Dalam kajian tafsir, jarang sekali tokoh atau ulama ahli tafsir yang berasal dari kalangan perempuan. Baik itu kajian tafsir klasik maupun kontemporer. Biasanya ldidominasi oleh ulama-ulama dari kalangan laki-laki.
Kalaupun ada, itu pun tidak terlalu dikenal. Hal ini, mungkin dipengaruhi dengan adanya anggapan, bahwa wanita tidak layak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari laki-laki. Sehingga wanita dituntut untuk menguasai ilmu rumah tangga saja.
Prof. Dr. Aishah Abdul Rahman adalah salah satu bukti, bahwa perempuan juga harus menguasai disiplin keilmuan, selain hanya mengurus rumah-tangga. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Bintus Syathi, yang juga merupakan sosok mufassir perempuan pertama di dunia Islam yang hidup di zaman kontemporer.
Bintus Syathi, lahir di kota Dimyat. Sebuah kota pelabuhan di Delta Sungai Niel, bagian utara Mesir. Pada tanggal 6 November 1913 M, atau bertepatan dengan 6 Dzulhijjah 1331 H. dari pasangan Syekh Muhammad Ali Abdul Rahman, dan Faridah Abdussalam Muntasir.
Beliau lahir di tengah-tengah keluarga yang agamis dan berpendidikan. Bahkan kakek beliau merupakan salah satu ulama besar Al-Azhar, yaitu Syekh Ibrahim Ad-Hamhuji Al-kabir. Bintus Syathi memulai pendidikannya pada tahun 1918 M, yang saat itu beliau baru berumur 5 tahun.
Sejak dini, keluarganya menekankan untuk senantiasa memperdalam khazanah pemikiran Islam dan hafalan Al-Qur’an yang sudah menjadi menu wajib bagi Bintus Syathi.
Bintus Syathi sejatinya adalah nama pena yang digunakan oleh Prof. Dr. Aishah Abdul Rahman untuk menulis. Beliau menggunakan nama pena tersebut untuk menulis di berbagai surat kabar. Hal itu beliau lakukan karena takut sang ayah marah jika mengetahui hasil artikel yang ditulisnya. Karena sejak awal, ayahnya menentang beliau mengikuti pendidikan di luar rumah.
Ayah Bintus Syathi mempunyai pandangan, bahwa seorang perempuan hingga usia remaja harus diam di rumah dan menempuh studinya di sana.
Untuk melanjutkan pendidikan di luar rumah, Bintus Syathi mendapat dukungan dari ibunya dan juga sang kakek, Syekh Ibrahim Ad-Damhuji Al-Kabir. Bahkan Syekh Mansur Ubayy Haykal al-Sharqawi, yang merupakan guru dari sang ayah juga ikut mendukung.
Namun setelah kakeknya meninggal, Bintus Syathi dipaksa kembali untuk belajar di dalam rumah. Selama itu lah, Bintus Syathi melakukan kegiatan di rumah dengan membaca buku yang dipinjam dari teman-temannya.
Karir intelektual Bintus Syathi dimulai dengan menjadi seorang penulis di sebuah lembaga di Giza. Beliau banyak melayangkan tulisan kebeberapa media massa terkenal di Mesir. Seperti majalah An-Nahdah al-Nisa’iyah, Al-Ahram dan media lainnya. Dari sinilah nama besar Bintus Syathi mulai memuncak.
Karir kepenulisannya terus berkembang, dengan terbitnya cerpen-cerpen yang bertemakan sosial-ekonomi di majalah-majalah Mesir, seperti Al-Hilal, Al-Balagh, Kawkeb el-Sharq.
Kesibukannya dalam dunia tulis-menulis tidak menghambat proses studinya, hal itu dilakukan karena sebagai tugas intelektual seorang mahasiswi, sehingga pada tahun 1936 M, Bintus Syathi menyelesaikan studi s1 di Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab, di Universitas Cairo.
Kemudian beliau menyelesaikan program Magisternya di jurusan dan universitas yang sama, dengan menulis thesis Al-Hayah Al-Insaniyyah Inda Abi A’la Al-Ma’ari. Dan meraih gelar doktornya di Universitas ‘Ayn Al-Shams, Kairo.
Ilmu-ilmu yang didapat dalam bangku kuliah itulah, yang kemudian disampaikan dalam acara seminar di berbagai universitas di beberapa negara. Misalnya Universitas Al-Qarawiyin Maroko, Universitas Kairo Mesir, dan Universitas Ummdurman Sudan. Selama sepuluh tahun, Bintus Syathi mengabdikan diri sebagai seorang dosen bidang pendidikan dan studi Al-Quran.
Kajian-kajian yang digeluti oleh Bintus Syathi lebih banyak berkisar tentang sastra, sejarah dan tafsir Al-Quran. Selain itu, beliau juga menulis tentang posisi wanita yang telah mengalami perubahan zaman, dan lain sebagainya.
Bintus Syathi beberapa kali dinobatkan sebagai pakar ilmu adab atau sastra oleh beberapa intitusi pemerintahan, seperti pemerintah Mesir pada tahun 1978, pemerintah Kuwait pada tahun 1988 dan Raja Faishal tahun 1994. Gagasan-gagasan brilian Bintus Syathi menarik perhatian penerbit, dan media untuk menerbitkan karyanya.
Bintus Syathi dikenal sebagai seorang perempuan yang ahli tafsir, tidak lain karena beliau mengkaji dan menulis kitab tafsir yang bernama Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim, yang merupakan magnum opusnya.
Kitab ini terdiri dua jilid, jilid pertama dicetak tahun 1966 M dan 1968 M dan jilid kedua dicetak pada tahun 1969 M. Kitab ini awalnya merupakan kumpulan muhadoroh (ceramah) yang disampaikan untuk para mahasiswa di fakultas syariah.
Jumlah karya Bintus Syathi kurang lebih 40an kitab. Di antaranya, Al-Ghufron li Abi A’la Al-Ma’ari, Qiraah Jadidah fi Risalat al-Ghufron, Lughotuna wa Al-Hayah, Asyiqat al-Layl, Arus Al-Badiyah dan lain sebagainya.
Bintus Syathi wafat pada hari Selasa, 1 Desember 1998 M pada umur 85 tahun. Bintus Syathi adalah potret bahwa perempuan juga bisa berkiprah sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki, tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang ibu dan istri.
Wallahu A’lam.