Satu pagi di bulan Desember saya mengabari seorang kawan lintas agama melalui panggilan WhatsApp, dia kawan baru yang saya kenal di kegiatan Peace Walk beberapa waktu lalu. Namanya Ani, perempuan asal pulau Nias, Sumatera Utara. Kini Ani merantau di Kota Bogor.
Waktu itu, deraian angin pagi menghembus kencang dan sinar matahari mentereng mengiringi obrolan kami.
Keinginan Ani merantau dari Pulau Nias ke Kota Bogor bukan tanpa sebab, ribuan kilo ia tempuh demi satu cita-cita yang mulia, yakni berjuang untuk hidup yang lebih baik. Semasa kuliah, Ani sering mendengar cerita dari orang-orang bahkan dari dosennya sendiri soal bagaimana hidup sebagai perantauan.
“Saya penasaran saja sebetulnya, benar gak dunia rantau itu kejam, jauh dari rumah, kangen dengan orang tua. Mau membuktikan aja sih,” tutur Ani.
Sesampainya di kota Bogor, Ani mulai merasakan bagaimana hidup sebagai perantauan, lebih-lebih Ani tidak punya satupun sanak saudara di sana.
Ia hidup sendiri, berjuang untuk hidup yang lebih baik. Bukan anak rantau namanya jika tidak menjumpai batu-batu sandungan, jelas itu tidak mengenakkan tetapi hidup harus tetap berjalan.
“Awal-awal tuh susah, cari uang sendiri, kos sendiri. Adaptasi transportasi, bahasa mereka dan juga budaya mereka, bahkan di awal-awal pergi kemana-mana naik angkot, aku tuh muntah di angkot,” ceritanya sambil tertawa mengenang masa-masa itu.
Bahkan tak jarang, Ani dicat calling oleh warga sekitar.
Baca juga : Festival Beda Setara Hari Ketiga, Perkenalkan Toleransi dan Keberagaman Lewat Cara Edukatif-Interaktif
Saat mencari pekerjaan, sekali waktu Ani sempat mendatangi Kementerian Agama Kota Bogor, berharap ada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Tampaknya, semesta mendengar doa-doa Anie.
Salah seorang pegawai Kemenag Kota Bogor Pa Sunaryo namanya, memberi kesempatan Ani untuk mengajar di sekolah negeri.
“Aku datang dengan berani, bawa surat lamaran, mengharap satu hal ada kabar baik yang saya bawa pulang, saya komit bisa mandiri dengan satu pekerjaan yang jelas,” kata Ani.
Memang begitu hidup, selalu ada jalan dibalik kegigihan tekad. Jalan-jalan pertolongan Tuhan selalu hadir.
Waktu demi waktu Ani jalani, hidup di perantauan sendiri tanpa sanak saudara. Tembok-tembok sepi harus ia lalui, perlahan pertanyaan Anie tentang bagaimana menjadi perantauan mulai Ani rasakan.
Tidak Usah Menghakimi Kepercayaan Orang Lain
Satu pengalaman yang sangat berharga bagi Ani mengikuti Peace Walk yang digelar Yayasan Cahaya Guru (YCG) beberapa waktu kemarin. Ani melihat dunia yang lebih berwarna. Selama Peace Walk, Ani menjumpai orang-orang yang berbeda keyakinan dan rumah ibadah yang berbeda-beda.
Mulanya Ani, mendapatkan informasi Peace Walk dari grup guru se-Kota Bogor. “Karena aku butuh, aku dengan berani ikut. Aku butuh komunitas yang mendidik dan memberikan gairah, di sinikan aku sendiri,” ketusnya.
Ani menikmati setiap detik dan jengkal kegiatan tersebut, melihat kenyataan bahwa dunia tidak sesempit itu. Bahwa ternyata, yang berbeda itu dapat berdampingan dengan senang, tanpa ada rasa curiga dan semacamnya.
Menurutnya, setiap agama atau tempat ibadah punya ciri khasnya sendiri. Karenanya, tak perlu menghakimi kepercayaan orang lain. “Mereka punya alasan sendiri mengapa mereka mempercayai hal itu,” jelas Ani.
Baca juga : Alissa Wahid Bongkar Empat Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Intoleransi di Indonesia
Sebagai seorang pendidik, besar harapan Ani kepada murid-muridnya ketika besar nanti, sudah terbiasa menghadapi perbedaan, mereka saling menghargai umat dan tempat ibadah umat lain.
Pengalaman Ani barusan, mengingatkan saya tentang perjuangan-perjuangan perempuan di tanah rantau yang tidak hanya melibatkan perjuangan fisik, tetapi juga perjuangan mental dan emosional menghadapi ketidakpastian.
Bahkan membangun jembatan untuk perbedaan agama.
Baginya, setiap tantangan adalah pelajaran, dan setiap pelajaran adalah bekal untuk melangkah lebih jauh. Dia perempuan dan dia kuat.