Biografi Imam Syafi’i, Pendiri Mazhab Syafi’i

Biografi Imam Syafi’i, Pendiri Mazhab Syafi’i

Biografi Imam Syafi’i, Pendiri Mazhab Syafi’i

Sebagai muslim Indonesia, tentu mayoritas kita tidak asing dengan Imam al-Syafi’i. Ia merupakan pendiri Mazhab Syafii. Mazhab ini cukup banyak dianut di Indonesia, bahkan bisa dibilang mayoritas di Indonesia.

Nama lengkap pendiri mazhab ini adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib. Nama terakhir adalah kakek dari Rasulullah.

Imam Syafii lahir dari rahim seorang ibu yang salehah, serta dari ayah yang terkenal kesabaran dan keikhlasannya. Bahkan Syafi’ bin Saib, kakek buyutnya, merupakan sahabat Rasulullah SAW. Nama al-Syafi’i, yang akrab di telinga kita, diambil dari nama kakek buyutnya tersebut. Sedangkan ibunya merupakan perempuan keturunan Ali bin Abi Thalib RA dari jalur Sayyidina Husein RA.

Idris, ayah Imam al-Syafi’i adalah seorang pemuda asal Makkah yang merantau ke Gaza, Palestina. Di Gaza ia bertemu dengan Fatimah binti Ubadillah, seorang perempuan salehah dari kaum Azdi. Idris menikah dengan Fatimah binti Ubaidillah, dengan tanpa sengaja. Pasalnya, saat itu Idris sedang dihukum ayah Fatimah karena tidak sengaja memakan buah delima milik ayah Fatimah yang hanyut di sungai.

Harapannya, kelak, agar ayah Fatimah mau mengikhlaskan buah tersebut, Idris rela menjadi buruh ayah Fatimah hingga beberapa tahun tanpa digaji. Keikhlasan Idris inilah yang membuat ayah Fatimah menjatuhkan pilihan kepadanya sebagai menantu.

Buah cinta dari keduanya lahir pada tahun 150 H. Saat itu, bertepatan dengan wafatnya dua ulama besar: Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, pendiri Mazhab Hanafi yang wafat di Irak dan Imam Ibn Jureij al-Makky, seorang mufti Hijaz yang wafat di Makkah. Hal ini disebut sebagai salah satu firasat bahwa bayi yang lahir tersebut akan menggantikan dua ulama yang telah meninggal, baik dalam keilmuan dan kesalehan.

Kehidupan bahagia Idris, Fatimah dan jabang bayi tidak berjalan bahagia. Idris, ayah Imam al-Syafi’i meninggal dunia dalam usia yang relatif muda. Fatimah harus berjuang sendiri mengasuh buah hati dalam kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan.

Sadar dengan kondisi dirinya saat itu, Fatimah kemudian membawa bayinya yang masih berumur dua tahun ke Makkah, kota asal ayahnya. Ia ingin putra semata wayangnya tumbuh besar di tanah kelahiran ayahnya.

Minat Keilmuan Imam al-Syafi’i: dari Sastra, Fikih hingga Hadis.

Jika keilmuan yang berkembang di Irak adalah filsafat dan melahirkan para tokoh yang beraliran rasionalis seperti Abu Hanifah, beda halnya dengan Makkah, tempat Imam al-Syafii tumbuh remaja. Di Makkah justru sedang berkembang ilmu kesusasteraan. Bahkan Makkah menjadi salah satu tujuan favorit bagi para penuntut ilmu sastra Arab.

Tinggal di lingkungan yang dihuni para ulama sastra, tidak disia-siakan oleh Imam al-Syafii. Ia sangat menggandrungi prosa dan syair-syair Arab klasik. Masa mudanya di Makkah ia habiskan untuk mencari naskah-naskah sastra, berkeliling ke kabilah-kabilah badui padang pasir, seperti kabilah Hudzel (salah satu kabilah yang terkenal sebagai ahli sastra) untuk belajar sastra. Bahkan ia rela menetap beberapa hari di kabilah-kabilah tersebut demi mempelajari sastra Arab.

Hobinya belajar sastra Arab ini secara tidak langsung memudahkan ia memahami Alquran dan hadis. Kedua hal ini penting sekali dalam proses berijtihad dan menggali hukum syariat. Karena memahami Alquran maupun hadis dibutuhkan kepiawaian dalam memahami Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih dan murni.

Kepiawaian al-Syafii dalam bidang sastra ini akhirnya menjadikannya mahir dalam menggubah syair-syair Arab. Syair-syair karya Imam al-Syafii tersebut kemudian dikumpulkan oleh Syekh Yusuf Muhammad al-Biqa’i dan jadilah buku kecil berjudul Diwan al-Syafi’i yang memuat sekitar 150an syair karya al-Syafii yang terserak dalam karya-karyanya.

Menurut al-Hamawi dalam Irsyad al-Arib fi Ma’rifah al-Adib, ketertarikan Imam al-Syafii terhadap sastra Arab nyatanya hanya menjadikannya bersyair dan berdendang sehari-harinya. Hingga pada suatu hari ia bertemu dengan Mus’ab bin Abdullah bin Zubair dan menganjurkannya untuk belajar fikih dan hadis.

Tidak hanya Mus’ab, Imam Muslim bin Khalid, guru Imam al-Syafi’i yang lain juga menganjurkannya untuk belajar fikih.

“Alangkah baiknya jika kecerdasanmu itu digunakan untuk mempelajari ilmu fikih, hal ini lebih baik bagimu,” nasihat Imam Muslim bin Khalid kepada Imam al-Syafi’i.

Ucapan tersebut diakui sendiri oleh al-Syafii sebagai pelecut semangatnya untuk belajar ilmu fikih dan hadis. Ia pun belajar kepada dua ulama besar Makkah saat itu: Imam Sufyan bin Uyainah, pakar hadis dan Muslim bin Khalid al-Zanji, pakar fikih Mekkah.

Hijrah demi Ilmu

Hijrah yang dimaksud dalam hal ini bukan hijrah dalam arti tobat, sebagaimana yang sering digunakan saat ini. Hijrah dalam hal ini adalah berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Sebagaimana hijrahnya nabi dari Makkah ke Yatsrib, Madinah.

Selain hijrah ke Madinah pada tahun 170 H untuk belajar langsung kepada Imam Dar al-Hijrah, yakni Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafii juga berkunjung ke Irak dan Kufah untuk belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah, sebelum akhirnya kembali lagi ke Madinah menemani Imam Malik hingga wafat pada tahun 179 H.

Bahkan Imam al-Syafi’i terhitung berkunjung ke Irak sebanyak tiga kali. Selain Irak, Ia juga pernah berkunjung ke Persia, Turki dan Ramlah (Palestina), hingga akhirnya menetap dan wafat di Mesir.

Kesempatan Imam al-Syafii untuk berkunjung ke berbagai kota ini tak ayal membantunya mengetahui budaya serta adat istiadat yang berlaku di kota-kota tersebut. Hal ini secara tidak langsung menjadi referensi Imam al-Syafii untuk membangun fatwa-fatwa dalam mazhabnya kelak.

Kegemaran Imam al-Syafi’i dalam berhijrah dari kota ke kota ini didokumentasikannya dalam beberapa bait syair tentang anjuran untuk berhijrah, di antaranya:

Musafirlah! Engkau akan menemukan sahabat baru pengganti sahabat-sahabat lama yang engkau tinggalkan. Dan bekerjalah yang giat! Karena kenikmatan hidup akan tercapai dengan bekerja keras.”

“Singa jika tidak keluar dari sarangnya, ia tidak akan mendapatkan makanan. Begitu juga dengan anak panah, jika tidak meluncur dari busurnya, anak panah tersebut tidak akan mengenai sasaran.”

Rangkaian hijrah Imam al-Syafii tersebut menghasilkan ‘permata’ yang tidak ternilai harganya. Menurut Syekh Ali Jum’ah, Imam al-Syafii menulis lebih dari 30 karya monumental. Sayangnya, tidak semuanya sampai di tangan kita. Beberapa kitab hilang dan beberapa kitab masih dalam proses pengetikan dan pentahqiqan (koreksi).

Salah satu karya hebatnya adalah kitab al-Risalah, yang disebut-sebut sebagai kitab ushul fikih pertama yang ditulis secara sistematis. Berkat al-Risalah juga, Imam al-Syafi’i dijuluki sebagai Nasir al-Sunnah (pembela sunnah).

Dituduh sebagai pengikut dan penyebar faham Syiah

Ketika Imam al-Syafi’i menjadi mufti di Yaman, fitnah kejam melanda dirinya. Saat itu ia difitnah sebagai pendukung partai Syiah yang sedang gencar-gencarnya mengancam eksistensi negara dan khalifah saat itu.

Hal ini tentu maklum, karena khalifah saat itu adalah Harun al-Rasyid adalah bagian dari Dinasti Abbasiyah, dinasti yang berseteru dengan kelompok Syiah. Imam al-Syafii pun dijebloskan ke dalam penjara dan hampir dihukum mati, karena diisukan berkomplot untuk menumbangkan khalifah.

Namun Imam al-Syafii mencoba berdiskusi dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Sebagaimana dikisahkan oleh al-Hamawi, Imam al-Syafii ditanya tiga hal, meliputi pemahaman terhadap Alquran, keilmuan astronomi dan nasab kaum Arab.

Tak disangka, jawaban yang diberikan oleh Imam al-Syafi’i cukup mengena di hati khalifah, sekaligus menjadi bantahan atas tuduhan sebagai pengikut Syiah yang dialamatkan kepadanya. Ia dibebaskan dan diberi hadiah 5 ribu dinar, bahkan khalifah memintanya secara khusus untuk mengajarnya.

Imam al-Syafi’i menghabiskan waktunya untuk mengajar di Mesir. Menurut al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ dengan mengutip kaul al-Rabi’ bin Sulaiman, Imam al-Syafii membagi malamnya menjadi tiga: sepertiga pertama digunakan untuk menulis, sepertiga kedua digunakan untuk shalat malam, dan sepertiga terakhir digunakan untuk tidur. Imam al-Syafii wafat pada 30 Rajab 204 H. dalam usia 54 tahun.