Saat menulis ini, baru saja saya selesai menonton Mal-Mo-E (2019). Sebuah drama-sejarah yang menunjukkan kekuatan kata-kata. Film ini bercerita tentang perjuangan rakyat Korea dalam menyusun kamus bahasa Korea, di tengah represi kolonial Jepang yang hendak menghapusnya sebagai bahasa nasional.
Para fasis Jepang sangat menakuti kumpulan kata-kata. Mereka tak segan mengintimidasi, memukuli, menyiksa, bahkan membunuh orang-orang kritis yang punya kesadaran menyebarkan perlawanan.
Setelah dua jam hanyut dalam drama yang hangat, haru, dan tegang itu saya kembali ke realitas. Betapa senangnya kini melihat Korea (Selatan) telah merdeka. Di bawah bendera demokrasi, ia berdiri menjadi bangsa yang menaungi kebebasan berekspresi melalui kata-kata yang dulu pernah diperjuangkan. Tapi di sisi lain, betapa sedihnya ketika menyadari saya hidup di negara yang sangat menakuti kata-kata, membatasi ekspresi, dan membungkam suara-suara kebenaran yang kritis.
Kita sekarang hidup dalam negara yang mirip dengan Korea pascamerdeka: negara republik bersistem demokrasi yang menaungi hak berpendapat. Tapi dalam praktiknya, kita masih terjebak dalam Korea di bawah jajahan Jepang: hak bersuara dikekang dan represif pada suara kritis. Bedanya, seringkali aktor represi adalah negara kita sendiri.
Saya beri beberapa contoh supaya lebih terang.
Belum lama kita semua merasa terhibur dan terwakili oleh celetukan-celetukan Bintang Emon terkait kasus Novel Baswedan, kini komika tersebut telah mendapat banyak tekanan. Sebagai komedian, Bintang menyampaikan kegelisahannya terkait peradilan Novel yang dianggapnya janggal melalui guyonan lucu nan tajam.
Dalam video yang diunggah lewat akun media sosialnya, Bintang Emon berkelakar menggunakan logika kocak.
“Katanya nggak sengaja, tapi kok bisa sih kena muka? Kan kita tinggal di bumi, gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan nggak mungkin meleset ke muka. Kecuali Pak Novel Baswedan memang jalannya hand stand… Sekarang tinggal kita cek, yang nggak normal cara jalannya Pak Novel Baswedan atau hukuman buat kasusnya?”
Sama halnya kita, komentar Bintang adalah reaksi atas ketidakpuasan proses penegakan hukum di Indonesia. Novel Baswedan, penyidik KPK yang sempat menangani tiga kasus korupsi besar (proyek simulator SIM Korlantas Polri, suap ketua MK, dan Megakorupsi E-KTP) telah kehilangan mata kirinya. Kini ia hanya mengandalkan mata kanannya, itu pun cuma berfungsi 50 persen. Atas segala kerugian fisik, material, dan psikisnya, pengadilan hanya mengganjar tersangka satu tahun penjara.
Di sana Bintang melihat ketidakadilan. Ia gelisah sebagaimana kita. Maka dari itu ia bersuara. Sebagai komedian, ia menyalurkan kegelisahannya dalam medium yang lebih lembut dan menghibur, yaitu komedi. Masalahnya, tidak semua orang merasa terhibur dengan komedi berisi kritik dan kegelisahan itu.
Setelah videonya viral, Bintang Emon menerima beberapa teror. Mulai dari e-mail dan akun orang-orang terdekatnya yang dijahili, fitnah bahwa ia memakai narkoba, hingga harus menutup akunnya karena banyak serangan. Beruntung, banyak orang bersimpati dan berpihak padanya.
Kita memang belum bisa sampai pada bukti apakah yang menyerang adalah bagian dari pemerintah yang antikritik, kaki tangan oligarki yang terganggu, orang-orang yang terlibat dengan kasus Novel, atau irisan dari ketiganya? Yang jelas tindakan membungkam kata-kata dan ekspresi adalah sebuah pesakitan bagi negara demokrasi. Pelakunya akan terus eksis selama pemerintah tak bertindak, sedangkan masyarakat sipil yang kritis akan terus dalam bayang-bayang ancaman.
Akhir bulan lalu, hal serupa juga dirasakan oleh panitia dan narasumber diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Diskusi bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diadakan oleh Constitutional Law Society (CLS) FH UGM itu batal digelar.
Anugrah Perdana, salah seorang mahasiswa yang menjadi panitia diteror. Mulai dari hapenya yang diretas, hingga teror pesanan fiktif beberapa ojek online yang ditujukan padanya. Belum lagi pesan ancaman pembunuhan yang diterima orang tuanya. Di sisi lain, salah seorang narasumber juga tak luput dari serangan teror. Rumahnya didatangi dan digedor-gedor oleh segerombolan laki-laki tak dikenal.
Sebelumnya, Ravio Patra, seorang aktivis dan peneliti kebijakan publik, sempat dijemput paksa oleh aparat karena dituduh menyebar berita provokasi melalui Whatsapp. Padahal, saat kejadian itu hapenya tengah diretas. Meski akhirnya dibebaskan, Ravio sempat diintimadasi oleh polisi dalam penahanannya. Ravio adalah satu dari banyak pemuda kritis yang menuliskan kritik-kritiknya di berbagai media.
Contoh-contoh di atas hanyalah segelintir saja. Kita bahkan belum beranjak pada sejarah teror dan pembungkaman yang menghilangkan nyawa Marsinah, Wiji Thukul, atau Munir Said Thalib yang dibunuh karena benar. Kita juga belum menyinggung tema-tema seperti ketidakadilan di Papua, rekonsiliasi peristiwa ‘65, atau kritik ekologi pada tambang dan korporasi besar yang cepat sekali diredam.
Melihat semua yang terjadi hari ini, seakan pemerintah tak pernah belajar dari sejarah. Tak ada perlindungan pada kebebasan kata-kata. Diskursus mandek. Keadilan hanya jadi busa yang keluar dari mulut-mulut, sedangkan aslinya hanyalah sebatas imaji jembatan: dirancang untuk tidak tegak.
Ravio adalah simbol bahwa kritik tidak bisa diterima melalui literasi. Anugrah adalah representasi bahwa kebebasan akademik bisa disumpal karena dituduh menyinggung. Sedangkan Bintang adalah bukti bahwa melalui medium paling bersahabat sekalipun, mengungkap kebenaran tidak bisa dibenarkan oleh orang-orang dengan agenda sarat kepentingan.
Bit terakhir Bintang yang mengatakan “loh kok ada tukang bakso” adalah satire jitu untuk menertawakan ketidakbebasan kita dalam berekspresi. Barangkali, Bintang juga berangkat dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, termasuk kasus Ravio dan Anugrah, yang menjadi korban teror karena dituduh menyinggung atau terlalu kritis. Di sisi lain, bit tersebut bisa juga untuk menertawakan demokrasi kita yang dikebiri: hidup segan, mati tak mau.
Bagaimana tidak, meski berlabel demokratis negara kita sebenarnya masih belum memenuhi ruang-ruang prasyaratnya. Menurut Franz Magnis-Suseno (1997), suatu negara disebut demokratis bila terdapat lima gugus di dalamnya, yaitu negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas, dan adanya jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Sedangkan negara kita masih tergopoh-gopoh memenuhi kelimanya.
Bintang Emon mungkin hanyalah satu dari beberapa profesi komedian yang terkena ekses buruknya kerja demokrasi kita. Pun dengan para aktivis, akademisi, penulis, seniman, dan siapa pun yang selalu dalam kondisi rentan saat mencoba meluruskan penyimpangan-penyimpangan pemegang kebijakan. Tapi satu yang perlu diingat, upaya untuk terus menyuarakan kebenaran adalah sebuah itikad yang tak boleh berhenti. Bukankah Wiji pernah mengingatkan kita dalam salah satu puisinya?
“Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu”.