Biro Haji Zaman Kolonial, Umar Bugis dan Kongsi Tiga

Biro Haji Zaman Kolonial, Umar Bugis dan Kongsi Tiga

Biro Haji Zaman Kolonial, Umar Bugis dan Kongsi Tiga

Pengakutan jemaah haji di zaman kolonial mendapat perhatian khusus dari pemerintah kala itu. Bahkan ada perusahaan yang memonopolinnya.

Ibadah haji tidak pernah terlepas dari adanya biro pemberangkatan haji. Hingga hari ini keberadaan biro pemberangakatan ibadah haji sangat dibutuhkan. Perkembangannyapun juga semakin meningkat. Jumlah biro perhalanan haji juga banyak. Bahkan organisasi yang menaunginya biro perjalalan haji jumlahnya lebih dari satu.

Menengok ke belakang, bagaimana peran biro perjalanan haji sangatlah menarik. Terutama kalau melihat bagaimana biro perjalanan haji sebelum kemerdekaan. Di zaman kolonial biro-biro perjalanan haji menjadi tumpuan bagi para calon jamaah. Banyak hal yang unik di dalamnya. Ada persaingan dagang antara pemerintah kolonial dangan perusahaan di Singapura, maupun perang harga.

Di tengah penjajahan yang begitu ketat pengawasannya, biro-biro perjalanan haji zaman Hindia Belanda mampu memberangkatkan banyak jamaah. Dengan menawarkan sejumlah fasilitas, biro perjalanan haji ini mampu menyedot calon jamaah untuk berangkat menggunakan jasanya. Ada ribuan jamaah haji yang telah diberangkatkan oleh biro-biro haji baik yang berkedudukan di Indonesia maupun Singapura.

Ada beberapa nama terkenal dalam bisnis penyelenggaraan pemberangakatan ibadah haji ini. Diantara tokohnya yang terkenal adalah haji Umar Bugis. Ia sering menjadi rujukan bagi perjalanan ibadah haji. Syeikh Umar Bugis dikenal sebagai orang pertama yang mengangkut alon jamaah haji dengan kapal khusus pada tahun 1825. Selain itu ada nama Haji Muhammad Namzee dan lain sebagainya.

Munculnya biro perjalanan haji zaman Hindia Belanda sebenarnya dimulai pada tahun 1825. Namun sebelumnya pengangkutan jamaah haji masih dilakukan oleh para pedagang milik Arab dan Inggris yang mengambil embarkasi di Singapura. Dalam sebuah catatan disebutan bahwa pada tahun 1858 ada sebuah kapal Inggris yang berlabuh di Batavia untuk mengangkut calon jemaah haji. Orang Arab yang berada di Batavia juga mulai memanfaatkanpeluang bisnis haji ini dengan membeli kapal api dari firma Besier en Jonkheim . Dengan kapasitas 400 orang para jemaah diangkut dengan membayar harga tiket dari Batavia f 60, dari Padang f50.

Persaingan perusahaa haji pernah terjadi juga terjadi ketika zaman Hindia Belanda di tahun dua puluhan. Meskipun ordonansi haji no. 698/1922 mengatur cara mengangkut jemaah, syarat perkapalan, dan syarat agen, toh pemerintah ketika itu pun membenarkan hak monopoli. Kapal Haji Kongsi Tiga yang diserahi monopoli pengangkutan haji dengan seenaknya memasang tarif f 250 pulang pergi. Tapi begitu sebuah kapal milik seorang Muslim Hongkong memaki pasaran angkutan haji di Hindia Belanda, tarif Kapal Kongsi Tiga dengan mengejutkan meluncur hingga 80 Gulden

Dengan meningkatnya jumlah jemaah haji, pemerintah Belanda akhirnya kepincut untuk mendirikannya. Alasannya sangat jelas karena ada keuntungan bisnis yang akan didapatkannya.Padahal sebelumnya pemerintah Hindia Belanda enggan ntuk mendirikan biro pengakuta jemaah haji. Akhirnya muncul tiga perusahaan pengangkutan jemaah haji milik pemerintah kolonial yaitu Netherland, Rotterdamsche dan Ocean Maatschappij. Pada tahun 1873 pemerintah Belanda juga mendirikan sebuah perusahaan haji di Jawa yang beroperasi pada tahun 1974.

Monopoli Kongsi Tiga

Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial membentuk perusahaan dengan nama Konsi Tiga pda tahun 1877. Kongsi Tiga adalah gabungan dari tiga perusahaan tersebut yang dibentuk di Belanda.peruahaan ini yang akhirnya diberikan hak monopoli untuk pengangkutan para jemaah haji yang ada di Hindia Belanda. Adanya monopoli ini tentunya memberatkan bagi para jamaah.

Selain mempunyai wewenang tentang hak monopoli, para jemaah harus membeli tiket pulang pergi. Tentu saja hal ini menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Apalagi pembelian tiket ini harus dibayar enam bulan sebelum pemerangkatannya di bank yang telah ditunjuk. Harga tiketpun semakin meningkat sesuai dengan perkembangan harga. Untuk ongkos pulang pergi, Kongsi Tiga pada tahun 1895 mematok harga f 120.-. Kemudian harga tiket pulang pergi tahun 1915 bertarif f 200. Harga tersebut naik pada tahun 1920 yaitu menjadi f350.

Maka tidak heran banyak jamaah haji yang enggan menggunakan Kongsi Tiga untuk melakukan perjalana ke tanah suci. Tertata pada tahun 1873-1879 masih sedikit yang memamai jasa Kongsi Tiga namun pada tahun 1885 ada sekita 61 persen jamaah haji menggunakan jasa perusahaan ini.

Selain perusahan milik Belanda ini, sejumlah perusahaan lain yang berkedudukan di Singapura juga mengambil keuntungan dari jemaah haji Indonesia. Memang sampai ahun 1900 sejumlah perusahaan Singapura masih menjadi favorit bagi para jemaah haji. Alasannya harga tiket lebih murah. Tercatat beberapa perusahan haji yang ada di Singapura. Perusahaan ini menjadi perusahaan yang sering digunakan oleh jamaah haji Indonesia. Tiketnya lebih murah jika dibandingkan dengan perusahaan Belanda.

Pada tahun 1895 perusahaan Belanda menetapkan tiket sebesar f120 untuk pulang pergi. Sedangkan perusahaan Hotline hanya mematok harga f 63,75. Pada tahun 1920 harga tiket f350 untuk perusahaan Belanda dan f260 untuk perusahaan Holtline untuk tiket pulang pergi. Untuk menggenjot perusahaan, Kongsi Tiga menggandeng beberapa kolega, diantaranya perusahaan Tajjudin Brother yang bergerak di bidang keuangan.

Perusahaan ini yang meminjamkan uang untuk jamaah haji. Namun dengan sitem yang licik keuntungan besar telah diambil oleh pemodal yang terdiri dari Tajuudin Brother, Syeikh Haji dan Kongsi Tiga. Sejumlah tanah yang subur di banten tercatat sebagai bagian dari penebusan untang para jamaah haji. Bahkan seorang peneliti bernama J Vrendenbregt dalam bukunya yang berjudul The Hadj, Some of its Feuture menganggapnya sebagai hasil yang paling ekstrim dari cara ini adalah pemiskinan jemaah haji.