Bersikap Jernih Terhadap Ijtima Ulama yang Sangat Politis itu

Bersikap Jernih Terhadap Ijtima Ulama yang Sangat Politis itu

Ijtima Ulama digunakan untuk elektoral semata dan politis, lalu bagaimana kita sebaiknya bersikap?

Bersikap Jernih Terhadap Ijtima Ulama yang Sangat Politis itu
Tampak Munarman (FPI), Fadli Zon (Gerindra) dan Ustadz Yusuf Martak (GNPF) bersama Prabowo menandatangani pakta Integritas hasil Ijtima Ulama II yang mencalonkan dirinya sebagai Capres 2019 bersama Sandiaga Uno. Pict by (TKN Prabowo-Sandi)

Secara konsep, Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan. Hukum di dalamnya jelas dan tegas, namun memudahkan. Misal, salat wajib, maka tidak salat keliru. Kita kemudian dimudahkan salat sesuai kemampuan, mulai berdiri hingga hanya menggunakan niat dan isyarat saja.

Islam memudahkan dengan diperolehkan pengembangan hukum Islam (Fiqh) sesuai kondisi kekinian. Hal ini dikenal al maqashid asy-syar’iah bertujuan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau hadisnya). Misalnya hukum jual beli online, pembayaran menggunakan uang virtual dan fenomena era millenial lainnya.

Jangan tekstual kembali Al Qur’an – Hadist belaka

Bukankah Islam sudah sempurna seperti dalam penggalan surat Al Maidah ayat 3.

“…. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu…(QS. Al-Maidah: 03).

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ

Bagaimana kita merespon hal ini? Ulama dan mufassir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini penegasan bahwa Allah SWT telah menyempurnakan segala firmanNya kepada umat manusia. Sehingga, kita tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi Muhammad SAW.

Islam telah sempurna, tetapi bukan berarti tertutup. Kita perlu mengambil hikmah dari kesempurnaan Islam untuk menyelesaikan masalah Islam. Ibaratnya, ada bahan baku multifungsi, kita bisa gunakan bahan baku yang super berfaedah itu untuk dikelola menyelesaikan masalah umat manusia.

Dalil agama harus bisa dipahami secara kontekstual, seperti memahami bagaimana sebab turunnya (asbabunnuzul/asbabul wurud), biar kita tidak terjebak dengan tekstual. Bukan malah ditelan bulat-bulat kayak tahu. Ingat, Islam mudah dan memudahkan.

Ijma’ Ulama untuk Kepentingan Umat

Salah satu cara menggunakan Islam yang sudah sempurna agar memudahkan kehidupan manusia di segala medan atau dalam bahasa hadist; Islamu shalihun li kulli zaman wa al-makan adalah Ijmak.

Ijmak adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi. Hal yang disepakati dalam ijma merupakan hukum syara’ mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu. Semua demi umat tenang dan nyaman.

Belakangan ini booming Ijmak ulama. Hasil ijmaknya mendukung salah satu calon presiden. Barang tentu hal ini tidak bisa kita anggap sebagai hukum syariat Islam. Sehingga tidak bersifat perlu diikuti.

Bukankah ijmak menjelaskan permasalahan keagamaan (teologis)? Kok mereka yang disebut “ulama” ini malah membahas berhaluan dukungan politik kekuasan. So make me mumetly–#terAnakJaksel

Saya melihat hasil ijmak ulama ini berpotensi memecah umat Islam, karena akan ada potensi gesekan sosial pada mereka yang beda pandangan politik. Saya sih takut saja, muncul narasi tidak patuh kepada ulama gegara beda pilihan politik.

Sebagai penutup, syariat Islam terlalu besar untuk mengurusi remeh temeh macam perebutan kekuasaan. Kecuali memang niatnya menjual agama untuk tujuan politik. Memang, apalagi? Yuk  bersikap jernih terhadap hal ini. Lagian, ulama yang berijmak itu kok baru ‘sekarang memikirkan umat’ dan kenapa kok ya soal pilpres. Ah ada-ada saja. Wallahu’alam bishawab.