Beberapa hari ini jagat dunia maya diributkan oleh puisi berjudul “Ibu Indonesia” gubahan Sukmawati Soekarnoputri. Seperti diketahui, puisi tersebut dibacakan di acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018.
Beberapa petikan syair pada puisi tersebut dipermasalahkan. yaitu
“Aku tak tahu Syariat Islam; Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah; Lebih cantik dari cadar dirimu
Aku tak tahu syariat Islam; Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok; Lebih merdu dari alunan azan mu”
Secara pribadi, saya tidak tahu banyak tentang puisi dan saya tidak kompeten untuk membahas puisi secara kesusastraan, tetapi secara awam melihat diksi yang digunakan puisi Ibu Indonesia memang berpotensi kontroversi (Baca: Teks lengkap Puisi Sukmawati yang dianggap menghina islam).
Mari kita ulik bersama. Pertama, meski saya cenderung percaya cadar produk budaya Arab yang sering digunakan muslimah timur tengah. Tetapi ibu Sukmawati tidak mempertimbangkan perasaan muslimah anyaran yang sibuk mempromosikan cadar bagian dari syari’at Islam. Hal itu, tentu sah saja dalam diskursus keislaman. Apalagi, hal itu jatuh ke masalah furu’iyah dalam agama.
Saya memang tidak sepakat cadar bagian dari syari’at Islam, tetapi menyepelekan cadar yang dianggap penting bagi sebagian muslim kita, tentu bukan perbuatan baik. Apalagi cadar dibandingkan dengan konde, pasti menurut mereka “Nggak syari’at mblas!”
Selanjutnya suara kidung lebih merdu dari alunan azan. Saya juga sering risih kalau yang ngazan mbah-mbah. Penyebutan lafadznya azannya sudah belepotan, ngesakno ngunu, para milenial kemana? Diem-diem bae.
Islam dan Budaya
Saya sepakat dengan “cuitan” salah satu sahabat saya, Fadlan Nasurung di akun media sosial. Menurut fadlan, Ibu Sukmawati dengan puisinya ingin mengkritik simbolisme agama, namun ia sendiri justru terjebak dalam simbolisme budaya, simbolisme dari dua entitas itu lalu dipertarungkan; siapa yang lebih unggul dari yang lain. Ini tentu kekeliruan sangat fatal.
Memperhadap-hadapkan agama dan kebudayaan akan selalu menimbulkan ketegangan. Memilih salah satunya tentu sangat problematik. Ulama-ulama kita telah mewariskan jalan bagaimana menjembatani keduanya; agama dan kebudayaan yang terjalin apik dalam perjumpaan yang negosiatif-akomodatif.
Dalam islam, negosiatif-akomodatif itu melahirkan Islam nusantara. Islam Nusantara merupakan model Islam Indonesia dengan pendekatan empiris islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural di Indonesia.
Aplikasi penerapan Syari’at dengan mengakomodir budaya dirumuskan dalam kaidah fiqh : al-‘Adah Muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum). Begitu juga dengan kaidah: al-Ma’ruf ‘urfan ka al-Masyrut Syartan (hal baik yg sudah dikenal secara ‘urf/ adat kebiasaan diterima seperti halnya syarat) atau “al-Tsabit bi al-dalalah al-‘urf ka al-tsabit bi al-dalalah al-nash” (yang ditetapkan dengan dalil dari adat sama statusnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash).
Apa hasil upaya negosiasi-akomodatif? Hasilnya adalah akulturasi, beragama tanpa meninggalkan budaya; salat menggunakan sarung dan peci nasional. Ketika azan “kidungkan” dengan sebaik-baiknya suaramu atau seperti azan di masjid Demak yang menggunakan langgam Jawa. Jika harus memilih cadar atau menggunakan konde, pilihlah yang lebih membuatmu nyaman, karena ulama berbeda pendapat tentang hukum hijab. Hormatilah pilihan orang lain dan berhentilah nyiyir.
Rasulullah bersabda “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa”.
Jangan mau dikotak-kotakan; agama dan budaya; lantunan azan dan kidung; cadar dan konde. Cukup onde-onde dan lapis dadar yang berbeda jauh.
Nusantara; Peradaban Harmoni
Peradaban Nusantara adalah peradaban yang terlatih dan terbukti sukses melewati hidup damai dalam keragaman. Peradaban ini mampu mengakomodasi kepentingan bersama dibandingkan kepentingan individual. Sehingga upaya membandingkan satu dengan yang lainnya, sungguh akan mencederai peradaban kita ini.
Saya teringat ucapan Jalaluddin Rumi, sufi agung dari Persia pernah berkata; perbedaan di antara manusia berasal dari nama; sementara saat engkau mencapai makna maka engkau meraih kedamaian. Wahai inti dari segala yang ada! Adalah karena sudut pandang, maka ada perbedaan antara seorang Muslim, Zoroaster dan Yahudi. Setiap Nabi dan setiap orang suci memiliki jalannya sendiri, tetapi tiap jalan itu menuju Tuhan; berbagai jalan itu sesungguhnya adalah satu.
Jika pada hakikatnya tiap jalan menuju kepadaNya, entah lewat jalur Budaya dan jalur agama, keduanya bukan untuk saling dipertentangkan tetapi untuk saling menguatkan. Jika corak keislaman yang kaya di Nusantara ditarik subtansinya, hasilnya pasti akan sama.
Jangan tergesa-gesa menghukumi penistaan, pelecehan apalagi sesat pada pemahaman yang berbeda dnegan kita pahami. Apalagi selama ini kita hanya ikut kajian di Youtube, bukan pengajian dengan kyai-kyai dengan sanad keilmuan yang jelas dan luas. Jarang baca buku agama, bacanya hasil browsing di google dan sering emosional karena termakan provokasi potongan video dan meme di media sosial, tanpa membudayakan konfirmasi (tabayyun).
Padahal Tuhan telah mewanti-wanti sikap tergesa-gesa ini dalam surah al Isra’ ayat 11 “Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan manusia itu bersifat tergesa-gesa.”. Menurut Prof. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan bahwa manusia mempunyai tabiat selalu tergesa-gesa dalam menghukumi apa yang terjadi pada manusia, dalam segala ucapan dan perbuatan. Manusia biasanya tergesa-gesa dalam menyeru kepada kejahatan sebagaimana halnya dalam menyeru kepada kebaikan. Juga biasanya tergesa-gesa dalam berdoa kepada Allah agar diturunkan bala kepada siapa yang menyulut amarahnya sebagaimana halnya ketika mendoakan seseorang dengan kebaikan.
Penutup, saya ingin sedikit cerita tentang percakapan sore yang cerah di kedai Baso.
Baso: “Kau sudah dengar puisi Ibu itu?”
Beddu: “Sudah.”
Baso: “Lalu bagaimana tanggapanmu?”
Beddu: “Kalau menurutmu ia keliru, tegurlah dengan cara yang santun. Sebab jika tidak (santun), maka kau pun butuh ditegur. Amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan dengan bil ma’ruf, bosku”. Wallahu ‘alam bishowab.