Nama lengkap al-Tirmidzi ialah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Thaurah bin Musa bin al-Ḍahhak al-Sulami al-Ḍarir al-Bughi al-Tirmidzi. Namun, ia lebih populer dengan sebutan al-Tirmidzi. Dalam karyanya al-Jami‘ al-Ṣahih, ia sering menggunakan julukan AbuIsa untuk menyebut dirinya sendiri. Sebagian ulama tidak menyukai bila nama Abu ‘Isa dipakai oleh al-Tirmidhi karena Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya ‘Isa tidak memiliki ayah”.
Bagi mereka, Isa adalah sosok Nabi yang tidak memiliki orang tua. Karenanya, secara maknawi dinilai salah kalau ada orang menyebut dirinya sebagai Abu Isa. Tetapi anggapan seperti ini ditepis oleh al-Qari(1014 H). Menurutnya, Penyebutan Abu Isa terhadap al-Tirmidzi adalah untuk membedakan antara al-Tirmidzi sebagai ulama hadis dan ulama lainnya. Sebab, nama al-Tirmidzi tidak hanya disandang oleh penulis kitab Sunan al-Tirmidhi namun ada beberapa ulama lain juga menyandang nama al-Tirmidzi. Misalnya, al-Hasan Ahmad bin al-Hasan yang populer dengan al-TirmidZi al-Kabir, selain itu ada pula seorang tokoh sufi bernama al-Hakim al-Tirmidzi.
Hal itu menurut Muhammad Shakir, al-Tirmidzi dilahirkan di daerah yang berdekatan dengan Sungai Jihun Khurasan (Iran) pada tahun 207 H. Akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahirannya tahun 209 H. Al-Mizzi mengatakan,al-Timidzi wafat pada usia 70 tahun di daerah Tirmidz, malam Senin 13 Rajab 279 H, dan dimakamkan di Uzbekistan.
Untuk memberi kesaksian tentang ketinggian al-Tirmidhi dalam bidang hadis, maka al-Bukhari (w. 256 H) sengaja menerima satu hadis darinya. Hal ini sebagaimana biasanya dilakukan oleh ulama besar, yaitu mendengar hadis dari ulama yang lebih muda darinya.
Sebagaimana ulama hadis lainnya, al-Tirmidzi sejak kecil sudah bergelut dengan hadis, hingga pada akhirnya ia pun pergi ke Hijaz, Irak Khurasan, Bukhara dan sebagainya. Hadis yang ia peroleh langsung dihafal dan dicatat selama perjalanan maupun ketika sudah sampai di suatu tempat.
Ia merupakan salah seorang ulama hadis yang menjadi murid khusus dari al-Bukhari (w. 256 H), ia mempelajari ilmu hadis, mendalami ilmu fiqh, dan mengadakan munazarah (diskusi) dengan gurunya sebagai adat kebiasan di kalangan ulama. Selain Al-Tirmidzi berguru kepada al-Bukhari (w. 256 H), ia juga berguru kepada ulama hadis terkemuka lainnya seperti imam Muslim (w. 261), dan Abu Dawud (w. 275) dan beberapa lainnya. Di antara murid-muridnya yaitu: Abu Bakr bin Ahmad bin Isma‘il al-Samarqandi (w. 342 H) Ahmad bin ‘Ali al-Maqri, Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Hammad bin Shakir al-Warraq dan lain-lain.
Selain sebagai ulama hadis terkemuka, al-Tirmidzi juga dikenal sebagai ulama fiqh yang luas pandangannya serta ulama yang produktif. Hal itu tercermin dari banyaknya karyanya seperti: Kitab al-Jami‘ al-Ṣaḥiḥ atau yang terkenal dengan Sunan al-Tirmidzi, al-‘Ilal, yang terdapat di bagian akhir kitab al-Jami‘ al-Syama’il al-Muhammadiyah, al-Asma’ wa al-Kuna, al-‘Ilal al-Kabir, al-Tarikh, al-Asma’ al-Ṣaḥabah dan Kitab al-Zuhd.
Judul kitab Sunan al-Tirmidzilebih akrab dengan sebutan al-Jami‘ al-Tirmidziatau Sunan al-Tirmidzi. Ada juga yang menyebut dengan Ṣaḥiḥ al-Tirmidzi, tapi ini tidak tepat karena di dalamnya tidak hanya menghimpun hadis-hadis shahih. Kitab ini merupakan salah satu dari enam kitab hadis yang terkenal. Dalam kitab ini selain meriwayatkan hadis shahih, beliau juga memasukkan hadis hasan, dhaif, dan gharib ke dalam kitabnya.Ia juga tidak meriwayatkan hadis kecuali yang diamalkan oleh ahli fiqh atau hadis yang telah dijadikan sebagai hujjah. Hal ini merupakan syarat yang longgar, sehingga ia pun memasukkan hadis shahih dan dhaif, meskipun disertai dengan penjelasan kualitasnya. Pada umumnya, hadis dhaif yang termaktub dalam kitab ini terkait dengan fadhail al-a’mal (anjuran beramal).
Terkait kitab ini, al-Tirmidzi menceritakan, “Aku susun kitab ini kemudian aku perlihatkan kepada ulama Hijaz, Irak, Khurasan, mereka senang dan menganggapnya baik. Barang siapa yang menyimpan kitab ini di rumahnya niscaya seolah-olah di rumahnya ada Nabi yang sedang berbicara atau bersabda.”
Sementara ‘Imran bin ‘Alan mengatakan, “Setelah meninggalnya al-Bukhari, tidak ada seorang pun di Khurasan seperti Abu ‘Isa dalam hal keilmuan, kewaraan, dan beliau terus menangis hingga mengalami kebutaan”.
Kendati banyak yang memuji kitab al-Jami’ al-Tirmidzi, namun bukan berarti kitab ini luput dari kritikan. Ibn al-Jauzi (w. 751 H)mengemukakan bahwa, di dalam kitab al-Jami’ al-Sahihal-Tirmidzi terdapat tiga puluh hadis palsu (mauḍu’).Akan tetapi pendapat tersebut dibantah oleh Jalaluddin al-Suyuṭi (w. 911 H), bahwa hadis-hadis yang dinilai palsu tersebut sebenarnya tidak palsu. Sebagaimana yang terjadi dalam kitab Ṣaḥiḥ al-Muslim yang dinilai palsu, namun ternyata tidak palsu. Hal tersebut tidaklah berpengaruh terhadap otoritas al-Tirmidzi dan kualitas karyanya, pasalnyaIbn al-Jauzi dikenal sebagai ulama hadis yang tasahul (mudah) dalam menilai hadis sebagai hadis palsu. []
Al-Fauzi Abdullah adalah Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan peneliti hadis di el-Bukhari Institute.