Bolehkah Orang Junub Mengumandangkan Adzan?

Bolehkah Orang Junub Mengumandangkan Adzan?

Bolehkah mengumandangkan adzan dalam kondisi junub?

Bolehkah Orang Junub Mengumandangkan Adzan?

Musthafa adalah seorang marbot di masjid al-Ikhlas. Salah satu tugasnya adalah bertanggungjawab atas pelaksanaan shalat fardhu lima waktu, khususnya dalam hal adzan dan iqamah.

Namun, suatu saat sebelum adzan Musthafa tertidur, ketika bangun, ia mendapati dirinya telah mengeluarkan mani. Secara otomatis, ia bangun dalam keadaan junub atau berhadas besar.

Karena waktu shalat telah masuk dan ia bertanggungjawab dalam hal adzan, maka mau tidak mau, ia harus adzan. Nah, sahkah adzan yang dilakukan oleh orang yang junub atau berhadas besar seperti musthafa di atas.

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa adzan yang dilakukan oleh orang yang junub tersebut tetap sah, namun makruh. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafii dan dianut oleh beberapa ulama besar, seperti Imam Hasan al-Bashri, Imam Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Imam Abu Hanifah, Imam al-Tsauri dan beberapa ulama yang lain.

“Mazhab Ulama terkait adzan dalam keadaan tidak suci (berhadas, termasuk junub): Kami telah menyebutkan bahwa sesungguhnya mazhab kami (syafiiyah) berpendapat bahwa adzan dan iqamahnya orang yang junub dan orang yang berhadas sah, namun makruh. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Abu Hanifah, al-Tsauri, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibn al-Mundzir.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmū’ alā Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105.)

Tidak hanya pendapat yang memperbolehkan, Imam an-Nawawi juga menyebutkan beberapa pendapat lain yang berbeda, di antaranya pendapat yang mengatakan bahwa adzan atau iqamahnya orang yang junub tidak sah. Selain itu, ada juga pendapat ulama yang mengatakan bahwa adzannya sah, namun iqamahnya harus suci. Sehingga yang sah hanya adzannya saja.

“Segolongan Ulama berpendapat bahwa tidak sah adzannya orang yang junub beserta iqamahnya, di antaranya adalah Atha’, Mujahid, al-Auzai, dan Ishaq. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa adzannya sah tapi ketika iqamah ia harus sudah dalam keadaan berwudhu (suci dari hadas).” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmū’ alā Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105.)

Kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa adzannya orang junub tetap sah namun makruh berpegang pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasai dan beberapa mukharrij yang lain dari sahabat Muhajir bin Qanfadz.

عن المهاجر بن قنفذ رضي الله قال ” أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو ييول فسلمت عليه فلم يرد علي حتى توضأ ثم اعتذر إلي فقال إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر أو قال على طهارة ” حديث صحيح

Artinya, “Dari Muhajir bin Qanfadz RA berkata: “Aku mendatangi Rasulullah SAW dan ia sedang menunaikan hajat kecil di toilet, kemudian aku mengucapkan salam kepadanya, namun ia tidak menjawabnya hingga ia selesai berwudhu. Rasul kemudian memohon maaf dan mengemukakan alasan mengapa tidak menjawab salam al-Muhajir. Kemudian Rasul berkata, “Aku tidak suka menyebut asma Allah SWT kecuali dalam keadaan suci (ala tuhrin),” atau ia berkata “ala thaharatin”. Hadis tersebut sahih.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmū’ alā Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105.)

Kata karahtu dalam hadis terkait salam di atas dijadikan landasan dan diqiyaskan bahwa adzannya orang junub makruh.

Imam an-Nawawi mengkritisi pendapat-pendapat lain yang melarang wudhu dalam keadaan junub, yang menggunakan hadis “laa yuadzzinu illa mutawaddhi’” (tidak boleh adzan kecuali orang yang berwudhu). Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa hadis ini dalam susunan perawinya ada yang terputus (munqathi’). An-Nawawi meyebutkan bahwa perawi hadis tersebut, yakni az-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abu Hurairah. Sehingga menurut Imam an-Nawawi, yang paling sahih adalah pendapat yang menyebutkan kemakruhan adzan orang yang junub, bukan keharamannya.

Wallahu A’lam.

 

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di NU Online.