Dalam fiqh Islam, pahala ibadah tidak hanya diperoleh dari ibadah ritual (ibâdah mahdhah). Tetapi juga dari kerja-kerja sosial antarmanusia (ibâdah ghair mahdhah), selama dia berniat untuk memperoleh pahala di sisi Allah SWT. Untuk membangun rumah ibadah non-muslim, sepanjang bacaan saya pada kitab-kitab fiqh, belum ditemukan pembahasan mengenai hal ini.
Memang dalam fiqh, ada pembahasan mengenai persoalan membangun rumah ibadah non-muslim, yang sepertinya lebih merupakan ‘siyasah’ sosial kenegaraan, daripada fatwa keagamaan. Ini terlihat pada argumentasi yang ditawarkan, yang lebih didasarkan pada kebijakan para khalifah terdahulu, daripada dasar ayat dan hadis secara langsung. Ini juga konteksnya, orang-orang non-muslim yang membangun sendiri rumah ibadah mereka, bukan orang muslim yang membangun rumah ibadah non-muslim.
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi asy-Syafi’i mencatat: “Bahwa ulama fiqh sepakat melarang (umat Islam) membangun (membiarkan pembangunan) gereja atau kelenteng di kota-kota dan daerah yang menjadi milik Dar al-Islam jika di daerah yang dekat dengan kota tersebut; ulama berbeda pendapat: Malik, Syafi’i dan Ahmad tetap melarang. Sementara Abu Hanifah membolehkan jika daerah tersebut sebatas satu mil dari kota (umat Islam) dan tetap melarang jika kurang dari satu mil” (Rahmat al-Ummah fî ikhtilâf al-A’immah, 322).
Imam an-Nawawi (w. 676H), dalam kitab al-Majmu’ (hlm. 223-231) juga mencatat hal yang sama, tetapi sedikit lebih rinci. Bahwa membangun rumah ibadah non muslim tergantung pada daerah di mana rumah ibadah itu akan dibangun. Jika dibangun di daerah yang dibuka, dikuasai, dan dibangun umat Islam; seperti Kota Kufah, Bashrah dan Baghdad, maka tidak boleh. Jika dibangun di daerah, yang dimiliki umat Islam hasil perang, seperti Palestina, juga tidak boleh. Untuk kedua daerah tersebut, beberapa ulama bahkan melarang orang-orang non-muslim memperbaiki rumah ibadah mereka, sebagian yang lain memperkenankan khalifah menghancurkan rumah ibadah yang ada jika untuk kepentingan umat Islam yang lebih besar.
Tetapi jika dibangun di daerah yang awalnya dimiliki orang non-muslim, kemudian umat Islam masuk secara damai, maka pembangunan rumah ibadah itu menjadi diperbolehkan. Karena pada dasarnya, tanah tersebut menjadi milik orang-orang non-muslim, dan orang muslim masuk secara damai dengan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di antara mereka.
Keputusan ini lebih didasarkan pada kebijakan Umar bin Khattab ra, fatwa Ibn Abbas ra dan kebijakan-kebijakan dari beberapa khalifah yang lain pada masa Umayah dan Abbasiyah. Di samping itu, ada dua teks hadis yang sering dijadikan dasar dalam persoalan ini.
“Tidak boleh ada dua kiblat dalam satu daerah” dan “Janganlah kamu membangun gereja di (daerah) Islam dan jangan juga memperbaiki kerusakan-kerusakannya”. Tetapi kedua teks hadis ini, menurut para pakar hadis adalah lemah. Seperti yang dinyatakan Ibn Hajar al-‘Asqallani (untuk teks yang kedua) dan juga al-Albani (untuk teks yang pertama). (lihat: Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, hlm. 466 dan 477).
Keputusan melarang pembangun rumah ibadah non-muslim lebih merupakan keputusan yang muncul pada saat kondisi dunia didasarkan pada peperangan dan permusuhan. Sehingga, ketika politik dunia sudah berubah, di mana yang muncul adalah penghormatan terhadap seluruh agama, maka keputusan pelarangan harus ditinjau ulang.
Adalah sesuatu yang curang dan berlaku tidak adil jika kita orang-orang muslim menuntut untuk membangun masjid di negara-negara non-muslim, kemudian pada saat yang sama kita melarang pembangunan rumah ibadah non-muslim di negara kita. Apalagi negara-negara muslim saat ini, strukturnya telah berubah menjadi negara bangsa. Di mana seluruh warga negara yang hidup di dalamnya memiliki hak yang sama untuk hidup beragama. Maka, membangun rumah ibadah adalah hak setiap warga negara, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing.
Pada konteks ini yang berlaku adalah prinsip persaudaraan dan penghormatan satu sama lain. Yang lebih tepat dari pembahasan fiqh dalam hal ini adalah norma kesepakatan pada saat perdamaian (‘aqd ash-shulh). Seperti yang dinyatakan ulama di atas. Sehingga prinsip yang dijunjung bahwa orang-orang muslim terikat kesepakatan dengan yang non-muslim dengan hak dan kewajiban yang sama, dalam bertetangga dan bernegara (lahum mâ lanâ, wa ‘alaihim mâ ‘alainâ).
Karena itu yang lebih tepat dalam hal ini, adalah apa yang dinyatakan Al-Quran, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8). Adalah keadilan jika ingin diakui hak kita membangun rumah ibadah kita, untuk mengakui hak saudara kita (yang non-muslim) membangun rumah ibadah mereka.
Hal ini terkait dengan soal relasi sosial untuk berlaku adil dengan saudara dan tetangga. Tidak terkait dengan soal pembenaran keyakinan orang lain. Karena Nabi Saw juga pernah membiarkan orang-orang Kristen Najran beribadah persis di dekat Masjid Nabawi, tanpa merasa sebagai bentuk pembenaran keyakinan orang lain. Tetapi lebih merupakan implementasi dari ajaran relasi sosial dalam Islam. Nabi SAW juga pernah berdiri memberi penghormatan terhadap jenazah orang Yahudi yang lewat di depan rumah. Sekalipun ditegur beberapa sahabat saat itu. “Dia itu manusia,” kata Nabi SAW. Manusia yang layak menerima penghormatan dan persaudaraan. Semua itu, bukan bermaksud membenarkan keyakinan mereka.
Yang pasti Islam mengajarkan keadilan, kebaikan, persaudaraan, penghormatan, dan lebih dari itu menganjurkan kasih sayang (rahmatan lil ‘âlamîn). Jika membangun rumah ibadah tetangga kita yang non-muslim merupakan upaya kita untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka, maka tidak mungkin hal itu dilarang dalam Islam. Untuk soal pahala, sebenarnya adalah urusan Allah SWT. Tetapi yang jelas setiap kebaikan sosial dalam Islam, pasti akan dicatat sebagai ibadah sosial (ibâdah ghair mahdhah) yang akan memperoleh pahala. Amin. Wallahul Musta’an.