Tentu saja boleh. Realitasnya agama selalu tampil di ruang publik. Bahkan di negara-negara sekuler sekalipun, agama tidak pernah terusir sepenuhnya dari ruang publik. Pertanyaannya jenis dan bentuk agama seperti apa yang dibolehkan tampil di ruang publik itu?
Jawaban paling mudah adalah jenis dan bentuk agama yang tidak bertentangan dengan kepentingan publik itu sendiri. Namun masalahnya adalah siapakah publik itu? Apa syarat yang dibutuhkan agar seseorang boleh menjadi bagian dari suatu keanggotaan publik?
Konsepsi liberal menunjuk hukum sebagai instrumen untuk mengatur itu. Melalui hukumlah negara bisa memutuskan mana jenis dan bentuk agama yang boleh dan tidak boleh tampil di ruang publik. Tetapi apakah solusi ini memuaskan?
Cukup jelas jawabannya adalah tidak! Sebab sejak awal liberalisme memang mempunyai kecurigaan terhadap agama. Oleh karena itu, solusi liberal adalah menyingkirkan sama sekali agama dari ruang publik atau, sebaliknya, membuka pintu publik seluasnya kepada agama–tetapi melalui suatu prosedur yang mengandalkan sepenuhnya pada formasi opini publik.
Solusi yang disebut terakhir itu tampaknya terjadi di Indonesia. Tetapi lagi-lagi apakah formasi opini publik tersebut sungguh legitim? Bukankah mereka sekadar suara mayoritas yang tidak atau belum tervalidasi secara rasional?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat krusial. Cukup pasti tanggung jawab terbesar untuk menjawabnya ada di pundak Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Jika kedua pemimpin ini bisa menjamin terciptanya kondisi yang bebas dan setara bagi pembicaraan-pembicaraan publik dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, langkah bangsa Indonesia ke depan akan lebih ringan. Namun jika tidak, disintegrasi sosial sulit terelakkan.