Mekah adalah salah satu kota suci Islam yang bisa kita kunjungi kapan saja, asalkan memiliki biaya untuk berangkat ke sana. Selain itu, Mekah adalah kota yang bersejarah. Akan lebih bersejarah lagi jika jalinan cinta diresmikan di sana. Ya, beberapa orang mengaggap bahwa menikah agar bisa bersejarah harus di tempat yang bersejarah pula.
Atas dasar itu, beberapa artis melakukan akad nikah di kota suci Mekah. Lalu, bagaimana hukumnya jika pernikahan tersebut dilakukan saat melakukan ibadah haji atau umrah? Terlebih saat masih memakai baju ihram?
Disebutkan juga dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ Tirmidzi, bahwa Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat bahwa nikahnya orang yang berihram itu tidak sah. Mereka bersandar pada beberapa hadis dalam bab yang sama (bab kemakruhan nikah orang yang sedang ihram), sedangkan imam Abu Hanifah dan ahli fiqih Kufah berpendapat bahwa nikahnya orang yang sedang muhrim adalah sah.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa nikahnya orang yang sedang ihram (haji atau umrah) menurut jumhur ulama tidak sah, Imam Abu Hanifah dan ulama Kufah yang berpendapat sah.
Namun, dalam kitab Jami’ Tirmidzi terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah menikah ketika sedang ihram.
عَنِ ابْنِ عَبَّاس أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Dari Ibnu Abas RA bahwasannya Nabi SAW menikah dengan Maimunah sedangkan beliau sedang ihram (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, menyebutkan hadis yang bertentangan dengan hadis di atas.
عن أبي رافع قال: تزوج رسول الله ميمونة وهو حلال
Dari Abu Râfi’, ia berkata, “Nabi menikah dengan Maimunah ketika beliau tidak sedang berihram.”
Kedua hadis di atas seolah-olah kontradiktif, yang pertama menyebutkan bahwa Maimunah RA menikah dengan Rasul SAW saat ihram, yang kedua menyebutkan sebaliknya, tidak dalam keadaan ihram. Lantas bagaimana penjelasan ulama tentang hadis pertama?
Disarikan dari kitab Tuhfatul Ahwadzi, para ulama menjelaskan empat cara menyelesaikan pertentangan dalam kasus ini.
Pertama, Nabi Muhammad SAW dalam keadaan tidak berihram sebagaimana diriwayatkan oleh kebanyakan sahabat. Al-Qodhi berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan hadis “Nabi menikah dalam keadaan ihram” kecuali Ibnu ‘Abbas saja, sedangkan Maimunah, Abu Rafi’ dan selainnya meriwayatkan bahwa Nabi menikah saat tidak ihram, selain itu faktor kekuatan hafalanpun berpengaruh, mereka lebih kuat hafalannya dari Ibnu ‘Abbas.”
Kedua, hadis Ibnu ‘Abbas ditakwil, kata محرم dalam hadis tersebut bermakna Nabi sedang di tanah haram, bukan sedang melakukan ihram.
Ketiga, terdapat kontradiksi antara perkataan dan perbuatan. Sebagaimana kaidah yang ada, apabila terjadi kontradiksi antara perkataan dan perbuatan dalam hadis, maka yang diutamakan adalah perkataan. Di sini perkataan yang diambil adalah hadis yang diriwayatkan oleh Maimunah sendiri, orang yang melakukan pernikahan ini.
عن ميونة أن رسول الله صلّى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال
Dari Maimunah RA bahwasannya Rasulullah Saw menikahinya ketika beliau tidak sedang berihram (HR. Tirmidzi)
Keempat, permasalahan tadi bagian dari kekhususan (khususiyyah) Nabi Muhammad Saw. Dan pendapat keempat ini memiliki dua bagian. Pertama, pendapat yang mengatakan pernikahan tadi bagian dari kekhususan Nabi dan ini yang paling kuat, sedangkan pendapat sebaliknya adalah lemah.
Oleh karena jumhur ulama melarang nikah saat haji atau umrah (ihram), maka seorang ulama bermazhab Syafii menyebutkan dalam kitabnya, Fathul Qarib al-Mujib, bahwa salah satu larangan dalam haji adalah melakukan akad nikah, maupun menjadi wali dalam pernikahan:
(و) الثامن (عقد النكاح) فيحرم على المحرم أن يعقد النكاح لنفسه أو غيره، بوكالة أو ولاية
“Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram) yaitu akad nikah. Akad nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun bagi orang lain (menjadi wali”
Wallahu a’lam