Blackpink dan Krisis Tayangan Positif untuk Anak

Blackpink dan Krisis Tayangan Positif untuk Anak

Jika KPI memang serius ingin program-program yang positif, khususnya bagi anak-anak, KPI juga harusnya serius menangani program-program alay dan tak mendidik yang tayang di jam anak menonton televisi.

Blackpink dan Krisis Tayangan Positif untuk Anak
Foto: Shutterstock

“Buka YouTube yuk, liat Blackpink”, ucap salah seorang anak kepada segerombolan kawannya. Masing-masing mereka memegang gawai di tangan, padahal semuanya masih duduk di bangku SD. Saya yang berada tak jauh dari mereka langsung bertanya “Emang kamu tau Blackpink dek?” “Tau,” jawab mereka semua kompak.

Belum lama ini, sebuah video tentang anak laki-laki yang disuntik viral di media sosial. Video tersebut viral karena bocahitu justru menyanyikan lagu Blackpink karena ketakutan saat disuntik.

Blackpink, grup band asal Korea Selatan memang sedang menjadi primadona di Indonesia. Musik Blackpink diputar di mana-mana, di pusat perbelanjaan, di restoran, di media sosial, bahkan di televisi. Grup band ini pun mulai tenar, terlebih ketika Shopee, salah satu aplikasi berbelanja online menjadikan Blackpink sebagai brand ambassadornya. Tak tanggung-tanggung, iklan shopee yang diperankan Blackpink itu juga ditayangkan di televisi.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya melayangkan surat peringatan untuk 11 stasiun televisi berjaringan nasional yang menayangkan iklan tersebut. Muatan yang menampilkan para perempuan berpakaian minim tersebut berpotensi melanggar Pasal 9 Ayat (1) SPS KPI Tahun 2012. Tidak hanya KPI, sebuah situs web petisi, change.org bahkan menggagas sebuah petisi untuk menghentikan iklan Shopee yang ditampilkan Blackpink.

Budaya pop Korea memang sedang menjajah Indonesia. Perkembangan budaya pop Korea dimulai pada tahun 2009, kemudian semakin pesat pada 2011 dan semakin pesat lagi tiap tahunnya. Para remaja Indonesia pun mulai kecanduan budaya pop Korea, mulai dari tarian-tarian khas boy band dan girl band Korea, make up dan skin care Korea, hingga pakaian-pakaian dan aksesoris. Bahkan teman sekelas saya tak tanggung-tanggung mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk menonton konser grup band Korea idolanya.

Kini budaya pop Korea bukan hanya menjangkit para remaja, tetapi juga anak-anak. Lihat saja anak-anak di sekitar kita, banyak dari mereka yang sudah mahir bernyanyi dan berjoget ala-ala Korea. Apalagi budaya tersebut sudah mulai memasuki ranah televisi. Padahal televisi adalah media yang paling sering dan paling banyak dikonsumsi anak.

Sayangnya, setiap tahun jumlah tayangan untuk anak-anak merosot tajam. Bahkan lagu-lagu anak juga kini mulai meredup. Alhasil, anak-anak pun kini ikut menonton tayangan dan mendengarkan lagu-lagu dewasa. Tentu tak hanya Blackpink, banyak juga sinetron-sinetron cinta alay ala anak-anak abg di televisi.

Tayangan-tayangan anak yang ada di televisi juga belum tentu terbebas dari nilai-nilai negatif. Kartun Upin Ipin misalnya, kartun ini mengangkat karakter banci melalui peran seorang tokoh bernama Kak Shaleh. Kak Shaleh seringkali ditampilkan dengan gaya khasnya yang melambai-lambai dan sering berkata Amboi. Ia juga seringkali menamakan dirinya “Sally”. Karakter ini justru akan menimbulkan persepsi anak bahwa “banci” adalah hal lumrah di masyarakat.

Kenyataanya, KPI juga masih belum maksimal dan serius. Jika KPI memang serius ingin program-program yang positif, khususnya bagi anak-anak, KPI juga harusnya serius menangani program-program yang alay dan tak mendidik yang tayang di waktu anak-anak menonton televisi.

Anak-anak adalah peniru yang handal. Mereka membutuhkan contoh teladan yang baik. Sayangnya saat ini justru media kekurangan tayangan yang menghibur sekaligus mendidik. Coba saja tanyakan kepada anak-anak “Siapakah idolamu?” Mungkin akan sangat jarang anak yang akan menjawab “Idolaku Nabi Muhammad”, “Idolaku Umar,” Aisyah, atau Khodijah. Tayangan seperti “Nussa” adalah salah satu contoh konten positif untuk anak-anak. Terlepas dari siapa ustadz dan idiologi sang ustadz yang ada di balik layarnya.

Anak-anak butuh tayangan-tayangan positif yang dapat merepresentasikan akhlak-akhlak Rasulullah Saw. Selain untuk hiburan, tayangan itu juga bisa menjadi sarana menanamkan nilai-nilai positif dalam diri anak. Selain itu, anak-anak juga butuh figur nyata di sekitarnya, baik melalui orangtua, kerabat maupun guru. Tak lupa pula, orangtua hendaknya selalu mengawasi apa yang dilihat dan didengar anak-anaknya.

Mari memproduksi konten positif untuk anak-anak! Mari menjadi teladan yang baik untuk anak-anak!