Zakat merupakan ibadah hartawi yang dilakukan melalui penyaluran harta kepada 8 kelompok asnaf sebagai mustahiq-nya. Mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat. Konsep ini berangkat dari kepatuhan terhadap teks ayat yang menyatakan:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang faqir, miskin, amil, orang yang dibujuk hatinya, memerdekakan riqab (budak), gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Inilah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Taubah [9] ayat 60)
Penyaluran harta zakat ke lokasi bencana, setidaknya mengundang pertanyaan: apakah dengan adanya bencana merupakan alasan (illat) bagi timbulnya hukum bahwa zakat boleh disalurkan ke wilayah tersebut? Pertanyaan ini merupakan hal yang wajar karena kita memang dituntut untuk taat, sami’na wa atha’na, apalagi dalam urusan ibadah. Dalam ibadah tidak dikenal unsur masuknya akal (ta’aqquly) melainkan harus tunduk secara total (ta’abbudy).
Yang jelas bahwa bencana bukan merupakan illat bagi timbulnya hukum, sebab dzahir nash tidak ada yang menyebut hal semacam itu. Akan tetapi, penyaluran zakat ke wilayah tersebut juga tidak menyalahi nash ayat, disebabkan muncul illat lainnya, yaitu fakir, miskin, amil, orang yang dibujuk hatinya, dan lain sebagainya.
Dan dasar utama pihak yang boleh menerima zakat adalah harus beragama Islam. Lain halnya dengan infaq atau shadaqah yang bisa dipergunakan untuk kepenitingan umum yang bersifat kemanusiaan. Ini adalah dasar yang paling penting terkait zakat, karena syariat menggariskan semacam itu. Apa yang digariskan oleh syara’ adalah tidak boleh dilanggar. Ketentuan ini dapat kita fahami dari contoh riwayat tafsir para ulama’ sebagai berikut:
عن الضحاك بن مزاحم: (إنما الصدقات للفقراء)، قال: فقراء المهاجرين و ” المساكين “، الذين لم يهاجروا
Artinya:
“Diriwayatkan dari al-Dhahak ibn Muzahim, “Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang fakir”, maksud dari orang fakir di sini adalah orang fakirnya kaum muhajirin (yang ikut hijrah) dan “orang-orang miskin”, yakni orang miskin Mekah yang telah masuk Islam namun tidak ikut hijrah.”
Sekilas kefahaman dari riwayat tafsir ini adalah orang-orang yang sudah masuk Islam, baik yang ikut hijrah maupun yang belum ikut hijrah. Jadi, Islam adalah salah satu kunci pintu berhak/bertindak selaku penerima zakat (mustahiq). Tanpanya, meskipun dia fakir atau miskin, maka tidak bisa menerima zakat, dan hanya boleh menerima harta dari ibadah sosial yang lain selain dari zakat.
Bagaimana bila harta zakat diserahkan kepada selain muslim? Karena zakat adalah bersifat ta’abbudy (tidak menerima peran akal melainkan hanya ketundukan semata), maka hukum penyaluran zakat kepada selain orang yang berhak menerima menjadikan zakat itu tidak sah sehingga menyisakan belum gugurnya kewajiban itu dilaksanakan oleh muzakki (orang yang wajib mengeluarkan). Dan bila penyalurannya itu dilakukan oleh ‘amil, maka secara tidak langsung ia wajib mengganti sejumlah harta yang salah penyaluran tersebut. Ketentuan ini sudah pasti harus bisa difahami oleh siapapun individu muslim khususnya pihak pengelola zakat.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana bila di satu lokasi penyaluran zakat kemudian ada pihak non muslimnya? Dilihat dari tata krama sosial, sudah pasti tidak patut bila kita membiarkan ia tidak beroleh bantuan. Ini tinjauan dari sisi kemanusian. Maka dalam kondisi seperti ini diperlukan adanya siasat bagi pengelola zakat atau orang yang menjadi utusannya.
Dalam hemat penulis, siasat yang diperlukan bila terjadi kondisi semacam, adalah tetap menyalurkan harta zakat itu kepadanya, namun harus disertai ada penanggung jawab. Penanggung jawab yang dimaksud di sini adalah pihak selaku yang mengutang harta zakat. Jadi, harta zakat yang dibawa itu, diutang dulu olehnya, dicatat, baru kemudian disalurkan ke non-muslim atas nama shadaqah atau bantuan sosial.
Dengan begitu, status pihak yang bertanggung jawab ini berperan selaku gharim, yaitu pihak yang memiliki utang dalam rangka sabil al-khair (jalan kebaikan). Dan setelah program penyaluran bantuan itu selesai dilaksanakan, ia berhak meminta kepada amil (pimpinan pengelola zakat) bahwa dia adalah pihak selaku gharim dalam program bantuan sosial dengan jumlah sekian-sekian.
Dan amil kemudian memiliki alasan (illat) untuk memberikan harta zakat kepadanya sesuai dengan utang yang dimilikinya. Baru setelah itu, pihak gharim ini harus menyampaikan kembali harta zakat yang diterimanya itu untuk mengganti harta zakat yang diutangnya. Tentu saja, pengembaliannya kepada amil lagi.
Untuk memudahkan pemahaman, baik kita sampaikan Ilustrasinya seperti dialog berikut:
Petugas : “Pak Kyai Amil, saya punya utang sejumlah harta zakat sekian-sekian. Tadi, pada program bantuan yang kita salurkan, ada pihak non-muslim juga di lokasi. Agar ia dapat tetap menerima bantuan atas nama kemanusiaan dari kita, maka saya bertanggung jawab atas utang harta zakat itu yang diakadkan sebagai harta infaq dan shadaqah kepadanya. Mohon kerelaan anda!”
Amil : “Karena lembaga kita tidak hanya menangani penerimaan dan penyaluran zakat, melainkan juga harta shadaqah, baik maka saya terima klaim anda, dan atas nama gharim, saya berikan harta zakat ini kepada anda untuk melunasi utang atas nama kemanusiaan tersebut.”
Petugas: “Saya terima harta zakat dari Kyai Amil, dan selanjutnya saya lunasi utang harta zakat tersebut lewat Kyai Amil kembali. Terimakasih atas bantuannya, semoga Allah meridhai!”
Amil : “Saya terima pelunasan harta zakat oleh anda, semoga Allah meridhai kita semua!”
Demikianlah, kilas dialog siasat penggunaan harta zakat, agar tetap sesuai dalam koridor yang ditetapkan oleh syariat.