Dalam Kompilasi Hukum Islam, yang selama ini jadi pegangan untuk hukum dalam pernikahan Islam, wali nikah tidak dibolehkan dari orang bisu (tuna wicara) dan tuli (tuna rungu).
Isu pembatasan hak wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara ini bermula dari pasasl 22 dalam Kompilasi Hukum Islam. Di pasal dijelaskan eksplisit kapan dan siapa saja yang hak wali nikahnya dapat digantikan oleh wali nikah di derajat berikutnya. Begini bunyinya.
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.”
Dengan melihat redaksi pasalnya saja akan dapat terdeteksi betapa KHI tidak menampilkan keberpihakannya kepada penyandang disabilitas. Peletakan kata “menderita” misalnya dalam pasal itu terkesan memberikan konotasi makna negatif kepada wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara. Penggunaan kata “menderita” itu terkesan menempatkan mereka sebagai orang yang mengalami “penderitaan”, “korban”, atau mungkin “ketidakberdayaan”.
Jika mau melacak lebih jauh, kata “menderita” itu pernah digunakan di Eropa sebelum abad 19. Saat itu, affliction; yang bermakna penderitaan, digunakan untuk menyebut penyandang disabilitas. Kalau begitu, paradigma yang dibangun oleh KHI tidak jauh berbeda dengan paradigma ratusan yang lalu yang umumnya memarginalkan posisi mereka.
Masalahnya, KHI sendiri hingga hari ini masih tetap digunakan sebagai pedoman oleh praktisi hukum (Islam); seperti para hakim Pengadilan Agama juga penghulu KUA. Apa yang ada di dalam KHI tetap digunakan sebagai pertimbangan, meskipun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak sepenuhnya merujuk pendapat dari KHI. Alasannya karena ia tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akhirnya, kitab-kitab fikih lah yang jadi alternatif rujukannya. Padahal KHI itu merupakan himpunan pilihan pendapat dalam kitab-kitab fikih yang mestinya juga dapat diterima.
Nah, otomatis, ketika isu ini dibawa ke ranah kajian fikih, ternyata jawaban akomodatif hanya ditemukan untuk wali nikah penyandang disabilitas wicara saja. Syekh as-Syarbani misalnya menjelaskan bahwa ketika penyandang disabilitas wicara memiliki kemampuan untuk menulis atau menyampaikan isyarat yang bisa dipahami oleh publik maka ia masih memiliki hak untuk menjadi wali nikah. Meskipun hak itu, menurut al-Ghazali dalam al-Wasith fi al-Mazhab, masih diperdebatkan di kalangan ulama’ Syafi’iyyah.
Namun, di sisi lain, penjelasan al-Ghazali tentang kaitan wali nikah dengan penyandang disabilitas netra kelihatannya menjadi titik terang. Dalam catatanya, al-Ghazali menjelaskan bahwa ia tetap memiliki hak perwaliannya karena ia masih bisa mendengar. Alasannya karena maqashid an-nikah tidak berhubungan dengan penglihatan. Menariknya, pernyataan ini tidak diperdebatkan di kalangan ulama’ Syafi’iyyah. Kalau begitu, apabila pendapat itu dipahami secara kontradiktif, maka wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara harusnya masih memiliki kesempatan menjadi wali nikah.
Diskusi ini tidak akan menemukan titik terangnya jika penyelesaian masalah ini hanya terpaku pada teks fikih saja tanpa mempertimbangkan realitas. Nashr Hamid pernah menyatakan bahwa realitas adalah sumber dari segala bentuk teks. Lalu dari teks akan terbentuklah sebuah konsep. Nah, ketika teks berinteraksi dengan aktifitas kehidupan manusia, pasti pemaknaan terhadap teks akan berubah. Karena itu, imbuhnya, mengabaikan realitas hanya akan menempatkan teks sebagai catatan sejarah belaka.
Sementara itu, bagi asy-Syahrastani, teks-teks hukum itu; dalam konteks ini teks fikih; telah selesai dan dapat dihitung. Sedangkan realitas itu terus berkembang atau berubah dan tidak dapat dihitung. Adalah logis jika hal yang tak terbatas (realitas) tidak bisa dijawab oleh hal yang terbatas (teks).
Apabila ditilik melelui perspektif ushul fikih, seseorang dapat dianggap layak menjalankan kewajiban hukum jika memenuhi kriteria sebagai ahliyyah al-ada’ kamilah (pelaksana hak dan kewajiban hukum yang sempurna). Posisi ini dimiliki oleh orang yang telah aqil baligh hingga meninggal dunia. Kecakapan hukum inilah yang berlaku bagi setiap individu yang telah menyandang status mukallaf.
Apakah penyandang disabilitas rungu dan wicara masih dapat dianggap mukallaf? Terkait ini, uraian tentang halangan hukum (‘awarid) patut diperbincangkan.
Dalam catatannya, Wahbah az-Zuhaili hanya mencatat sebelas jenis penghalang untuk kategori ‘awaridh samawiyyah; penghalang yang ‘waridh samawiyyah, yaitu penyandang disabilitas mental, anak-anak, penyandang disabilitas intelektual, lupa, tidur, ayan/pingsan, sakit, budak, haid, nifas, dan mati. Sedangkan untuk kategori ‘awarid muktasabah; penghalang yang muncul karena perbuatan manusia sendiri, baik dari diri seseorang atau orang lain, Wahbah mencatat tujuh jenis penghalang, yaitu jahl (bodoh), mabuk, hazl (bercanda), safh, safar, dan khatha’ (kesalahan).
Dari uraian itu, maka jelaslah bahwa wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara tetap memiliki hak menjadi wali nikah. Kondisi disabilitas mereka tidak ada kaitannya dengan disabilitas intelektual dan mental sebagaimana pandangan umum masyarakat Eropa di Abad 19. Namun kemudian, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pihak penghulu atau ulama setempat (Islamic legal profesionalist) membolehkan mereka menjadi wali nikah? Akankah mereka mengakui dan memperjuangkan hak mereka menjadi wali nikah, sementara teks-teks fikih belum mengakomodirnya? Inilah yang perlu ditelusuri.
Oleh sebab itu, di sini lah pentingnya menghadirkan dimensi etis dalam memahami permasalahan hukum. Dimensi etis itu memiliki pijakan kuatnya pada sejarah Rasululah SAW ketika mengenalkan Islam di Mekah. Sebelum memperkenalkan risalah tauhidnya, Rasulullah SAW mengajarkan tiga hal mendasar yaitu; menyambung tali silaturahmi (shilat al-arham), melindungi darah (hiqnu ad-dima’), dan mengamankan jalan (ta’min as-sabil).
Tiga hal itu oleh Habib Ali al-Jufri dimaknai dengan perspektif yang lebih luas. “Menyambung silaturahmi” dimaknai sebagai bentuk jaminan keamanan masyarakat. Adapun “melindungi darah” dimaknai sebagai perlindungan terhadap kehidupan. Sedangkan “mengamankan jalan” dimaknai sebagai jaminan keamanan publik.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah itu menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan sisi kemanusiaan dalam segala bidang, termasuk hukum Islam. Ini pada akhirnya relevan dengan pernyataan yang menegaskan bahwa nalar dibangun oleh fikih, terutama pada bidang mu’amalah, pada dasarnya bernuansa emansipatoris, karena fikih lahir untuk mengurai ketimpangan sosial yang mendominasi di dunia Arab saat itu. Jika begitu, masihkah pantas untuk tetap membatasi hak wali penyandang disabilitas rungu dan wicara hanya karena kedisabilitasannya? (AN)
Wallahu a’lam