Betapa Resahnya Milenial yang Punya Anak: Resensi Film Teman Tapi Menikah 2

Betapa Resahnya Milenial yang Punya Anak: Resensi Film Teman Tapi Menikah 2

Begini gaya milenial ketika dapat anak, beda banget ama boomers

Betapa Resahnya Milenial yang Punya Anak: Resensi Film Teman Tapi Menikah 2

Ada yang sudah menonton Teman Tapi Menikah 2? Film ini merupakan sekuel dari Teman Tapi Menikah 1 yang dimainkan oleh Adipati Dolken dan Vanesha Prescilla. Teman Tapi Menikah ini bercerita tentang kehidupan Ayudia Bing Slamet dan Ditto yang berhasil keluar dari friendzone. Pada sekuel kedua ini, pemeran Ayudia yang dimainkan oleh Vanesha diganti oleh Mawar Eva. Ceritakan yang ditampilkan jauh lebih menarik dan mengharu-biru.

Bagaimana tidak, cerita ini menceritakan pasangan muda yang sudah menikah tapi tiba-tiba dikaruniai anak. Keduanya pun tidak bisa menolak kehadiran bayi tersebut. Bahkan, Ayudia mengatakan jika janin yang ada diperutnya merupakan hadiah Tuhan. Walaupun begitu, pertanyaan dalam film tersebut mampukah pasangan muda siap menjadi orangtua?

Sudah banyak cerita jika awal kehamilan, perempuan akan mengalami perubahan hormon yang cukup drastis, melebihi sikap perempuan ketika mengalami haid. Persahabatan 11 tahun antara keduanya pun tidak bisa memahami satu dengan lainnya selama Ayudia mengalami kehamilan. Pertengkaran keduanya pun sering terjadi. Hingga akhirnya, Ayudia meminta untuk menghilangan janin dalam kandungan Ayudia. Konflik yang hadirkan dalam film tersebut tidak hanya sampai di sana, seorang yang menyadari jika Ayudia mengalami pendarahan karena stress.

Dari konflik pertama jika bisa kembali mengingat fakta aborsi yang sempat dikeluarkan oleh Menneg PP dan UNFPA 2000. 2,3 juta tindakan aborsi yang dilakukan di Indonesia setiap tahun. Hal lainnya, kebanyakan tindakan aborsi dilakukan dengan tidak aman dan seringkali mengakibatkan kematian ibu sebesar 30 –  35 persen.

Fakta lainnya, aborsi dilakukan oleh 89 persen perempuan yang sudah menikah. Dimensi gender dari buku mengatakan laki-laki seringkali tidak bertanggungjawab dalam menanggung beban kehamilan yang tidak diinginkan.

Melihat data-data tersebut, jika fase kehamilan merupakan fase yang harus kedua belah pihak, baik istri atau suami. Pesan itu pun hadir dan dikatakan oleh seorang bidan yang ditemui Ayudia dan Ditto di Bali. Keduanya pun tidak menyadari hal tersebut. Sampai akhirnya, bidan yang ditemui Ayudia dan Ditto berpesan jika janin bukan hanya diberikan nutrisi ketika dalam kanduangan, melainkan diberikan cinta juga.

Pertengkaran keduanya pun mulai berkurang, tapi konflik masih tetap ada. Kemandirian pasangan muda untuk menentukan pilihan tanpa diintervensi pihak luar baik orangtua atau teman diuji ketika akan melahirkan. Dari konflik ini pun kita dapat mengambil pesan jika kemandirian ini pun akan berimbas bagaimana cara orangtua muda ini mengambil tindakan untuk membesarkan anaknya, termasuk pola asuh anak.

Keadaan ini pun diamini oleh survei yang dilakukan Platform E-Health Guesehat. Mereka melakukan survei tentang pola asuh orang tua yang memiliki anak usia 0-9 tahun dari seluruh Indonesia dengan partisipan sebanyak 411 orang. Dapat ditebak bahwa sebagian besar (65,7 persen) ibu mengaku mendapatkan informasi seputar pola asuh dan tumbuh kembang anak melalui media dan internet. Selebihnya (22,1 persen) dari keluarga, serta 5,1 persen dari dokter anak.

Hasil survei juga menunjukkan, para orang tua dengan anak generasi alfa mengaku masalah seputar tumbuh kembang dan pola asuh anak menduduki posisi kedua sebagai tantangan terberat mereka. Keadaan ini menunjukan jika satu sisi mereka sudah sangat berlimpah informasi, namun menjadi lebih cemas dengan masalah tumbuh kembang anak.

Dilihat dari pola pengasuhan anak, orang tua milenial sudah meninggalkan gaya pengasuhan otoriter. Mereka cenderung memberikan lebih banyak keleluasaan atau kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan diri serta mencoba sesuatu yang baru. Orangtua anak generasi alfa kebanyakan berasal dari generasi Y atau generasi milenial. Mereka pun sudah sangat familiar dengan teknologi. Otomatis mereka lebih mudah mencari informasi seputar pola asuh maupun tumbuh kembang anak.

Gaya pengasuhan mereka, cenderung bergaya drone parenting. Mereka lebih banyak mengawasi dari jauh, sehingga anak bebas menjadi diri sendiri. Anak juga lebih banyak diberikan aktivitas tak terstruktur.