Bolehkah Menamai Hewan Piaraan dan Barang Pribadi?

Bolehkah Menamai Hewan Piaraan dan Barang Pribadi?

Bolehkah Menamai Hewan Piaraan dan Barang Pribadi?
Foto: Freepik

Seperti anak-anak yang memberi nama boneka kesayangannya, orang dewasa pun seharusnya tak perlu malu memberi nama kepada beberapa benda keseharian yang dimilikinya. Perihal memberi nama pada benda mati ataupun hidup, katakanlah seperti hewan piaraan, ternyata Rasulullah saw dan para sahabatnya pun melakukan itu.

Rasulullah SAW juga pernah memberi nama pada beberapa benda maupun hewan dimilikinya, bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah memiliki 10 ekor unta dan 7 ekor kambing yang kesemuanya diberi nama.

Salah satu unta terbaik kesayangan Rasulullah diberi nama al-Qashwa atau dalam riwayat lain bernama al-Adhba’. Sedangkan baghalnya memiliki nama Duldul dan kucing beliau yang popular di kalangan perawi hadits bernama Muezza.

Bukan hanya hewan, Rasulullah pun memberi nama pada properti di rumahnya ataupun benda yang sering beliau gunakan. Pedang Rasulullah bernama Dzul al-Faqar (Dzul Fikar), adapula yang diberi nama Al-Adb. Bahkan sampai teko, tikar ataupun cermin beliau semuanya memiliki nama. Aneh ? tentu saja tidak.

Dalam kajian psikologi, memberi nama pada benda-benda (humanizing of property) yang dimiliki seseorang adalah sebuah kewajaran, bahkan memiliki kelebihan dibanding ia yang tak diberi nama. Ketika seseorang memberi nama pada benda di kehidupannya, ia sejatinya sedang membentuk keterikatan emosional.

Bahkan sebuah penelitian pernah diadakan di Inggris perihal produktivitas 2 kelompok sapi perahan. Sapi kelompok pertama setiap ekor sapi diberi nama, diajak ngobrol, dan diperlakukan seperti manusia. Sedangkan pada kelompok yang kedua, sapi-sapinya hanya diperlakukan seperti biasa, layaknya hewan piaraan. Tahukah apa yang terjadi ? Ternyata sapi kelompok pertama yang “dimanusiakan” mempunyai produktifitas susu yang jauh melebihi kelompok sapi yang kedua.

Jadi saat kita merasakan ada kemiripan manfaat benda tersebut layaknya manusia, maka kita akan memperlakukan benda atau hewan tersebut seperti manusia. Hubungan seperti ini tentu salah satunya akan memberi motivasi lebih bagaimana seseorang merawat dan menjaga dengan baik apapun yang ia miliki.

Kisah unik tercatat dalam Kitab Riyadh Ash-Shalihin karya Imam An-Nawawi (676 H). Rasulullah saat khutbah Shalat Jum’at selalu menggunakan pelepah kurma sebagai sandaran. Namun pekan-pekan Jumat berikutnya semakin hari jamaah semakin bertambah banyak. Sehingga Rasulullah saw semakin tidak kelihatan oleh jamaah lain yang letaknya jauh dari posisi Rasulullah berkhutbah.

Lantas terbesitlah ide oleh salah seorang Anshor yang berniat membuat mimbar agar Rasulullah dapat berkhutbah dengan manaiki mimbar tersebut. Setelah mimbar jadi, pada Jum’at berikutnya Rasulullah menaiki mimbar tersebut sehingga jamaah shalat jumat dapat melihat beliau meski berada di posisi belakang sekalipun.

Tak disangka di tengah Khutbah Jum’at yang khidmat terdengar suara ringkikan tangisan yang nyaring. Sayup-sayup terdengar laksana tangisan seorang anak yang terlepas dari gendongan ibunya. Para sahabat perlahan-lahan mulai mendengar suara tangisan asing tersebut. Semuanya nampak heran, kaget dan saling pandang-memandang satu sama lain.

Lama kelamaan suara tangisan tersebut semakin keras bahkan menandingi pekikan Khutbah Jum’at Rasulullah SAW. Sehingga para jamaah sambil celingak-celinguk mencari letak sumber suara yang seperti tangisan bayi tersebut. Tak dinyana ternyata suara tersebut berasal dari pelepah kurma yang biasa Rasulullah gunakan untuk khutbah pada Jumat-jumat sebelumnya.

Lantas Rasulullah SAW turun dari mimbar dan berjalan menuju ke arah pelepah kurma tersebut. Kalian tahu apa yang Rasulullah lakukan terhadap pelelah kurma tersebut? Beliau membelainya bak seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang tengah menangis.

Rupanya pelepah kurma tersebut bersedih lantaran kemanfaatannya selama ini merasa tergantikan oleh mimbar baru yang dibuat oleh sahabat Rasul. Ia sedih karena ditinggal Rasulullah khutbah di tempat lain.

Namun sejatinya jarak antara mimbar baru dan pelepah kurma tersebut setidaknya hanya 8 langkah. Sungguh betapa kita dibuat takjub, pelepah kurma yang kita anggap sebagai benda mati ternyata sejatinya hidup dan memiliki kecintaan yang luar biasa pada Rasulullah saw.

Lantas setelah tangis pelepah kurma agak mereda akibat belaian penuh kasih sayang dari Baginda Nabi, Rasulullah pun membisikan pilihan padanya. Apakah ia ingin Rasulullah tetap menggunakannya (pelepah kurma) untuk sandaran Khutbah Jum’at, ataukah memilih ingin bersama Rasulullah kelak di surga. Lalu pelepah kurma tersebut memilih untuk membersamai Rasulullah SAW di surganya Allah nanti.

Indah bukan, apa yang kita anggap aneh selama ini, yaitu memberi nama pada benda-benda yang kita miliki ternyata adalah hal yang diteladankan oleh Rasulullah saw. Dalam Qur’an telah tercantum bahwa benda-benda mati sejatinya mereka hidup, mereka senantiasa bertasbih memuji-Nya (QS. Al-Isra’ : 44).

Dan juga ketika langit, bumi dan gunung telah diciptakan Allah hendak memikulkan amanah pada mereka, namun semuanya menolak. Semua itu karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, namun Al-Insan (manusia) menerimanya (QS. Al-Ahzab : 72).

Jadi sudahkah kamu memberi nama benda-benda kesayanganmu. Minimal gawai yang selalu kamu pakai dan bawa kemana-mana.

Wallahu A’lam.