Berpolitik dengan Agama

Berpolitik dengan Agama

Berpolitik dengan Agama

BERTAHUN-TAHUN lalu, saat masih turun ke lapangan sebagai wartawan, saya pergi ke Medan karena ditugasi meliput demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh pabrik di sana. Mereka menentang para majikan yang mereka anggap menyengsarakan nasib mereka karena upah rendah. Demonstrasi 1994 itu segera berubah menjadi kerusuhan berbau rasial sebab para majikan yang mereka gugat itu adalah orang-orang etnis Tionghoa. Beberapa buruh meninggal dalam demonstrasi itu, ada juga orang Tionghoa yang meninggal karena dikeroyok massa.

Kerusuhan sudah berakhir ketika saya tiba, hanya ada suasana genting dan sisa-sisa kemarahan, dan kemudian perburuan oleh aparat keamanan terhadap para pemimpin serikat buruh yang dianggap sebagai biang keladi. Beberapa toko milik orang Tionghoa sudah mulai buka lagi. Di Medan, saya melihat bahwa para pemilik toko suka memajang foto-foto perwira militer di dinding toko mereka, sama seperti para penggemar lukisan mooi indie memajang gambar gunung dan sawah, sama juga dengan para penggemar benda-benda pusaka memajang keris dan tombak di ruang tamu rumah mereka.

Saya menduga mereka memajang foto-foto perwira militer itu untuk membeli rasa aman, untuk memberi tahu orang-orang: “Dia pelindung saya.”

Dari buku-buku fengshui, saya memahami bahwa gunung harus ditempatkan di belakang kita, sungai di depan kita. Gunung memberi perlindungan, sungai yang mengalir lancar memberi harapan tentang rezeki yang lancar juga. Jika anda nekat berhadap-hadapan dengan gunung, rezeki anda akan buruk dan tenaga anda pasti terkuras, jika sungai ada di belakang, anda memunggungi rezeki.

Di dalam kehidupan sehari-hari, gunung bisa berupa perwira militer, penguasa, dan orang-orang berpengaruh. Orang-orang Tionghoa yang mengamalkan fengshui pasti tahu itu. Mereka akan berusaha keras untuk menjadikan gunung sebagai pelindung. Mereka tidak akan menguras tenaga untuk berhadap-hadapan dengan kekuasaan, apalagi melawannya. Sebaliknya, mereka akan berupaya sebisa mungkin untuk menempatkan gunung, dalam berbagai manifestasinya, di belakang punggung mereka, melindungi bisnis mereka.

Selain upaya mengelola keberuntungan langit dan bumi, faktor penting lainnya yang membuat mereka gemar merawat gunung adalah perasaan tidak aman. Sudah beberapa kali kita menyaksikan terjadinya amuk massa, dengan berbagai sebab, dan ujungnya adalah orang-orang menjarah dan membakar toko-toko atau gedung-gedung milik orang Tionghoa. Kerusuhan besar dengan sasaran orang-orang etnis Tionghoa saya saksikan pertama kali di Semarang. Itu peristiwa yang bermula dari keributan kecil di kota Sala, kemudian membesar dan menjalar ke Semarang.

Saya masih kelas lima SD pada 1980 dan merasa khawatir bahwa tetangga saya akan menjadi korban juga. Ia pintar bermain badminton dan selalu membelikan kami shuttlecock sehingga setiap hari kami bisa bermain. Untuk melindunginya dari amukan orang banyak, kami bersepakat memasang tulisan “Pribumi Jawa Asli” di pagar rumahnya. Namun, toko buku kecil di dekat pasar, yang pemiliknya selalu menyimpankan satu majalah anak-anak Kawanku untuk saya, ikut menjadi korban. Pada beberapa malam setelah kerusuhan itu, orang-orang dewasa sibuk bercerita. Saya sedih mengingat nasib buruk pemilik toko buku itu.

Jika setiap kerusuhan dengan mudah berubah menjadi huru-hara dan pelampiasan kemarahan terhadap orang-orang etnis Tionghoa, saya yakin pasti ada yang keliru di dalam cara kita mengelola kehidupan bersama.

Sebenarnya saya sangat senang ketika Ahok, yang semula wakil gubernur, mewarisi kursi gubernur DKI Jakarta setelah Jokowi naik ke tangga politik yang lebih tinggi sebagai presiden. Untuk pertama kalinya ibukota negara memiliki gubernur etnis Tionghoa, satu etnis di negara ini yang pada masa Orde Baru sangat dibatasi hak berpolitiknya, seolah-olah etnis Tionghoa adalah orang asing di negara kepulauan ini dan akan membahayakan jika diberi keleluasaan berpolitik.

Naiknya Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta, bagaimanapun, menurut saya merupakan catatan penting dalam perjalanan demokrasi kita. Hanya dibutuhkan waktu 16 tahun sejak kerusuhan Mei 1998, yang menyasar warga etnis Tionghoa, yang kemudian memaksa Pak Harto turun dari kursi kepresidenan, kita memiliki gubernur dari etnis Tionghoa. Itu langkah maju, meski ada keberisikan kecil, seperti munculnya gubernur tandingan (sesuatu yang tidak punya dampak administratif sama sekali) dan berbagai upaya mendelegitimasi pemerintahannya dengan menggunakan dalil agama.

Sekiranya Ahok jatuh karena ia terbukti menyelewengkan kekuasaan, itu akan menjadi kejatuhan yang normal saja, yang bisa terjadi pada siapa pun, dengan agama apa pun. Namun, sayang bahwa para penentangnya sejak awal selalu berupaya keras untuk menggalang penolakan dengan menggunakan sentimen agama. Ayat-ayat dimunculkan, media sosial dan khotbah Jumat menjadi arena untuk menyerukan bahwa orang kafir tidak berhak menjadi pemimpin bagi orang Islam. Saya pikir menggunakan isu SARA di dalam politik adalah sebuah kemunduran, sebuah sikap yang menolak menjadi dewasa.

Mestinya mereka menyadari bahwa yang perlu kita lakukan adalah berupaya sekuat mungkin untuk bersama-sama menjadikan negara ini tempat hidup yang lebih baik bagi semua warga negara, apa pun agamanya, apa pun etnisnya. Saya tahu itu harapan konyol. Orang akan senang menggunakan agama sebagai alat untuk memobilisasi dukungan politik, sebab murah biayanya dan sangat efektif. Tetapi itu tindakan yang memprihatinkan. Sekali kita memulainya, kita tidak akan pernah tahu kapan mengakhirinya.

Anda tahu, dengan mengatasnamakan agama, orang bisa dengan mudah didorong menjadi sangat militan. Dengan agama sebagai alasan, orang sanggup melakukan perlawanan seorang diri, dan bahkan sanggup meninggalkan keluarga demi apa yang mereka percayai sebagai penegakan kebenaran. Satu orang akan berani menyerbu ke tempat yang mereka anggap sarang musuh, atau sarang maksiat, dan ia akan rela menjadikan diri senjata penghancur.

Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh orang-orang yang berpolitik atas nama agama? Mereka seperti diliputi suasana perang salib, sebuah bencana di masa lalu yang meninggalkan trauma dalam hubungan Kristen-Islam, yang rasa sakitnya tidak kunjung tersembuhkan setelah peristiwa itu berlalu berabad-abad.

Tetapi pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah hanyalah sebuah rutin dalam demokrasi. Dan, celakanya, sebagian dari mereka yang menjalani laku beragama secara keras, bahkan menolak demokrasi karena itu bukan hukum Tuhan. Dan mereka tidak tahu kapan harus berhenti.

Dalam suasana hati dan cara berpikir “Perang Salib” seperti itu, naiknya Ahok, seorang Tionghoa dan bukan muslim, tentu merupakan malapetaka. Karena itu ia harus dihentikan. Penolakan terhadapnya harus didasari alasan yang mereka pikir tak bisa dibantah: firman Allah. Belakangan, saya membaca juga selebaran yang menyatakan bahwa Ahok bukan pemimpin yang sesuai dengan iman Kristiani. Beberapa bukti disampaikan, di antaranya ia bermulut kasar.

Saya heran dengan semua itu. Saya bukan orang yang mengagung-agungkan kesantunan melebihi apa pun, dan saya menikmati gaya komunikasi Ahok. Saya justru berpikir bahwa caranya tepat untuk memimpin administrasi pemerintahan DKI Jakarta, sebuah tempat yang dipenuhi petualang dan preman—dalam jubah apa pun. Anda tidak mungkin memamerkan kesantunan jika yang anda hadapi adalah para preman, entah preman politik ataupun preman pasar. Para preman akan terus merongrong dan menginjak-injak anda jika anda menunjukkan sikap lemah lembut. Dengan kata lain, anda tak boleh mengembik di kandang singa. Anda harus mengaum juga. []

NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID