BerIslam Kok ala Machiavellian

BerIslam Kok ala Machiavellian

Menjadi Islam adalah rahmah, tapi kenapa belakangan justru kebalikannya?

BerIslam Kok ala Machiavellian
Makhluk penebar kebencian ada di mana-di mana dan ternyata ada namanya: Homo Hasadus. Apakah kita termasuk jenis ini? Ilustrasi by Toto Prastowo

Dalam islam, kita mengenal istilah tabayun. Tapi, kenapa jarang dilakukan?

Beberapa hari lalu ada seorang ibu yang melabrak kakak beradik sedang berboncengan di jalan. Ibu tersebut melihat, memarahi sekalian merekam dua orang bersaudara itu bercanda terlalu “mesra”, sehingga disimpulkan keduanya adalah pasangan sesama jenis. Dua bersaudara itu akhirnya banyak mendapatkan hujatan dan katanya harus keluar dari pekerjaannya. Video viral itu dan ternyata salah tuduh belaka. Kasus seperti sebenarnya hanya ujung dari sebuah gunung es yang semakin membesar dibagian bawahnya.

Apakah tidak ada lagi prasangka tidak bersalah dalam kehidupan saat ini? Bahkan menurut pengakuan beberapa teman saya, berbeda itu adalah sesuatu yang tabu dalam pertemanan. Sebab teman saya itu pernah dikeluarkan dari pertemanan di media sosial hanya gara-gara dia berbeda pendapat soal pilihan politik. Di sinilah kedewasaan kita akan menghadapi perbedaan mulai diuji, sebab di dunia yang disebut sudah hilang batasannya perbedaan itu bukan sesuatu yang aneh lagi.

Apa yang dilakukan oleh ibu yang sudah memarahi, merekamnya dan menyebarkan itu di media sosial itu, dilakukan dalam keadaan yang sangat sadar bahkan dia tidak segan-segan menuliskan apa yang telah dilakukan untuk sebuah kebaikan. Raibnya usaha bertabayyun atau cek dan ricek dalam perilaku bermedia sosial kita mungkin dipengaruhi banyak hal.

Niccolo Machiavelli mungkin bisa menjawab salah satu hal yang mempengaruhi mengapa ibu itu melakukan hal tersebut. Namun sebelum kita membincangkannya, yuk kita berkenalan dulu dengan seorang filsuf kelahiran Italia ini. Nama ini sering dihubungkan dengan praktik busuk kekuasaan.

Pemikiran Machivelli mungkin banyak disebut sebagai penyimpangan dari nilai-nilai moral dan suara hati yang sehat. Namun tidaklah afdhol kalau membincangkan persoalan-persoalan politik saat ini khususnya abad 20-21 ini tanpa melihat atau melirik pemikirannya.

Machiavelli adalah filsuf yang ikut membincangkan bagaimana posisi Agama dan Negara pada awal zaman modern. Di abad pertengahan, negara berada di bawah kendali agama. Khususnya di negara-negara Eropa, Gereja Katolik sangat mendominasi atas negara. Bahkan seorang kaisar harus diangkat oleh pimpinan gereja yaitu Paus.

Pada masa Renaisans, model kekuasaan seperti itu mengalami goncangan yang begitu hebat. Di sini pemikiran Machiavelli mulai mendedahkan pemikirannya bahwa negara yang seharusnya mendominasi agama. Bukan berarti agama bagi Machiavelli adalah hal yang tidak penting, namun bagi Machiavelli sudah seharusnya dijadikan alat untuk menyatukan negara.

Machiavelli memandang agama sebagai salah satu dari pranata kebudayaan ini seharusnya menjadi penyokong dan pendukung nilai-nilai patriotisme. Machiavelli adalah orang yang berhasil menegaskan bahwa agama tidak lagi sesakral yang kita selama ini. Sebab dalam Machiavelli berhasil mengambil sisi di luar sisi ketuhanan dalam agama yang bisa dipergunakan untuk memperteguh kekuasaan.

Terkait dengan kasus video dua bersaudara yang disangka pelaku LGBT tersebut, sosok ibu yang memviralkan video tersebut melakukan apa yang disebutkan Machiavelli sebagai perilaku penaklukan untuk membentuk opini yang bisa mengendalikan tingkah laku warga sekitarnya. Perilaku ini sebenarnya biasanya dilakukan oleh mereka yang berkuasa, namun dalam kasus ini ibu itu merasakan klaim kebenaran ada pada dirinya oleh sebab itulah dia melakukan menyebarkan video tersebut tanpa ada rasa bersalah.

Apalagi media sosial saat ini adalah alat paling efektif dalam membentuk opini masyarakat. Ini dipertegas oleh Zygmunt Bauman, seorang sosiolog asal Polandia se. Ia mengatakan, “you can enter public arena just by moving your fingers and sitting in you room”. Kita tidak hanya terkoneksi oleh suatu peristiwa tetapi juga batin, rasa, emosi jiwa kita terkoneksi sekaligus bersinggungan dengan batin, rasa, emosi jiwa sang liyan, yakni netizen.

Klaim kebenaran yang dirasakan ibu tersebut yang membuatnya menjadi di posisi dominan. Menurut Machiavelli, dalam rangka dominasi inilah seorang penguasa (dalam hal ini pihak yang dominan) tidak perlu lagi memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Di satu sisi, penguasa memang harus berlaku sangat moralistis, misalnya menunjukkan kesalehan, kemurahan hati, manusiawi. Tapi jika ada ancaman terhadap kekuasaannya, maka dia bisa bersikap sebaliknya.

Di sinilah kita saat ini banyak disuguhi perilaku-perilaku mereka yang sedang dominan berlaku kasar. Pemukulan dan penyerangan terhadap mereka yang berbeda ideologi hingga pilihan politik adalah hal banyak dan mudah ditemui. Entah apakah tabayyun dan cek-ricek atas sebuah informasi tidak lagi menjadi standar kehidupan kita semua.

Apakah ini yang dimaksudkan oleh Machiavelli? Moralitas dapat diperhatikan dalam kekuasaan hanya sejauh ia berguna untuk kekuasaan. Dengan ini, Machiavelli membolehkan menggunakan cara apapun dalam meraih atau mempertahankan kekuasaan, entah lewat kekerasan, propaganda hingga perang.

Pertanyaan kemudian muncul, untuk apa kita berislam, kalau Islam yang kita peluk malah jadi hamba kekuasaan?

Fatahallahu Alaihi Futuh Al-Arifin