Betapa Kusutnya Persoalan Palestina di Era Post-Truth

Betapa Kusutnya Persoalan Palestina di Era Post-Truth

Memang susah untuk menerka Palestina di era seperti ini, tapi ada celah merdeka

Betapa Kusutnya Persoalan Palestina di Era Post-Truth
Studi terkini yang dilakukan PBB menyebut bahwa Palestina miskin karena pendudukan PBB. Pict By Reuters

Sejak awal Ramadan kemarin, berita serangan Israel ke wilayah Palestina mulai mewarnai televisi walau tidak seramai berita soal politik dan pilpres. Ditambah ramai berbagai bingkai yang berbeda-beda, isu Palestina berseliweran di media sosial. Kita sering sekali mendapatkan video, meme, gambar dan berbagai opini yang berhubungan dengan Palestina. Isu Palestina memang bukan isu sembarangan yang bisa dikomentari apalagi dibagikan karena ini masalah kemanusiaan yang telah berumur lebih dari ratusan tahun.

Setiap kali hawa memanas di Palestina, sering sekali pertanyaan satir berlalu-lalang di media sosial yang menanyakan di mana perjuangan para pegiat perdamaian saat umat Islam diserang di sana. Mereka yang menyebarkan pertanyaan ini biasanya kalangan yang tidak atau kurang setuju dengan isu pluralisme yang digagas berbagai kelompok pejuang kedamaian. Karena, pluralisme bagi mereka dianggap produk gagal menghadirkan perdamaian di Palestina dan berbagai stigma buruk lainnya.

Selain itu, ada anggapan kehadiran penggerak perdamaian hanyalah parodi kala berhadapan isu Palestina. Seperti, kedatangan salah satu pimpinan PBNU beberapa waktu lalu ke Israel. Karena itu, mereka sering membuat pertanyaan satir karena dalam anggapan mereka kevakuman pengiat perdamaian dianggap sebagai pengkhianatan pada nilai pluralisme yang diperjuangkan selama ini. Melalui pertanyaan satir tersebut, mungkin rasa kemenangan telah mereka peroleh, karena telah menelanjangi kelemahan akan pluralisme yang selama ini mereka benci.

Model pertanyaan satir di atas hanya salah satu bagaimana isu Palestina diframing di media sosial, ada berbagai model lagi saat isu Palestina dilempar di media sosial. Kita mungkin bagian dari pendedah aktif saat isu tersebut viral, namun apakah kita bertanya pada diri kita saat menyebarkan isu tersebut malah menjebak orang lain kepada kejahatan baru?

Yakni, kesalahan dalam memframing isu Palestina yang terjebak pada isu komunal yang sempit. Padahal, rasa empati atas tragedi kemanusiaan yang dibatasi pada batasan ras, etnis, warna kulit, dan agama hanya akan menumpulkan solidaritas itu sendiri. Oleh sebab itu, jika pertanyaan satir dengan menonjolkan isu Palestina seperti di atas muncul di linimasa kita, maka lebih baik abaikan saja. Sebab, orang yang mempertanyakan pertanyaan tersebut biasanya termasuk dari kalangan yang memiliki pandangan kemanusiaan yang sempit.

Mengurai Kekusutan Persoalan Palestina di Era Post-Truth

Dalam meneroka bingkai media sosial dalam persoalan Palestina di era Post-truth seperti sekarang ini, kita diwajibkan untuk lebih berhati-hati dalam melihat permasalahan tersebut. Perbincangan satir di atas adalah bukti paling sahih yang sering berseliweran dari linimasa berbagai media sosial hingga perjumpaan fisik.

Palestina menjadi isu seksi dalam keagamaan sejak beberapa agama besar Ibrahamik mengklaimnya sebagai salah satu tempat suci, dengan beberapa sebutan dari “Tanah Suci” hingga “Tanah yang Dijanjikan” untuk merujuk betapa berharganya sebidang tanah tersebut di agama-agama besar. Saat memasuki era “banjir informasi”, Palestina masih bertahan menjadi arus utama jika membahas politik luar negeri, hubungan antar agama, boikot hingga permasalahan kooptasi atau pencaplokan hak hidup masyarakat.

Sengkarut persoalan Palestina di era Post-Truth menjadi menarik karena di tengah semakin menarik, sebab narasi Palestina kian beragam dan produktif. Sebab, berbagai framing dan interpretasi baru atas Palestina terus bermunculan di media sosial. Kebebasan dan fasilitas yang disediakan layanan jejaring sosial kepada seluruh penggunanya, membuat isu Palestina tidak lagi persoalan kemanusiaan dan hak hidup bebas setiap manusia. Tapi, dengan sangat mudah digeser, diwarnai dan dikomodifikasi pada isu yang kadang tidak ada hubungan langsung dengan Palestina. Seperti, pemilihan Presiden atau kepala daerah yang dihubungkan ukuran kepedulian mereka terhadap isu sensitif tersebut.

Kasus di atas soal Palestina juga dijadikan ukuran seberapa pedulinya kelompok atau seseorang, bukti bahwa isu ini bisa direbut dan digeser sebagai ukuran kelayakan pimpinan daerah. Padahal, kemanusiaan harus diperjuangkan secara yang total tanpa membedakan antara kemanusiaan yang tidak membedakan batasan apapun demi kemanusiaan, dan ini bukan sebuah perlombaan siapa yang paling peduli sebab kebaikan kepada sesama manusia sudah menjadi tugas seluruh umat manusia.

Di era Post-truth, Palestina semakin mudah digeser ke berbagai kepentingan yang mengikutinya dan kehadiran media sosial semakin memudahkan pihak yang melakukannya. Kita harus belajar dari kasus terbaru yang menyeret nama seorang pemuka agama, yang disangka melakukan penggelapan dana karena disalurkan kepada pihak yang tidak seharusnya. Walau tidak menyangkut bantuan terhadap Palestina, tapi kasus ini sudah seharusnya membuat kita lebih waspada dalam menyalurkan bantuan terhadap Palestina. Karena, empati kita bisa digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Era Post-truth yang diasumsikan sebagai era yang banjir akan informasi malah lebih banyak menjebak masyarakat pada kurang ketelitian dalam memilih dan memilah informasi yang masuk. Sehingga rentan sekali terjebak pada infromasi bohong, ujaran kebencian dan sikap rasis. Diantaranya, framing Palestina sebagai hanya konflik agama bisa menjebak kita pada kebencian dan bisa menggiring kita untuk melakukan kekerasan sebagai balasan bagi perlakuan yang liyan pada Palestina.

Kita tidak boleh melupakan aksi terorisme di Selandia Baru beberapa waktu yang lalu, di mana pelakunya terinspirasi pada supremasi kulit putih yang terjadi di dunia selama ini. Kita harus belajar dari kasus ini untuk berhenti mempersempit Palestina menjadi konflik agama belaka dan ajang menunjukkan siapa yang paling empati, padahal kita semua tahu bahwa empati tidak bisa diukur karena dia adalah perasaan paling dalam dari manusia. Karena, perilaku tersebut rentan menaburkan benih ekstrimisme secara tidak kita sadari.

Bijak dalam membingkai Palestina di media sosial agar tidak terjebak kemanusiaan yang sempit, harus terus disuburkan dengan massif di masyarakat. Palestina adalah masalah seluruh dunia. Jika masih mempertanyakan mengapa saat ada yang kasus kekerasan atas nama agama yang menimpa selain non-muslim, maka jika isu tersebut tidak ditanggapi dengan baik bisa menyemai benih kekerasan yang sama atas kelompok rentan di Indonesia. Salah satu tugas umat Islam sebagai bagian mayoritas di Indonesia harus memberikan kenyamanan kepada seluruh masyarakat tanpa harus membedakan kelas, status sosial, agama, ras, etnis dan lain-lain.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin