Sekolah adalah salah satu tempat yang paling ketat menjalankan rutinitas, apalagi jika ditambah dengan pesantren.
Semua sudah ditentukan jamnya: jam sekian harus masuk, jam sekian harus belajar ini, jam sekian harus makan, dst. Rutinitas memberikan struktur dan stabilitas dalam kehidupan kita. Namun di sisi lain kita perlu menghadapi Kejenuhan atau monoton.
Ketika kita terjebak dalam rutinitas yang monoton, hidup bisa terasa membosankan dan tanpa warna. Selain itu, ada kemungkinan kita terjebak dalam zona nyaman yang tidak memungkinkan pertumbuhan atau eksplorasi yang lebih luas. Penghiburan dari kebosanan ini biasanya adalah nasehat ulama menggunakan kalimat Al-Istiqomah khoirun min alfi karomah, Istiqamah lebih baik daripada seribu karomah.
Masalah muncul ketika sitauasi tersebut dihadapkan dengan keinginan untuk mencapai kemampuan abad 21 seperti: critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatif), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi).
Dengan aktivitas yang monoton, apakah memungkinkan kita mencapai daya kreatif dan kritis? sebagai salah satu aspek penting dalam perkembangan manusia dan peradaban. Kreativitas diperlukan untuk membantu kita menemukan solusi-solusi inovatif untuk masalah-masalah kompleks.
Mendalami Kreativitas, memungkinkan kita untuk mengungkapkan diri dengan cara yang unik. Ini bisa melalui seni, musik, tulisan, atau bahkan cara kita berpakaian. Kreativitas memungkinkan kita untuk menjadi individu yang lebih autentik. Namun, bukan tanpa tantangan, menumbuhkan kreativitas seringkali membutuhkan waktu untuk merenung, bereksperimen, dan mengembangkan gagasan yang sulit diatur keluarnya.
Membatasi seseorang dengan waktu barangkali bisa menjadi penghambat dalam menciptakan ide-ide baru.
Salah satu tantangan terbesar dalam hidup adalah mencari cara untuk mengsinergikan rutinitas dan kreativitas sehingga keduanya saling melengkapi daripada saling menghambat. langkah pertama yang bisa kita lakukan tentu melakukan identifikasi kebiasaaan diri.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, pada sisi manakah kita perlu mengikuti rutinitas, dan pada sisi manakah kita perlu melepaskan diri untuk menjadi kreatif. Saya ambil contoh Haruki Murakami, setiap hari dia memulai aktiitasnya dengan berlari hingga menjelang siang, kemudian ia tidur sebentar, bangun dan menulis.
Rutinitas itu ia lakukan tiap hari. Ia memiliki rutinias untuk lari, tidur siang, dan punya waktu khusus untuk menulis. jadi ia menulis tidak dengan menunggu mood, tapi membuatnya menjadi rutin waktunya.
Artinya, rutinnya Haruki Murakami: waktu menulis. Kreatifnya Murakami: Proses menulis itu sendiri. bahkan dengan disiplin semacam itu, Murkaami menjadi salah satu novelis paling ekperimental.
Maka, cukup menggelikan kalau pendidikan kita ingin mencapai kemampuan abad 21, tapi masih terjebak pada rutinitas tanpa ampun. Termasuk dari materi-materi yang diajarkan di kelas.
Betapa tidak mengairahkannya sekolah jika yang dipelajari hanyalah pengulangan dari pengetahuan-pengetahun lama tanpa memberi kesempatan siswa untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan barunya sendiri.
Tak ada soal dengan rutinitas, tapi ia perlu diimbangi dengan keleluasaan untuk kreatif. Rutinitas memberikan struktur dan stabilitas, sementara kreativitas memungkinkan kita untuk tumbuh dan berkembang. Penting untuk mencari keseimbangan yang sehat antara keduanya, mengidentifikasi rutinitas yang penting, dan menciptakan ruang untuk berpikir kreatif.
Dengan cara ini, kita dapat mengoptimalkan potensi kita dan mencapai keseimbangan yang memenuhi kebutuhan kita dalam hidup sehari-hari.