Muhammad Nashiruddin al-Albani lahir pada tahun 1914 di kota Shkodër, salah satu dari tiga kota terbesar di Negara Albania. Al-Albani lahir dari keluarga yang agamis dan sangat mengutamakan pendidikan namun kurang mampu secara finansial.
Ayahanda al-Albani, Nuh Najati pernah mengenyam pendidikan di lembaga kajian Islam khusus ilmu syari’ah di kota tua Constatinopel, yang sekarang dikenal dengan kota Istanbul Turki. Setelah menyelesaikan studinya, ayahanda al-Albani kembali ke kota kelahirannya untuk mengabdi dengan mengamalkan ilmu yang telah ia dapat seputar studi Islam, sehingga ia menjadi salah satu tokoh masyarakat yang dijadikan rujukan perihal permasalahan studi Islam.
Mada masa pemerintahan Raja Albania, yaitu Ahmed Zogu/ Skanderbeg III (w. 1961 M), terdapat sebuah misi yang diupayakan olehnya yaitu menjadikan negara Albania sebagai negara sekuler berdasarkan adopsi dari ideologi dari Bara. Sehingga berdampak pada banyak perubahan pada pola hidup masyarakat Islam saat itu, salah satunya dalam hal berpakaian.
Para perempuan di negara Albania saat itu melepas hijab atau menggunakan jilbab yang pendek, kemudian bagi para lelaki disana mereka berpakaian seperti pakaian yang dikenakan oleh orang Eropa.
Karena dirasa kondisi sosial dari tanah kelahirannya yang tak lagi sesuai dengan idealisme ideologi pemahaman agama yang ia anut, ayahanda al-Albani membawa seluruh keluarganya untuk hijrah ke negeri Syam tepatnya di kota Damaskus. Ia menganggap bahwa kota tersebut mempunyai kajian yang ideal seputar studi Islam dan pembahasan hadis Nabi Muhammad saw.
Rihlah Ilmiyah:
Al-Albani memulai pendidikan akademiknya di sekolah dasar Damaskus yang terletak di sebelah bangunan arkeologi terkenal yaitu Istana Al-Azem di distrik Al-Buzuriya. Namun di akhir masa studinya, tejadi revolusi Suriah yang menyebabkan peperangan antara Suriah dan Prancis. Karena sengitnya perang yang terjadi saat itu, sekolah dasar yang menjadi tempat belajar al-Albani pun terbakar, dari permintaan ayahnya, al-Albani kemudian melanjutkan studinya di Madrasah al-Nizamiyyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
Adanya ketidakcocokan ideologi pemikiran Islam antara Ayah al-Albani dengan Madrasah al-Nizamiyyah menjadikan al-Albani harus pindah ke sebuah halaqah madzhab Hanafi yang mengkaji seputar ilmu al-Qur’an, Tajwid dan ilmu Sharf. Selain itu ayahanda al-Albani juga merekomendasikan beberapa teman – temannya untuk menjadi guru agama dan bahasa Arab bagi al-Albani, di antaranya adalah Said al-Burhani. Selain itu al-Albani juga memperoleh ijazah keilmuan di bidang ilmu hadis dari Syeikh Raghib Altabakh, yaitu salah seorang guru hadis di Aleppo Suriah.
Selain itu al-Albani juga menyukai beberapa bacaan yang ditulis oleh Rasyid Ridha seperti karya – karyanya tentang cerita-cerita Arab; tokoh al-Zahir, Antarah, Raja Saif, dan sebagainya. Ia juga menyukai karya terjemah Rasyid Ridha seperti cerita fiktif detektif Arsene Lupin dan lain sebagainya. Salain itu, karya seputar sejarah juga mejadi salah satu bacaan favorit al-Albani.
Genealogi pemahamannya akan pemikiran Islam dan ilmu hadis:
Salah satu kitab tentang biografi al-Albani yaitu al-Imam al-Mujahid al-‘Allah al-Muhaddith Muhammad Nashiruddin al-Albani yang ditulis oleh Umar Abu Bakar, disebutkan meski al-Albani memiliki pemahaman yang berbeda dengan ayahnya, namun ia tetap memberi apresiasi bahwa ayahnya telah berkontribusi besar dalam membentuk ideologi pemikirannya. Tepatnya, ayahnya adalah salah seorang penganut madzhab Hanafi yang menjadi perantara al-Albani untuk menemukan ideologi keislaman yang ia anut hingga akhir hayatnya.
Al-Albani menegaskan bahwa ia dahulu senantiasa mengikuti pemahaman yang dianut oleh ayahnya hingga Allah SWT menunjukkan kepadanya jalan al-Sunnah atau ideologi pemahaman Islam yang dianut. Ia juga mengatakan bahwa motif dari banyaknya ajaran – ajaran ayahanda yang tak lagi ia laksanakan semata – mata sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menginjak usia dua puluh tahun, al-Albani memilih untuk lebih memperdalam kajian ilmu hadis dari pembacaannya terhadap majalah al-Manar yang ditulis oleh Rasyid al-Ridha. Bisa dikatakan bahwa Rasyid Ridha adalah satu ulama yang mengisnpirasi al-Albani untuk memperdalam ilmu hadis. Dalam majalah tersebut Rasyid Ridha memberi kritik terhadap hadis – hadis dalam kitab al-Ihya’ karya Al-Ghazali meliputi identifikasi hadis – hadis da’if dalam kitab tersebut. Salah satu dari kontribusi pertama al-Albani dalam kritik hadis adalah karya seputar kritik hadis atas kitab al-Mughni ‘an Haml al-Ashfar fi al-Takhrij ma fi al-Ihya’ al-Akhbar.
Hal ini yang kemudian memperkuat tekat al-Albani selanjutnya untuk melakukan takhrij dan kritik hadis di beberapa kitab hadis lainnya, seperti kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab sunan lainnya.
Bisa dikatakan dalam memperdalam kajian ilmu hadis, al-Albani cenderung otodidak dengan membaca banyak literatur hadis di perpustakaannya sendiri dan koleksi literatur di perpustakaan al-Zahiriyyah damaskus. Ia tidak mempelajari hadis melalui lembaga atau sekolah formal yang mengkaji seluk – beluk ilmu hadis.
Keteguhannya dalam mempelajari ilmu hadis membuat al-Albani mempunyai argumentasi bahwa ia tidak menganut madzhab apapun dalam penyandaran hukum untuk memberi interpretasi terhadap kandungan dan keberlakuan hujjah suatu hadis. al-Albani cukup menyandarkan segala interpretasi hadis dari dua sumber pokok yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Pola pemahaman al-Albani tersebut tak luput dari ideologi Muhammad bin Abd al-Wahab, beliau adalah salah satu pembesar kelompok wahabi. Oleh karena itu, banyak beberapa karya yang ditulis oleh al-Albani menyuarakan pemahaman aqidah dari ideologi Muhammad bin Abd al-Wahab.
Nashiruddin al-Albani mengakui bahwa dalam metode kritik hadis dan jarḥ wa al-ta’dīl beliau hanya berpegang pada kitab mukhtaṣar seperti Taqrīb wa al-Ḍu’afā’ karangan Imam al-Dzahabi tanpa merujuk kepada kitab babon, sehingga tak jarang terjadi kontradiksi penilaian hadis dalam satu kitab karangannya dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitabnya al-Silsilah al-Aḥādīth al-Ṣaḥīḥah.
Tak sedikit sarjana hadis yang memberikan respon kritik terhadap metodologi dan pemahaman al-Albani. Seperti yang dijelaskan oleh Ismail bin Muhammad al-Anshari dalam kitab Taṣḥīḥ al-Ḥadīth Ṣalāt at-Tarāwīḥ ‘Isyrinā Raka’ah wa ar-Radd lā al-Albāni fī Taḍ’īfihī, bahwa al-Harari (w. 1429 H), ia adalah salah satu dari kritikus tersebut yang mengkritik karya berjilid Al-Albani dalam kitabnya yang berjudul Silsilah al-Aḥādīth al-Ḍa’īfah wa al-Mauḍū’ah wa Athāruha al-Sayyī’ fī al-Ummah. Al-Anshari salah seorang pakar hadis yang lain juga memberikan kritik terhadap pendapat al-Albani terkait shalat tarawih 20 rakaat. Syeikh al-Ghumari (w. 1354 H), salah seorang ulama hadis asal Maroko juga menilai bahwa penilaian status hadis yang dilakukan oleh al-Albani tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan Syeikh Yasin al-Faddani (w. 1990 M) menganggap bahwa al-Albani sesat dan menyesatkan.
Menurut Prof. Kamaruddin Amin, selain para sarjana diatas, terdapat nama Hasan bin Ali Assaqaf yang turut memberikan respon kritis terhadap Al-Albani. Di antara kritik yang paling signifikan adalah karya Assaqaf yang berjudul Tanāquḍāt Al-Albāni Al-Waḍiḥāt (kontradiksi yang Nyata dari Al-Albani) yang terdiri dari tiga jilid. Dengan mengkritik Al-Albani, Assaqaf mencoba untuk menunjukkan kontradiksi dan inkonsistensi dalam karya Al-Albani.
Selain itu, Assaqaf menemukan ditemukan klaim990 hadis yang dinilai dha’if oleh al-Albani namun telah disepakati kesahihannya oleh mayoritas ulama ahli hadis lainnya.
Disisi lain, juga banyak dari kelompok yang memuji al-al-Albani dan memberi apresiasi dari upaya yang ia lakukan. Buah dari kontribusinya dalam literatur kajian ilmu hadis adalah pada tahun 1961, al-Albani diangkat sebagai salah satu profesor dan guru besar dalam ilmu hadis di Universitas Islam Madinah. Hal ini menunjukkan adanya apresiasi yang diperuntukkan untuk hasil karyanya. Bahkan ia juga menjadi salah satu anggota al-Jam’iyah al-Islamiyah, salah satu Majelis tinggi di tahun 1395 Hijriyah. Al-Albani juga memperoleh sebuah penghargaan tertinggi dari King Faisal Foundation di bawah otoritas kerajaan Saudi Arabia. Selain itu, kitab karya al-Albani beserta pemahamannya banyak dijadikan rujukan oleh para pengikut kelompok Salafi dan Wahabi di seluruh dunia, seperti kitab Sifat Shalah al-Nabi Saw min al-Takbir ila- al-Taslim, kitab Silsilah al-Ahadith al-Dha’ifah, kitab Silsilah al-Ahadith al-Shahihah dan lain sebagainya.
Karya– karya al-Albani
Salah satu proyek besar Nashiruddin al-Albani adalah membuat karya tentang kompilasi hadis – hadis berdasarkan pembahasan tema tertentu dengan teknis dan takhrij yang simple guna memudahkan umat Muslim untuk merujuk hadis – hadis Nabi Muhammad Saw secara instan tanpa harus bersusah payah mempelajari seluk beluk takhrij dan analisa kritik hadisnya secara mendalam. Proyek tersebut memiliki jargon yang populer dengan sebutan taqrib al-sunnah baina yadai al-ummah (mendekatkan sunnah kehadapan ummat).
Dari sekian banyaknya karya – karya yang ditulis oleh Nashiruddin al-Albani, beberapa kitab yang dinilai paling populer dan fenomenal, di antaranya adalah: Sifat Shalah al-Nabi Saw min al-Takbir ila- al-Taslim, Silsilah al-Ahadith al-Dha’ifah, Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, Irwa’ al-Ghalil, Shahih wa Dha‘if Jami‘ al-Shagir wa Ziyadatihi, Sahih Sunan Abi Dawud dan Da‘if Sunan Abi Dawud, Sahih Sunan al-Tirmizi, Dha‘if Sunan al-Tirmizi, Sahih Sunan al-Nasai, Dha‘if Sunan al-Nasai, Shahih Sunan Ibn Majah, Dha‘if Sunan Ibn Majah dan lain sebagainya. (An)