Dalam kehidupan sehari-hari, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk senantiasa ingat kepada-Nya. Ingat kepada Alah berarti menuntut kita untuk selalu sadar akan kehadiran-Nya dalam setiap relung-relung kehidupan kita. Ingat kepada Allah dapat menuntun kita dalam menggapai kebaikan-kebaikan, karena Allah SWT adalah sumber kebaikan.
Sebaliknya, semakin kita tidak sadar akan kehadiran-Nya, semakin kita dekat dengan keburukan-keburukan. Dalam bahasa agama, semakin kita tidak ingat Allah berarti kita semakin menjauhkan diri dari Allah dan semakin kita mendekatkan diri kepada syaithan.
Dengan alasan ini pula, Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita sebagai umatnya agar banyak berlindung kepada Allah SWT sebagai sumber kebaikan dari segala tipu setan sebagai sumber keburukan. Terkait hal ini, ada satu kalimat yang harus kita baca dan kalimat ini sebenarnya sudah kita kenal, yaitu kalimat ta’awwudz, a’udzu billah minasy syaithanir rajim.
Ungkapan a’udzu billahi ini dalam bahasa Arab bisa dalam pengertian: “Aku berlindung kepada Allah, Aku menjadikan Allah sebagai benteng atau aku menyandarkan diri kepada-Nya.” Ada sebagian ulama mengartikan kata a’udzu itu sebagai altashiqu yang berarti berpegang atau bergantung. Seperti halnya seorang anak yang memegang erat tangan bapaknya ketika sedang berada dalam perjalanan sehingga anak itu merasa tenteram.
Dalam ta’awwudz ini, kita dihadapkan kepada dua simbol sekaligus; Allah SWT sebagai simbol kebaikan dan keberkahan dan setan sebagai simbol keburukan, kejelekan dan kejahatan. Meminta perlindungan kepada Allah SWT berarti kita meminta bantuan kepada Allah untuk dimenangkan dalam usaha kita menggapai keberkahan dan kebaikan dan sebaliknya agar kita dapat terhindar dari usaha-usaha setan dalam menjerumuskan kita ke dalam keburukan.
Para ahli tafsir menjelaskan dengan sangat menarik terkait makna setan dalam karya-karya mereka. az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf mengatakan bahwa dalam bahasa Arab klasik, setan sering digunakan untuk merujuk kepada “orang yang dengan seringnya melakukan kejahatan-kejahatan disebut sebagai setan.” Yang dikemukakan az-Zamakhsyari ini disepakati oleh para ulama lainnya.
Kendati demikian, jika kita merujuk lagi ke kamus-kamus bahasa Arab klasik seperti Lisan al-Arab dan Tajul Arus, kata setan sendiri berasal dari verba syatona yang artinya “dia telah jauh [dari semua kebaikan dan kebenaran]”.
Pengertian yang seperti ini tampaknya yang sering dimaksudkan oleh al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya. Ar-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam al-Alfadz al-Gharibah fi al-Quran mengatakan bahwa penggunaan kata syaithon dalam al-Quran biasanya merujuk kepada kecenderungan-kecenderungan dalam jiwa manusia yang bersifat syaithani (misalnya kecenderungan untuk berbuat tidak baik) dan terutama semua pengaruh-pengaruh kuat dalam diri yang mengarahkan perilaku kita untuk melawan kebenaran dan standar moral.
Kata ar-rajim sendiri dalam bahasa Arab sebenarnya menggunakan sifat fa’il yang berarti maf’ul. Artinya kata ar-rajim selain bisa ditafsirkan sebagai yang dirajam, juga bisa bermakna orang yang dicela, dilaknat, dimaki dan dilempari batu. Kata ar-rajim sendiri berasal dari kata rajama-yarjum-rajman yang bisa juga berarti yang terusir.
Intinya, dengan senantiasa mendawamkan lafal ta’awwudz ini, kita akan senantiasa merasa kehadiran Tuhan selalu dalam diri kita. Ta’awwudz karena itu dapat memperkuat dan meningkatkan kesadaran dan ingatan kita kepada Allah SWT. Dengan ta’awudz juga, kita akan senantiasa diberi pegangan kuat untuk menjalani hidup berdasarkan kepada norma-norma kebaikan dan keberkahan. Semoga.