BerIslam Seperti di Pesantren untuk Keseharian Masyarakat Urban

BerIslam Seperti di Pesantren untuk Keseharian Masyarakat Urban

Bagaimana narasi Pesantren bisa kita gunakan untuk islam sehari-sehari

BerIslam Seperti di Pesantren untuk Keseharian Masyarakat Urban
Masjid Al-Ikhlas Pasar Minggu dengan keindahan menyembul di antara menara. Pict by Hexa R

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, gelombang kehadiran kelompok-kelompok Islam menerpa kehidupan bangsa ini. Menurut Ariel Heryanto dalam sebuah diskusi pada tanggal 20 Juli 2018, selain karena terbukanya kebebasan berpendapat dan berekspresi, kehadiran kelompok-kelompok Islam tersebut mengisi kekosongan kekuasaan setelah melemah dan runtuhnya Orde Baru, sementara patron-patron lainnya yang menjadi lawan-lawan pemerintah, seperti kalangan komunis dan liberal, tidak siap mengisi kekosongan tersebut. Pada masa inilah untuk pertama kalinya kelompok Islam mendapatkan momentum untuk menguasai kehidupan berbangsa dan bernegara (Lihat https://www.youtube.com/watch?v=JNw-2Qoh1Nc&t=3s, 20/12/18).

Islam yang dibawa oleh kelompok-kelompok tersebut bernuansa fundamentalis yang kemudian melahirkan kecenderungan islamisme dan bahkan radikalisme. Wacana yang mereka usung adalah perubahan fundamental bahkan radikal dalam berbagai bidang, mulai dari dasar dan ideologi negara sampai kepada faham keberagamaan dan keislaman.

Kehadiran Islamisme itu bersanding dengan munculnya kecenderungan populer dalam keberislaman yang menurut para ahli sebagai imbas dari kebangkitan masyarakat muslim santri-priyayi kelas menengah yang dimulai sejak beberapa saat jelang keruntuhan Orde Baru dan semakin menguat di era milenial saat ini.

Islam populer merupakan bentuk komodifikasi nilai-nilai modernis dalam budaya Islam yang melahirkan komersialisasi simbol-simbol relijius dalam komunitas muslim (Wasisto Raharjo Jati, 2015). Hal itu terlihat misalnya dalam bagaimana Islam muncul dalam bentuk perda syari’ah, bank syari’ah, hotel syari’ah, jilbab syar’i, dan lain-lain.

Kehadiran kelompok dan kalangan muslim baru itu rupanya menentang posisi kelompok Islam mainstream yang diwakili oleh kalangan Islam tradisional dan Islam modernis yang sudah sejak lama bertahan dalam kehidupan bangsa ini karena berhasil memadukan konsep keislaman dengan kebangsaan dan keindonesiaan. Posisi mereka terancam tidak hanya dalam persaingan identitas kelembagaan, tetapi lebih besar lagi, dalam otoritas keislaman. Jika di masa-masa sebelumnya Islam di Indonesia difahami dan diwakili oleh kalangan tradisional dan modernis, kini posisi siapa yang berhak memahami dan mewakili Islam juga ingin dimiliki oleh kelompok-kelompok Islamis.

Dalam situasi demikian, kalangan tradisional mengangkat pesantren sebagai wacana tandingan dalam perebutan otorisasi Islam. Pesantren dipilih bukan hanya karena ia merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di nusantara (Mohammad Hasan, 2015), tetapi juga dianggap memiliki khazanah keilmuan Islam yang mumpuni dan menjadi agen perubahan sosial (Ahmad Atho, 2013; Dakir dan Umiarso, 2017).

Dalam bingkai tersebut pesantren diketengahkan dalam narasi-narasi tradisionalis, mulai dari sumber-sumber keilmuan Islam yang berorientasi pada kitab kuning, peran dan kapasitas kyai pesantren sebagai pemangku otoritas hukum agama, nalar keluwesan dan kontektualisasi ajaran Islam, pola pendidikan tradisional, hingga gaya hidup ala santri, seperti santri memakai sarung sebagai “pakaian adat”, bergaul dalam bahasa yang memainkan Nahwu dan Sharf ala pesantren salafiyah, keriangan dan kenakalan anak pesantren dan lain sebagainya.
Dengan narasi ini, pesantren bukan lagi sekedar lembaga pendidikan dan gerakan sosial, tetapi justru diangkat sebagai budaya Islam.

Hanya saja, pada tahap ini narasi pesantren terjebak dalam, meminjam istilah (lagi-lagi) Ariel Heryanto, pemilahan mana yang asli pesantren dan mana yang kurang asli pesantren.
Hal ini berimbas pada posisi pesantren modern. Dalam sebagian aspek pondok pesantren Gontorian memang tidak jauh berbeda dengan pesantren tradisional atau salafiyah yang diangkat dalam narasi pesantren sekarang ini, seperti kedudukan tinggi kyai, santri yang tinggal di asrama dan lain-lain. Akan tetapi dalam sebagian aspek lainnya terdapat perbedaan yang cukup mencolok.

Pesantren modern tidak hanya menjadikan kitab kuning sebagai sumber keilmuan, melainkan juga “kitab putih”, baik yang disusun oleh para guru maupun yang diambil dari sumber-sumber keilmuan modern. Kyai memiliki kedudukan tinggi, tapi ia membebaskan santri-santrinya untuk memilih kecenderungan mana yang disukai, tentunya dengan syarat-syarat tertentu.

Kontekstualisasi ajaran Islam dipandang perlu tapi Islam sebagai suatu ajaran yang orisinil tetap harus dijunjung tinggi. Pendidikan di pesantren modern menggunakan sistem dan gaya modern, seperti pembagian kelas dan ranking, satuan kurikulum pembelajaran yang terpadu antara ilmu-ilmu Islam dan sains dan ketersediaan kegiatan ekstrakulikuler profesional.

Gaya hidup santri modern, meski tidak banyak berbeda dengan santri tradisional, sesungguhnya berorientasi disiplin yang ketat dan pembelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi resmi. Pondok pesantren modern, bagaimanapun, adalah pesantren sebagaimana difahami secara umum, tapi narasi tradisionalis yang digelorakan saat ini seakan mengesampingkan pesantren modern.

Oleh karena itu, kalangan pesantren modern perlu mempertanyakan: di manakah posisi pesantren modern dalam narasi pesantren saat ini dan di mana posisinya dalam kontestasi otoritas keislaman? Bagaimana pesantren modern harus bersikap terhadap narasi tersebut? Mau di bawa kemana pesantren modern tatkala berhadapan dengan keragaman orientasi keagamaan yang begitu luas saat ini dan di masa depan nanti?

Menurut penulis, narasi pesantren dalam dinamika Islam Indonesia saat ini melingkupi semua jenis pesantren, sehingga pesantren modern mestinya juga turut meramaikan wacana keislaman dari sudut pandang pesantren. Namun karena perbedaannya dengan pesantren tradisional dalam beberapa aspek, pesantren modern dapat memberikan corak lain dalam narasi pesantren masa kini.

Hal itu dapat dilakukan dengan setidaknya dua tahap: pertama, rekonstruksi nilai-nilai kepondok-modernan yang terangkum dalam Panca Jiwa Pondok, Motto Pondok dan jargon-jargon pondok, agar nilai-nilai tersebut tidak hanya berbicara dalam konteks intra pondok pesantren modern, melainkan dalam konteks yang lebih luas, yaitu keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan.

Kedua, menarasikan nilai-nilai tersebut dalam kebudayaan Islam sehingga pesantren modern memperkaya narasi pesantren yang sudah ada. Dengan ini, bersama dengan pesantren tradisional, pesantren modern dapat semakin meneguhkan posisi pesantren dalam menghadirkan Islam moderat, toleran dan rahmah lil ‘alamin, seperti semboyan yang masyhur di pesantren-pesantren modern, “berdiri di atas dan untuk semua golongan.”