Bolehkah Muslim Memperingati Hari Buruh?

Bolehkah Muslim Memperingati Hari Buruh?

Hari buruh selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei, bolehkah seorang muslim memperingati hari buruh?

Bolehkah Muslim Memperingati Hari Buruh?

Apa pentingnya memperingati hari buruh? Lalu, kenapa tampaknya semua orang memperingati, khususnya bagi mereka yang sudah bekerja. Saya pernah bertanya-tanya tentang hal ini saat masih sekolah. Dengan separuh apatis, pertanyaan itu tak pernah saya rampungkan sampai menemukan jawaban memuaskan. Siapa peduli? Yang ada di pikiran saya saat itu adalah: alhamdulillah hari ini sekolah libur.

Kesadaran saya muncul tanpa sengaja saat mendengarkan lagu Marjinal yang berjudul Marsinah. Dari sana simpati saya perlahan terbangun dan tak pernah sedikit pun berkurang sampai sekarang. Dalam lagunya tersebut, band punk-rock asal Jakarta itu mendeskripsikan sosok Marsinah sebagai manifestasi kaum buruh yang berjasa besar bagi kelangsungan hidup kita, namun jasa-jasa itu kerap kali dilupakan.

Sejarah kaum buruh sendiri, terutama di Indonesia, bukanlah sejarah yang penuh dengan bunga-bunga. Jika kita punya waktu luang, barang sebentar saja, kita bisa menelusuri betapa pesakitan kaum buruh jauh lebih parah dari hanya sekadar “dilupakan” jasanya. Pelemahan, represi saat menuntut hak, ketidakadilan sosial, hingga ketidakadilan ekonomi adalah sejarah hitam perjalanan kaum buruh yang seharusnya kita hormati.

Hidup dalam negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tidak berbanding lurus dengan praktek nilai-nilai Islam terhadap kaum buruh. Apabila cermin ekonomi Islam kita proyeksikan pada masalah buruh di Indonesia, maka kita akan menemukan pantulan yang ganjil. Tidak ada keadilan di sana, sebagaimana diajarkan dalam Islam. Setiap tanggal 1 Mei, aksi demonstrasi para buruh selalu saja berkutat pada (minimal) satu persoalan yang tak pernah selesai, yaitu peningkatan upah.

Selama ini upah kecil menjadi kendala kaum buruh yang banyak berimbas pada kehidupannya, terutama pada persoalan rumah tangga dan kesejahteraan. Semua ini tak terlepas dari keserakahan kaum majikan (pemodal), yang dalam konteks makro merupakan dampak dari globalisasi dan kapitalisme. Belum lagi upaya pemerintah, sebagai penengah antara buruh dan majikan, yang sampai saat ini belum mampu menyelesaikan masalah perburuhan.

Kita bisa lihat kasus pembunuhan Marsinah, aktivis dan buruh pabrik perakitan jam di Porong (Sidoarjo) yang tak kunjung selesai. Meski sudah ada bukti yang kuat mengenai motif pembunuhan, namun pemerintah tetap tidak sanggup (atau tak sudi) untuk menyelesaikan masalah tersebut sampai tuntas.

Belum lagi adanya kasus-kasusu represi, seperti yang terjadi saat demonstrasi damai kaum buruh di depan Istana Negara, tahun 2015 silam. Saat itu, lebih dari 10.000 buruh yang tergabung dalam aliansi Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) melakukan demonstrasi untuk menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) yang membatasi kenaikan upah minimum. Protes buruh ini mendapat respon negatif dari aparat kepolisian. Berbagai ancaman, teror, hingga kekerasan dilakukan oleh aparat terhadap para demonstran. Hal ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengayomi dan melindungi hak-hak kaum buruh.

Islam tidak mengajarkan segala kekacauan seperti itu. Pemerintah seharusnya mampu berlaku adil (baca: seadil-adilnya) terhadap semua lapisan masyarakat, tak terkecuali kaum buruh yang dipandang rendah. Kita harus mengubah kultur pemikiran yang salah kaprah ini sedari sekarang. Cara berpikir “merendahkan” seperti itu tentu sangat memalukan jika dipraktekkan di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Barangkali kita perlu menilik sejarah kembali, bahwa nabi kita: Muhammad saw. juga seorang buruh. Ya, buruh. Bahkan sedari kecil beliau sudah harus menjadi buruh gembala demi kelangsungan hidupnya. Barulah ketika berusia 25 tahun, Nabi disarankan oleh sang paman, Abu Thalib untuk bekerja kepada saudagar kaya bernama Siti Khadijah. Kepada Khadijah, yang kelak menjadi istrinya, Nabi juga bekerja sebagai buruh dagang. Itulah kenapa kita juga harus menghormati seorang buruh sekalipun. Sebab bukan persoalan dia buruh atau bukan, melainkan apakah dia bekerja di jalan halal atau tidak.

Terdapat sebuah riwayat yang mengatakan, bahwa suatu hari ada seorang sahabat yang sangat miskin dan bekerja sebagai buruh kasar. Dia sangat mencintai Nabi, tapi selalu saja tidak berani untuk mendekatinya. Suatu waktu, setelah salat berjamaah dan zikir, para sahabat menyalami tangan Nabi, kecuali sahabat yang bekerja sebagai buruh kasar tadi.

Nabi heran dan bertanya pada sahabat tersebut, “Mengapa?”

Buruh tersebut menjawab, “Tanganku kasar wahai Rasulullah, aku takut menyakiti tanganmu yang lembut dan harum itu.”

Karena buruh itu tidak mau maju, maka Nabi menyuruhnya agar mendekat supaya beliau dapat melihat telapak tangan si buruh tersebut. Begitu buruh tersebut memperlihatkan telapak tangannya yang kasar, segeralah Nabi menyambar tangan itu dan menciumnya.

Nabi berkata, “‘Inilah tangan calon penghuni surga, sebab untuk mendapatkan rezeki yang halal ia bekerja dengan tangannya sendiri.”

Kita lihat, bahkan Nabi sendiri sangat memuliakan seorang buruh. Maka, alangkah sombongnya kita jika merendahkan posisi mereka, apalagi sampai memperlakukan tidak adil dan bersifat aniaya terhadapnya. Wallahhu a’lam.