Bolehkah Donor ASI kepada Bayi Non-Muslim?

Bolehkah Donor ASI kepada Bayi Non-Muslim?

Bolehkah Donor ASI kepada Bayi Non-Muslim?

Beberapa hari lalu viral di media sosial ada keluarga yang mencari donor ASI untuk bayinya yang memiliki masalah kesehatan. Orang tua yang notebene non-muslim ini kesusahan mencari pendonor, karena sebagian orang menolak mendonorkan ASI karena status non-muslim keluarga tersebut.

Dari kasus tersebut, bolehkah muslim memberikan susuan untuk non-muslim, atau sebaliknya, non-muslim memberikan susuan bagi muslim?

Alasan penolakan donor ASI, terlebih masalah menyusui bayi beda agama ini barangkali bisa dipahami, setidaknya dari dua hal: pertama, status hukum Donor ASI yang masih diperdebatkan sebagian ulama, serta kedua, keterangan larangan menyusui anak beda agama.

Masalah pertama tentang hukum, ulama mengkhawatirkan ketercampuran nasab. Meninjau aturan donor ASI, asalkan dari segi pendonor/pemberi ASI, sistem penyimpanan keluarga, serta bayi dipandang aman baik dari segi kesehatan maupun identitas, kiranya hukum donor ASI – baik melalui bank atau tidak, itu dapat dibolehkan. (Baca: Hukum Donor ASI dan Bank ASI)

Kemudian masalah kedua tentang pemberian ASI kepada bayi non-muslim, atau non-muslim menyusui muslim. Penulis belum menemukan keterangan ulama tentang persoalan susuan anak dan orang tua beda agama – (irdla’ul kuffar) atau ibu susuan perempuan musyrik, kecuali dalam sebuah keterangan yang dikutip Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al Mughni:

كَرِهَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الِارْتِضَاعَ بِلَبَنِ الْفُجُورِ وَالْمُشْرِكَاتِ. وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -: اللَّبَنُ يُشْتَبَهُ، فَلَا تَسْتَقِ مِنْ يَهُودِيَّةٍ وَلَا نَصْرَانِيَّةٍ وَلَا زَانِيَةٍ

Artinya:

Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memakruhkan ibu susuan dari perempuan yang buruk pribadinya atau musyrik. Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz mengatakan: “Susu itu bisa membuat serupa (dengan pemberi susunya), maka jangan menyusui dari orang Yahudi, Nasrani atau pezina.”

Argumennya begini: konon sifat bawaan perempuan lacur dinilai bisa berdampak pada anak yang disusui. Ibu susuan yang demikian, menurut Ahmad bin Hanbal bisa berdampak buruk pada anak secara tabiat maupun perilaku. Begitupun susuan dari orang musyrik, memiliki dua aspek keharaman nikah: sebab ia menjadi ibu susuan, dan sebab kemusyrikannya. Dikhawatirkan anak yang disusui akan cenderung pada agama ibunya ini. Dari paparan di atas, Ibnu Qudamah mencatat:

إنَّ الرَّضَاعَ يُغَيِّرُ الطِّبَاعَ

Artinya:

Susuan akan memengaruhi perilaku.

Namun persoalan keterpengaruhan perilaku ibu susuan dengan bayi penerima ini hemat penulis adalah subjektif. Apakah air susu ibu non-muslim memiliki unsur-unsur kekemusyrikan? Atau apakah perempuan jahat ASI-nya mengandung elemen-elemen kejahatan? Kiranya tidak demikian.

Kekhawatiran Imam Ahmad bisa dipahami jika pembahasan ditinjau ke persoalan susuan meniscayakan juga pengasuhan bayi (hadhanah). Di masa lampau, saat teknologi penyimpanan ASI belum ada, tradisi ibu susuan sejalan dengan pengasuhan juga.

Kita tinjau donor ASI, hanya berurusan dengan pemberian ASI yang telah disimpan untuk bayi yang membutuhkan. Pemberi ASI bahkan bisa tidak berinteraksi dengan sang bayi. Asuhan anak tetap diserahkan pada orang tua sebagai pendidik utama yang menentukan kecenderungan perilaku bahkan agama sang anak, bukan di masalah pendonor ASI tersebut.

Status mahram dan nasab anak dan ibu susuan, baik muslim maupun non-muslim tidak berbeda. Sebagaimana dikutip dari Mausu’ah al-Fiqhiyah al Kuwaitiyah yang disusun oleh Badan Wakaf dan Keislaman negara Kuwait yang merupakan kompilasi fatwa ulama setempat, terdapat keterangan berikut:

إِنِ ارْتَضَعَ مُسْلِمٌ مِنْ ذِمِّيَّةٍ رَضَاعًا مُحَرِّمًا حُرِّمَتْ عَلَيْهِ بَنَاتُهَا وَفُرُوعُهَا كُلُّهُنَّ وَأُصُولُهَا كَالْمُسْلِمَةِ؛ لأِنَّ النُّصُوصَ لَمْ تُفَرِّقْ بَيْنَ مُسْلِمَةٍ وَكَافِرَةٍ

Artinya:

Jika seorang muslim disusui oleh (kafir) dzimmi sampai mencapai susuan yang menjadikannya mahram (memenuhi kriteria radla’ah), maka anak-anaknya dan mahram terkait seluruhnya haram dinikah sebagaimana keluarga kandung, karena nash-nash hukum tidak membedakan antara anak susuan muslim maupun kafir.

Jika ada yang menolak mendonorkan ASI atas dasar beda agama, perlu ditegaskan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hanya meletakkan statusnya sebagai makruh – tidak haram. Imam Ahmad mengambil ijtihad demikian, selain mengambil sikap hati-hati, juga karena adanya keterangan sahabat tentang susuan non-muslim – yang memerlukan telaah apakah ia hadis atau bukan, serta statusnya shahih atau tidak.

Wa ba’du, pada dasarnya nash yang eksplisit tidak menyatakan ketidakbolehan ibu susuan beda agama, serta tiadanya perbedaan status mahram dan nasab akibat itu. Kesepakatan pendonoran ASI hendaknya dibangun atas saling pengertian dan informed consent antara pendonor dan keluarga penerima. Tentu saja tak boleh lupa, tradisi ibu susuan dalam bentuk donor atau susuan langsung, mesti tetap memerhatikan segi keamanan dan kesehatan.