Biografi Singkat Syekh Mutamakkin: Ulama Kharismatik Asal Pati

Biografi Singkat Syekh Mutamakkin: Ulama Kharismatik Asal Pati

Biografi Singkat Syekh Mutamakkin: Ulama Kharismatik Asal Pati

Salah satu tokoh ulama besar yang hidup pada abad ke-17 adalah Mbah atau Syekh Mutamakkin. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1645 M di desa Cebolek, Tuban Jawa Timur, yang saat ini berubah menjadi desa Winong.

Berkaitan dengan silsilah Syekh Mutamakkin banyak perbedaan pendapat, menurut Gus Dur, Syekh Mutamakkin berasal dari Persia (Zabul) provinsi Khurasan, Iran Selatan. Adapun menurut kepercayaan masyarakat setempat, Syekh Mutamakkin keturunan bangsawan Jawa. Sedangkan berdasarkan dari catatan local historis, Syekh Mutamakin dari silsilah sang ayah adalah keturunan Raden Fattah (Raja Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono.

Syekh Mutamakkin memiliki tiga orang anak yakni Nyai Alfiyah Godek, Kiai Bagus, dan Kiai Endro. Kiai Bagus menetap di Jawa Timur. Sedangkan Nyai Alfiyah Godeg dan Kiai Endro tetap tinggal di Kajen, Pati.

Syekh Mutamakkin juga dikenal sebagai Mbah Mbolek. Gelar tersebut di ambil dari nama desa kelahirannya. Sedangkan kata al-Mutamakkin diambil dari proses rihlah ilmiahnya di Timur Tengah yang memiliki arti orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya. Nama ningrat Syekh Mutamakkin adalah Sumohadiwijaya.

Syekh Mutamakkin seorang ulama tasawuf terkenal pada masanya. Ajaran tasawufnya ia peroleh dari seorang tokoh tarekat Naqsabandiyah yakni Syekh Zayn al-Mizjaji al-Yamani sehingga ia diangkat menjadi khalifahnya di Nusantara. Tidak dapat diketahui secara pasti kapan Syekh Mutamakkin belajar kepada Syekh Zayn, juga kepada guru-guru lainnya. Akan tetapi, hubungan guru-murid dapat dilacak melalui wafatnya Syaikh Zayn yaitu tahun 1633 dan kematian putranya (Abdul Kholiq Ibn Zayn) tahun 1740 M. Dengan demikian Syekh Mutamakiin berguru pada beliau skitar masa itu.

 

Ajaran-Ajaran Syekh Mutamakkin

Dalam bidang akidah, menurut Syekh Mutamakkin, pondasi ilmu pengetahuan adalah syahadat yang terbagi kedalam dua kategori. Yakni syahadat untuk orang umum dan orang khos (khusus) dengan kalimat Lailaha illallah.

Di dalam lafadz lailaha illallah, lanjutnya, terkandung empat hal yaitu: 1) pembenaran dalam hati (tasdiqu bi al-qolb), 2) pengagungan (takdzim) 3) penghormatan (hurmah) dan 4) kecintaan secara mendalam (halawah).

Dalam bidang syariat (fikih) ia tidak membahas begitu terperinci. Dalam keterangan ia hanya membahas tentang wudhu, mandi dan shalat. Pada aspek ini, pendapatnya tidak jauh berbeda dengan umumnya kitab-kitab fikih, akan tetapi madzhab Syafi’i mendominasi pemikirannya.

Dalam bidang akhlaq dan tasawuf, Syekh Mutamakkin mengutip hadis yang menceritakan sosok perempuan yang dilihat Nabi ketika peristiwa Isra’ Mi’raj. Hadis tersebut, menurut Syekh Mutamakkin, berkaitan dengan pentingnya menjaga hubungan baik antara sesama dengan cara menampilkan akhlak yang terpuji. Perhatian secara teologis terhadap perilaku (akhlaq) manusia serta tanggung jawab didasarkan kepada kewajibannya untuk mencapai Ridho Allah hingga pada akhirnya sampai pada tahap ru’yatullah.

Sementara dalam bidang tasawuf, ia mengungkapkan beberapa tarekat yang melibatkan dirinya seperti Qadariyyah, Naqsabandiyah, Sattariyah, Khalwatiyah, serta beberapa tarekat lainnya. Sampai pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa Mbah Mutamakkin memiliki karakteristik tasawuf sunni. Ditambah lagi ia mengutip beberapa tokoh tasawuf berakiran sunni seperti al-Ghozali dan al-Asy’ari. Walaupun di dalam beberapa kesempatan beliau juga mengutip pemikiran Ibn ‘Arabi sehingga menjadikannya bercorak tasawuf falsafi.

Dalam bidang pendidikan, Mbah Mutamakkin menggunakan metode yang telah diterapkan oleh Walisongo yakni pendektan kultural-kontekstual. Pendekatan ini dilakukan beberapa tahap, pertama, penanaman nilai tauhid dengan menekankan pada asas keimanan. Setelah faham dengan sendirinya manusia itu akan berubah dan meninggalkan perkara khurafat dan kekufuran.

Kedua, pendekatan yang dikenal dengan aluran Tuban atau Ambangan. Pendekatan ini didekati dengan dua tahap. Tahap pertama adalah menghindari konfrotasi secara langsung atau tidak menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama Islam. Analogi ini diumpamakam seperti kita menangkap ikan tapi tidak membuat keruh airnya. Adapun tahap kedua adalah mengubah kepercayaan secara perlahan dengan melakukan penyesuaian.

Melalui pendektan kultural-kontesktual inilah Mbah Mutamakkin mampu menyentuh hati setiap masyarakatnya. Mbah Mutamakkin juga lebih memilih tasawuf sebagai jalan dakwahnya. Ia tidak melawan pemerintah juga tidak pada posisi kontra terhadap penguasa, melainkan berada diantara keduanya. Dalam konteks inilah ia mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan membiarkan para ulama sebagai alternatif kultural dihadapan sang penguasa. (AN)

 

Sumber bacaan: Abdul Rosyid, Sufisme Kiai Cebolak, Jawa Tengah: Mutamakkin Press, 2017.