Betapa Sulitnya Shalat Dalam Perjalanan

Betapa Sulitnya Shalat Dalam Perjalanan

Betapa Sulitnya Shalat Dalam Perjalanan

Jika kemudian ada orang yang menemukan simpulan bahwa gerakan-gerakan shalat itu menyehatkan, meningkatkan vitalitas, mempertajam konsentrasi, maka itu hanya hasil riset sementara berdasarkan ilmu, dan bisa jadi “ilmu cocokologi”.

Karena bagi seorang muslim, melaksanakan shalat itu harus lah atas dasar taat. Perintah salat adalah perintah pertama setelah pernyataan kesiapan menjadi muslim yang telah diputuskan melalui syahadat. Jadi, jangan gara-gara temuan itu lantas seseorang mau melakukan shalat; hanya untuk menjadi sehat, kaya, bahkan tampan, dan lain sebagainya.

Shalat adalah rukun yang nyaris tanpa syarat, berbeda dengan—misalnya—rukun Islam lain yang boleh gugur dan/atau tertunda karena sakit atau lemah atau dalam perjalanan, seperti puasa. Kewajiban berpuasa dapat ditunda bagi yang sakit atau dalam perjalanan; atau seperti haji yang disertai syarat mampu.

Sedangkan shalat? Tak ada alasan apa pun yang dapat menggugurkannya. Bagi pemuda mukallaf, shalat wajib tanpa tawaran.

Jika tidak mampu dilakukan berdiri (karena sakit, misalnya), hukum salat tetap wajib: dilakukan dengan cara duduk; jika duduk pun terasa memberatkan, shalat pun masih juga wajib dengan keringanan pelaksanaan dalam keadaan berbaring; jika masih tidak mampu menggerakkan anggota tubuh karena saking lemahnya, masih saja status salat tetap wajib: lakukan meskipun hanya dengan kedipan mata sebagai gerak isyarat. Jika berkedip saja tidak mampu? (Ah, masa iya masih ada pertanyaan sesudahnya?)

Bahkan, andai kita tidak mungkin berwudu, shalat tetap harus dilakukan demi menghormati waktu shalat, yakni dengan shalat lihurmatil waqti, hanya untuk sekadar memberikan penghormatan atas waktu shalat.

Isra dan mikraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam Islam yang perayaannya digelorakan setiap tahun. Perayaan ini adalah momen Rasulullah Saw. menghadap Allah untuk menerima perintah shalat.

Nah, betapa dahsyatnya shalat jika peristiwa mikraj yang hebat itu sampai terjadi hanya karenanya. Sebab itulah, maka pelaksanaan shalat disebut juga sebagai mikraj bagi setiap mukmin.

Dalam Islam, salat tidak sekadar dibahas perihal kewajibannya, melainkan juga fungsi dan tujuannya. Allah menetapkan—melalui ayat-ayat-Nya—bahwa shalat adalah jaminan bagi seseorang agar tidak melakukan tindakan fahsya’ (keburukan) dan munkar (kemungkaran).

Bersama sabar, salat juga juga ditetapkan sebagai jalan untuk meminta pertolongan. Pertanyaannya, mengapa kita sering menemukan orang yang bershalat, atau bahkan rajin shalat, tetapi tetap melakukan fahsya’ dan munkar? Jawaban atas pertanyaan adalah juga berupa pertanyaan: Yang salah itu syaratnya, orangnya, atau laku salatnya?

Pada kenyataannya, dalam hidup keseharian, kita—atau sebut saja ‘saya’ agar tidak terlalu umum—selalu merasa ribet dan repot jika berhadapan dengan urusan shalat.

Di Jakarta misalnya, saya pergi selepas asar untuk suatu acara yang akan diselenggarakan setelah isya. Lantas, di manakah saya bisa kesempatan melaksanakan shalat maghrib manakala kita masih berkubang dalam kemacetan? Betapa susahnya mengurus semua ini. Masih mending jika saya berstatus musafir yang boleh menunda dalam melaksanakan, lalu bagaimana dengan nasib warga pemukim?

Urusan shalat, terutama di perjalanan, menjadi semakin ‘absurd’. Bagaimana tidak, di negara yang nyaris dikelilingi oleh komunitas muslim, saya—sekarang, boleh sebut ‘kita’, masih sering kesulitan apabila hendak melaksanakan shalat.

Kalau masuk waktu maghrib, mungkin masih ada sedikit toleransi: bis malam sering memberikan waktu shalat untuk penumpang pas di jam istirahat makan, tapi bagaimana dengan waktu shalat subuh?

Saat naik bis, terutama pada saat masuk waktu subuh, bis ekonomi jarang berhenti untuk sekadar shalat kecuali kita harus pilih-pilih sopir tertentu yang lebih dulu kita ketahui rekam jejak religiusnya.

Di dalam kereta api (jangan dulu ngomong di pesawat terbang), orang mau shalat malah lebih susah lagi. Satu-satunya cara adalah dengan menunaikannya di bordes.

Sebetulnya, bisa saja kita shalat di koridor kereta dan secara syarat hal itu sangat memungkinkan, tapi terkadang kita risih melakukannya di sana, sebab kita tahu masyarakat kita punya aturan ini-itu yang tidak tertulis.

Siap cuek? Silakan! Makanya, shalat di bordes adalah pilihan, tapi itu pun jika kita naik kelas ekskutif (seperti Anggrek) karena ruang bordes untuk kelas ekonomi/bisnis—setahu saya—sangatlah sempit, tidak cukup untuk seukuran manusia dewasa.

salat d harina
salah satu ruangan bordes di kereta Harina

 

Pernah sekali saya mengalami perrjalanan dari Pekalongan, pukul empat kurang sedikit. Saya ambil wudu lebih dulu beberapa saat sebelum kereta datang sembari berazam akan shalat di bordes. Tapi ternyata, di kereta itu (Harina) saya tidak bisa shalat di bordes karena ruangnya terlalu sempit. Beruntung, akhirnya saya turun di Semarang untuk Subuhan saat kereta berhenti sebentar, mungkin untuk langsir.

Sempat saya mikir: Teknologi perkeratapian saat ini telah maju dan canggih, apa susahnya PT KAI memasang display VMS (variable message service) di setiap gerbong yang dapat menjelaskan titik perhentian di stasiun dan berapa lama durasinya? Tujuannya adalah untuk informasi, terutama menyangkut pertimbangan kesempatan salat bagi muslim.

KAI jelas bisa dan mudah membuat hal ini, tapi mengapa tidak dilakukan? Mungkin  (ini hanya mungkin, lho) karena pengambil kebijakan tidak begitu jauh mempertimbangkan komunitas siapa saja yang terbesar menjadi penumpang kereta apinya, orang muslim, bukan?

Oleh: M. Faizi