkan adanya ruh orang shalih tersebut, serta menghadiahkan hasil dari ibadah tersebut agar pahalanya ditujukkan kepada ruh yang sudah wafat – bukan tujuan menyembah – maka itu tidak terlarang.

Memang, ada pendapat bahwa jika seseorang beribadah di tempat ibadah atau suatu tempat yang berhadapan langsung dengan makam, tanpa ada satir sama sekali, maka itu boleh namun makruh. Demikian pendapat Imam As-Syafi’i yang dikutip oleh Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Namun, apalagi terpisah atau sudah ada bangunan (seperti tembok) yang khusus menunjukkan kalau itu adalah sebuah makam, maka itu tidak makruh sama sekali.

Bahkan, mengutip fatwa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, shalat di sebuah masjid yang dahulu disana pernah dimakamkan orang shalih, itu diperbolehkan dan bisa menjadi sunnah. Dalil dari pandangan ini justru bersumber dari perilaku para sahabat sendiri, di mana ada seorang bernama Abu Jandal bin Suhail bin ‘Amr menguburkan bernama Abu Bashir. Lalu, ia membangunkan diatasnya masjid untuk melaksanakan shalat. Nabi Saw. tidak melarangnya, dan pemakaman itu dihadiri sekitar 300 orang sahabat.

Dahulu ‘Aisyah Ra. ketika Nabi SAW dikuburkan persis di sebelah tempat yang sekarang Masjid Nabawi, tetap melaksanakan shalat disana. Setelahnya, para ulama bahkan tidak ada yang menolak ketika kamar Nabi SAW, tempat ia dimakamkan di masukkan ke dalam bangunan masjid Nabawi tersebut. Peristiwa tersebut terjadi di tahun 88 H. peristiwa itu juga menjadi bukti adanya ijma’ kebolehan melaksanakan shalat di masjid yang di dalam ruangan masjidnya ada makam.

Maka, jika makamnya sudah ditandai secara khusus dengan bangunan tertentu, atau makam ada jarak sedikit dengan arah kiblat tapi orang yang shalat tidak melihat secara langsung karena terhalang dinding, itu jelas diperbolehkan. Patokan yang hakiki adalah tidak niat untuk menyembah makam sehingga menjadi musyrik.

Selengkapnya, klik di sini