Bisakah Shobri Lubis Diadili Sebagai Penjahat Bencana Alam?

Bisakah Shobri Lubis Diadili Sebagai Penjahat Bencana Alam?

Shobri Lubis sudah keterlaluan dan harusnya sebagai ustadz ia bisa bijak, bukan malah jadi penjahat bencana

Bisakah Shobri Lubis Diadili Sebagai Penjahat Bencana Alam?
Ustadz Shobri Lubis adalah pimpinan FPI, dan ia kerap berbicara tanpa data dan cenderung tendensius dan kebencian. Pict by Istimewa

Sekitar dua minggu lalu, seorang teman asal Palu yang sedang berduka lantaran kota kelahiran luluh lantak dan banyak kawan serta kerabatnya tewas akibat bencana gempa dan tsunami, mengajukan pertanyaan kepada saya, “Bisakah Shobri Lubis diadili sebagai penjahat bencana?”.

Saya tahu ia tengah geram luar biasa kepada Shobri Lubis. Pasalnya, Ketua Umum DPP FPI itu berpidato di hadapan ribuan orang di Monas, 28 September 2019, mengatakan bahwa gempa dan tsunami yang melanda Palu sehari sebelumnya, merupakan ekspresi murka Allah atas apa yang ditimpakan polisi kepada seseorang bernama Sugi Nur Rahaja.

Koleganya sesama penceramah pendukung pasangan capres cawapres nomer 02 yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Nur itu, memang baru saja ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Banser NU dan Ansor.

“Gus Nur dijadikan tersangka, Palu langsung gempa dan tsunami. Dibayar kontan, Saudara!” teriak Shobri Lubis dalam acara bertajuk “Doa Untuk Keselamatan Bangsa dan Habib Rizieq Shihab” itu.

Atas pertanyaan kawan saya itu, saya langsung menjawab, “Bisa!”. Tentu saja saya tidak sedang bersunguh-sungguh. Namun saya juga tidak sedang bermain-main. Saya tidak bersungguh-sungguh karena selama ini saya belum pernah mendengar ada istilah “penjahat bencana”, dan tidak pernah tahu ada pengadilan yang mengurusi soal itu.

Yang pernah saya dengar hanya: penjahat perang. Dan pengadilan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum dalam perang, sesuai konvensi internasional, juga telah beberapa kali digelar di dunia ini.

Namun saya tidak bermain-main lantaran saya berpendapat bahwa istilah “penjahat bencana” seharusnya juga dimunculkan, guna menandai orang yang secara etika telah melakukan pelecehan terhadap korban peristiwa bencana alam. Ya, saya tak kalah geram dibanding kawan saya itu.

Meski tidak sampai memerlukan sebuah mahkamah untuk menyeret dan mengadili “penjahat” semacam itu, namun saya kira istilah ini layak dipopulerkan sebagai semacam sanksi sosial, bagi siapa saja yang menghubungkan bencana alam dengan persoalan politik.

Sebab, mengaitkan bencana alam dengan perkara semacam itu, selain menghina akal sehat, juga merendahkan kehormatan para korban.

Bayangkan, di tengah-tengah keprihatinan dan kedukaan yang tak terpermanai yang sedang melanda Palu, ketika orang-orang sedang terguncang jiwanya lantaran kehilangan kerabat dan sanak saudara, tiba-tiba dengan ringan lidah, Shobri Lubis mengatakan bahwa semua itu merupakan akibat dari “kriminalisasi” Sugi Nur Rahaja.

Semestinya, sebagai tokoh agama, Sobri Lubis bisa menunjukkan rasa empati dengan cara membesarkan hati para korban bencana. Dari mulut mubaligh itu semestinya keluar kalimat-kalimat yang meninggikan derajat mereka, yang menguatkan mental mereka. Namun yang ia katakan justru sebaliknya.

Saya agak mual menonton rekaman video ceramah itu. Maksud saya, silakan saja Shobri Lubis memuja Sugi Nur Rahaja atau siapa pun juga yang ia anggap sebagai ulama yang sehaluan dengan dirinya dalam perjuangan politik, dan silakan saja ia berkampanye mendukung pasangan capres cawapres nomer berapa saja, namun mengaitkan perisitiwa bencana alam dengan urusan itu, sangat memuakkan.

Pernyataan “Gus Nur dijadikan tersangka, Palu langsung gempa dan tsunami” itu, cacat secara nalar sekaligus moral. Sebab, secara tidak langsung, ia seperti mensyukuri terjadinya bencana alam, yaitu sebagai konsekuensi atau hukuman atas perbuatan yang ia anggap zalim yang dilakukan oleh lawan politiknya.

Maka sudah selayaknya Shobri Lubis meralat kata-katanya dan meminta maaf kepada bangsa Indonesia yang sedang berduka, khususnya kepada para korban bencana alam di Palu.

Permintaan maaf menjadi penting sebagai pembelajaran bagi masyarakat kita, agar tidak semena-mena dan sombong dalam menafsirkan peristiwa bencana alam. Sebab, akhir-akhir ini, setiap kali terjadi bencana alam, selalu muncul orang-orang yang mengaitkan fenomena alam itu dengan perilaku manusia, baik dalam urusan politik maupun keagamaan.

Belum lama ini beredar di media sosial rekaman video Ahmad al-Habsyi dan juga screenshot unggahan di Facebook yang mengatasnamakan Gamal Albinsaid. Dalam video, Ahmad al-Habsyi yang dikenal sebagai seorang ustadz itu terlihat antara lain sedang mengatakan kepada sejumlah orang: jika menginginkan Indonesia bahagia dan jauh dari bencana, maka pilihlah Prabowo.

Sementara teks dalam unggahan atas nama Gamal Albinsaid yang dilengkapi foto kerusakan jalan raya akibat gempa di Palu itu berbunyi: “Jangan bangga telah membangun infrastruktur, hanya dalam hitungan detik Allah bisa hancurkan. Bangun dan ajaklah rakyatmu taat kepada Allah, maka Allah akan turunkan keberkahan dari langit dan bumi.”

Saya sangat terkejut saat pertama kali menerima kiriman screenshot itu. Saya tak habis pikir, bagaimana seorang terpelajar sekelas Gamal Albisaid bisa terjerumus ke dalam pemikiran dan retorika sesembrono itu? Tapi saya menjadi sangat lega setelah sesaat kemudian beredar bantahan. Jubir BPN pasangan Prabowo – Sandi itu mengatakan bahwa unggahan tersebut merupakan akun palsu yang membajak namanya. Dengan kata lain, itu hanya hoax belaka.

Satu hal yang bisa dipikirkan dari pemalsuan akun Gamal Albinsaid itu: pemanfaatan bencana sebagai bahan retorika untuk meraih keuntungan politik, dipandang cukup efektif. Masih banyak kelompok masyarakat yang akan terpengaruh dengan ancaman-ancaman bakal terjadinya bencana jika memilih atau tidak memilih pasangan capres cawapres tertentu.

Kecenderungan seperti itu sangat tidak sehat bagi bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana alam. Peristiwa-peristiwa seperti itu sebaiknya kita maknai sebagai gejala alam biasa yang merupakan sunatullah.

Maka hendaknya masyarakat didorong untuk lebih fokus pada peningkatan mitigasi. Sebab, selain doa, mitigasi merupakan ikhtiar yang sangat penting bagi pengurangan risiko kehilangan nyawa dan harta benda pada kejadian bencana alam.

Penjelasan ngawur tentang sebab-sebab bencana alam, selain melecehkan mereka yang menjadi korban, juga bisa menyesatkan masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi musibah seperti itu.

Maka, sekali lagi, saya kira sudah sepatutnya Shobri Lubis, Ahmad al-Habsyi, dan mungkin banyak masih banyak yang lainnya, mencabut dan meminta maaf kepada publik atas pernyataan mereka soal bencana. Atau minimal mereka berjanji tidak akan mengulangi. Jika tidak, maka akan saya kabarkan kepada kawan saya, bahwa saya serius soal istilah “penjahat bencana”.[]