Masjid dan jamaah bak dua sisi mata uang. Saling terlibat, saling membutuhkan. Masjid dan umat adalah satu peleburan religiusitas yang kasat mata. Masjid dihidupkan jamaah dan jamaah pun merasa hidup bersama masjid.
Interaksi saling menghidupkan ini adalah keniscayaan, yang terjadi secara kodrati. Masjid mampu berinteraksi aktif dengan masyarakat, tergambar dengan gamblang pada berbagai peringatan hari besar Islam, dari mulai 1 Muharam, Maulud Nabi, hingga sepanjang Ramadan.
Masjid-masjid tua di Indonesia adalah contoh terbaik. Ia hidup, dan seperti tidak akan mati. Ia memiliki sejarah panjang menjadi tempat tujuan para peziarah dari berbagai daerah.
Di samping tempat ibadah dengan arsitektur lama, masjid biasanya bersanding dengan makam para pendakwah, ulama, serta pembesar kerajaan atau pemerintahan pada masanya. Masjid dan makam menjadi semacam tempat “keramat” dan suci tempat “ngalap berkah”.
Pemandangan itu misalnya, dapat kita rasakan di kawasan Masjid Agung Banten Lama di daerah Banten Lama Serang, Provinsi Banten. Kami datang ke sana persis tahun baru Hijriah, 1 Muharam 1438 H atau 2 Oktober 2016.
Para peziaran memadati semua area yang tersedia. Masjid, pemakaman, lapak-lapak kaki lima, tempat parker, semuannya padat. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Lampung.
Mereka datang berombongan, ada yang dua bus bahkan lima bus beriringan. Ziarah di makam dan salat di masjid yang dibangun Sultan Maulana Hasanuddin pertengahan abad ke-16 itu adalah tujuan utama, selebihnya wisata alam, kuliner, dan belanja.
“Luar biasa kalau 1 Muharam. Petugas kebersihan dan keamanan jumlahnya berlipat dari biasanya,” kata Nadzir Kasulthanan Banten, Tubagus A Abbas Wasee. Masjid Banten Lama memang menjadi satu urusan dari seabrek urusan yang menjadi tanggung-jawab Nadzir.
Pemandangan yang sama tampak di Masjid Luar Batang, Kampung Luar Batang Sunda Kelapa Jakarta Utara. Para peziarah itu “ngalap berkah” dengan berzirah di makam pendiri masjid, Husein bin Abubakar Alaydrus.
Maksud ziarah adalah untuk berdoa, meminta petunjuk Tuhan. Berkunjung ke masjid dan berziarah ke makam adalah sarana. Berziarah ke Masjid Luar Batang juga sekaligus berwisata sejarah dan budaya karena masjid yang didirikan pada 1739 itu telah ditetapkan menjadi cagar budaya yang dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta.
Begitu juga jika kita menengok Masjid Astana Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat. Di sana, malam tidak ubahnya siang ketika sedang dipadati peziarah pada hari-hari besar Islam.
Begitu masuk pelataran langsung duduk dan melantunkan doa di depan gerbang besar yang disebut Pintu Pasujudan, pintu gerbang keempat dari sepuluh pintu gerbang yang ada di Astana Gunung Jati. Untuk mencapai makam Sunan Gunung Jati dan keluarganya, peziarah harus melalui enam pintu gerbang lagi.
“Orang yang bisa berdoa dekat makam Sunan Gunung Jati hanya sultan-sultan Cirebon atau yang sudah mendapat izin dari Keraton Kasapuhan Cirebon,” kata Hasan, bekel sepuh di makam dan masjid Astana Gunung Jati.
Interaksi dengan warga
Begitulah masjid-masjid bersejarah menjadi tidak sekadar tempat sujud namun menjadi pusat interaksi relijius umat Islam dari berbagai daerah. Masjid-masjid tua dan bersejarah yang terkait dengan Wali Songo lebih riuh lagi.
Masjid Gunung Jati Cirebon, Masjid Demak, Masjid Menara Kudus, hingga Masjid Sunan AMpel di Surabaya, misalnya. Masjid-masjid tersebut berada di kompleks yang sama dengan makan Sunan Gunung Jati, Sunun Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Ampel. Interaksi masjid, makam, dan umat ini bahkan melahirkan bisnis wisata ziarah atau wisata religi.
Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Masdar F. Masudi mengatakan bawah masjid tua yang bersejarah, tidak hanya menautkan ingatan umat sekarang dengan umat masa lalu, tapi juga menautkan umat zaman sekarang dengan segala macam kebutuhannya.
“Masjid-masjid tua, dan juga para pendahulu, pejuang muslim berabad lalu, memiliki magnet bagi umat hari ini. Ini bukan karena umat butuh dasar, pijakan, berupa kisah-kisah yang mengandung hikmah, tapi juga manfaat sehari-hari, manfaat ke depan bisa dirasakan. Manfaat apa itu? Manfaat ruang bertemu dari pelbagai daerah, ada interaksi kebudayaan, hingga memunculkan kehidupan ekonomi baru,” jelas Masdar.
Lebih jauh Masdar mengungkapkan bahwa masjid-masjid bersejarah yang ada di Indonesia memiliki fungsi perekat. “Para peziarah itu berinteraksi secara cair tanpa peduli madzhab keagamaan, tanpa risau kelas ekonomi. Duduk bersama, tahlil bersama, berdoa bersama, bahkan dari latar belakang agama yang berbeda. Semuanya terjadi secara masal dan tiap hari,” ungkapnya.
Fenomena masjid tua di Indonesia, memang bukan khas Indonesia. Fenomena itu terjadi juga misalnya di Malaysia, Mesir, Turki, sebagian di Arab Saudi, tapi praktik interaksi sosial di masjid-masjid di Indonesia yang melahirkan solidaritas sosial di banyak bidang dapat menguatkan kohesivitas sosial, dan ujungnya sangat bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
“Hablum minallah, rasa kebertuhanan dapat. Hablum minan nas, hubungan antara manusia menguat. Di sinilah berkah masjid bersejarah,” imbuh Masdar, penulis buku Memakmurkan Masjid Memakmurkan Bumi Allah. (SI/HS)