Bolehkah Istri Menafkahi Suami?

Bolehkah Istri Menafkahi Suami?

Bolehkah Istri Menafkahi Suami?

Di Indonesia perempuan memiliki akses penuh untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Bahkan saat ini kita mungkin tak asing lagi melihat perempuan berpendidikan tinggi dan turut berkontribusi dalam dunia kerja.

Setelah perempuan menikah, maka suaminya lah yang memegang kewajiban untuk mencari nafkah. Hal ini dikarenakan perempuan menanggung beban lain yang tidak dialami laki-laki, seperti mengandung, melahirkan dan menyusui.

Kewajiban laki-laki untuk menafkahi istri dan anak-anaknya termaktub dalam beberapa surah dalam al-Qur’an, diantaranya:

Surah an-Nisa/4:34

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS an-Nisa/4:34)

Surah at-Talaq/65: 7

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS at-Talaq/65: 7)

Surah al-Baqoroh/2: 233

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. Al-Baqoroh/2: 233)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Nafkah yang dimaksud adalah memenuhi kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Karena kewajiban memberi nafkah itulah seorang suami disebut sebagai pemimpin rumah tangga.

Namun di masa kini banyak para istri yang juga ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Lalu bolehkan istri bekerja dan menafkahi suami?

Seiring dengan perkembangan zaman yang ikut mengubah tatanan kehidupan, manusia semakin didesak dengan berbagai kebutuhan baru. Sehingga mungkin saja suami akan kesulitan memikul beban nafkah sendiri, misalnya karena persaingan kerja yang terlalu ketat, inflasi, PHK dsb. Dalam hal ini, istri diperbolehkan ikut berperan dalam mencari nafkah demi menjaga kesejahteraan keluarganya.

Meskipun kewajiban mencari nafkah ada pada tangan suami, Islam tidak melarang seorang istri untuk turut serta mencari nafkah. Tentu saja keputusan mencari nafkah ini harus disertai dengan izin suami. Selain itu, sang istri juga tidak boleh meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga harus senantiasa menjaga muruahnya.

Meskipun istri diperbolehkan bekerja, bukan berarti suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah. Nafkah dari suami merupakan hak yang harus didapatkan oleh istri. Kewajiban suami untuk memberi nafkah tidak gugur meskipun sang istri bekerja. Bahkan istri boleh mengajukan khulu’ apabila suami secara sengaja tidak mau menafkahinya.

Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya adalah milik sang istri. Jika harta itu ia gunakan untuk menafkahi suami dan anak-anaknya, maka akan bernilai sedekah baginya.

Dalam Thabaqoh Ibnu Sa’ad disebutkan bahwa Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud Ra pernah mendatangi Nabi Saw dan bertutur “Wahai Rasul, saya perempuan pekerja, saya jual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua karena saya, suami saya, maupun anak saya tidak memiliki harta apapun”. Ia juga bertanya mengenai nafkah yang ia berikan kepada mereka (suami dan anaknya). Beliau menjawab “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka”.

Selain boleh menafkahi keluarganya, zakat yang dibayar seorang istri untuk keluarganya juga boleh dan sah. Imam Ibnu Majah dalam sunannya meriwayatkan:

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ أَيُجْزِينِي مِنْ الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَكَانَتْ صَنَاعَ الْيَدَيْنِ

Dari Ummu Salamah ia berkata, Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk membayar zakat, lalu Zainab isteri Abdullah bertanya; “Apakah zakatku sah jika aku berikan kepada suamiku yang fakir dan anak saudaraku yang yatim, aku selalu bersedekah kepada mereka seperti ini dan seperti ini dalam setiap tahun?” beliau menjawab: “Ya.” Beliau berkata, “Zainab adalah perempuan yang banyak beramal.” (HR Ibnu Majah)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa para perempuan di masa Nabi Saw diperbolehkan bekerja dan mencari nafkah. Bahkan nafkah yang diberikan untuk suami dan anak-anaknya bernilai sedekah dan menjadi pahala bagi sang istri.

Jika tanggung jawab mencari nafkah bisa ditanggung bersama, maka pekerjaan dalam ranah domestik juga bukan hanya menjadi tanggungan istri saja. Laki-laki juga sebaiknya turut berperan dalam mengurus domestik. Oleh karena itu, bukan suatu kesalahan apabila suami ikut membantu istrinya mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci atau mengurus anak, karena itu adalah tanggung jawab bersama.

Bahkan Rasulullah Saw pun biasa melakukan pekerjaan rumahnya sendiri tanpa membebani istrinya. Sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad

عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ عَائِشَةَ هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا؟ قَالَتْ نَعَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ

Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Aisyah; “Apakah Rasulullah Saw juga melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumahnya? Aisyah menjawab; “Ya, Rasulullah Saw juga sering mengesol sandalnya, dan menjahit pakaiannya, serta beliau melakukan sesuatu di rumahnya sebagaimana salah seorang kalian lakukan di rumahnya”. (HR Ahmad)

Dalam pernikahan dibutuhkan kerja sama yang baik agar keharmonisan dalam rumah tangga dapat tercipta. Oleh karena itu, kewajiban mencari nafkah dan mengurus berbagai pekerjaan rumah dapat disepakati bersama antara suami dan istri.

Wallahu a’lam bisshowab