Berinteraksi dengan Kitab Suci di Era Medsos

Berinteraksi dengan Kitab Suci di Era Medsos

Berinteraksi dengan Kitab Suci di Era Medsos

Berinteraksi dengan kitab suci di era medsos

Allah telah menjadikan al-Qur’an dan RasulNya sebagai medium untuk berinteraksi dengan hambaNya. Kalau Nabi Musa meninggalkan umatnya 40 hari mendaki gunung Sinai untuk menerima 10 perintah Allah dan begitu kembali ke umatnya Nabi Musa mendapati mereka begitu mudah terkecoh oleh Samiri, ini berbeda dengan Nabi Muhammad. Proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad adalah di saat Nabi Muhammad tengah berada di tengah-tengah umatnya. Pernah Nabi menerima langsung wahyu saat mi’raj ke langit tapi itupun hanya semalam saja, tidak perlu sampai 40 hari meninggalkan umatnya.

Tidakkah lebih mudah kalau ayat Qur’an turun sekaligus? Tidak! Karena Allah ingin wahyuNya berinteraksi akrab dengan situasi dan kondisi yang dialami Nabi dan sahabatnya. Al-Qur’an turun bukan sekaligus dalam bentuk lempengan batu seperti 10 perintah yang Nabi Musa terima, tapi turun berangsur-angsur selama 23 tahun. Pada kurun waktu itu terus terjadi interaksi antara Allah, Nabi Muhammad dan Umat.

Peristiwa demi peristiwa yang dialami Nabi dan sahabatnya direspon Allah dalam bentuk wahyu. Bukan itu saja, bahkan berbagai aturan ritual dan hukum pun ditetapkan secara gradual (seperti keharaman khamr) dan juga dihapus aturan lama dengan aturan baru (seperti kewajiban shalat tahajud yang berubah menjadi anjuran saja). Saya membayangkan betapa akrabnya interaksi antara Sang Khaliq, Sang Nabi dan para sahabatnya saat itu.

Namun kini wahyu al-Qur’an sudah berbentuk kitab (silakan baca lagi tulisan saya soal proses kodifikasi al-Qur’an). Nabi sudah lama wafat. Pertanyaannya: bagaimana kita tetap bisa berinteraksi akrab dengan Allah dan Nabi serta al-Qur’an?

Imam Malik punya jawaban terhadap pertanyaan di atas. Karena Nabi Muhammad berinteraksi dengan sahabatnya selama tinggal di kota Madinah, maka kita perhatikan saja apa amalan penduduk Madinah. Apa yang mereka lakukan tentu berdasarkan petunjuk Nabi dan dilakukan secara kolektif sehingga menjadi amalan atau tradisi penduduk Madinah.

Tapi bagaimana kalau ada petunjuk dari Hadis Nabi yang ternyata tidak diamalkan penduduk Madinah? Kalau Hadisnya ahad artinya hanya diriwayatkan oleh satu orang maka tentu kalah banyak dengan amalan orang sekampung Madinah. Pendekatan Imam Malik ini sangat antropologis sekali 🙂

Konsekuensinya Imam Malik mendahulukan amal ahli madinah ketimbang riwayat Hadis Ahad. Contohnya: Hadis mengenai keutamaan puasa 6 hari di bulan syawal ditolak oleh Imam Malik karena gak ada tuh penduduk Madinah yang mengamalkan puasa syawal. Sampai di sini jawaban Imam Malik untuk pertanyaan bagaimana berinteraksi dengan Allah, Nabi dan al-Qur’an menjadi kontroversial.

Tambah kontroversial ketika Islam sudah tersebar luas di luar jazirah Arab. Masak umat Islam yang tinggal di Kufah harus mencontoh tradisi, budaya dan amalan penduduk Madinah hanya untuk bisa berinteraksi akrab dengan Allah, Nabi dan al-Qur’an? Lagipula tradisi penduduk Madinah itu harus kita analisa lebih jauh: apakah itu asalnya dari petunjuk Nabi sehingga hukumnya wajib diikuti atau Nabi diamkan saja tradisi tersebut sehingga dianggap Nabi merestuinya? Kalau sekedar diam saja, berarti konsekuensinya hanya mubah tapi tidak wajib diikuti oleh penduduk non-Madinah.

Secara sosiologis, Islam Madinah ala Imam Malik dianggap berbeda dengan Islam Kufah (apalagi dengan Islam Nusantara yah?). Maka para ulama mengajukan pertanyaan baru yaitu bagaimana berinteraksi dengan Allah, Nabi dan al-Qur’an untuk mereka yang tinggal di luar Madinah?

Munculah tawaran yang sangat humanis dari Imam Abu Hanifah di Kufah dengan teori istihsan (memilih dalil yang samar ketimbang dalil yang kuat karena lebih cocok dengan situasi). Tapi teori itu dibantah Imam Syafi’i yang kurang sreg kalau baik dan buruk ditentukan oleh pandangan manusia.

Imam Syafi’i berkesempatan melihat perbedaan tradisi di Madinah, Baghdad dan Mesir. Lantas Mazhab Syafi’i menawarkan kaidah al-‘adah muhakkamah (menjadikan adat setempat yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai salah satu sumber hukum Islam). Jadi, berbeda dengan Imam Malik yang hanya menerima tradisi Madinah, Imam Syafi’i menerima tradisi manapun selama tidak melanggar Syari’ah. Konsep tradisi yang bisa diterima Islam mulai bertambah luas.

Menyadari tidak selamanya bisa berpatokan pada amal ahli Madinah (apalagi kalau jaraknya semakin jauh dengan masa sahabat dan tabi’in), Mazhab Maliki menyodorkan jawaban lain, yaitu mashalih mursalah (menerima aturan hukum yang tidak ada dasarnya dari Qur’an dan Hadis atau di luar tradisi penduduk Madinah namun bisa kita terima dengan dasar kemaslahatan). Sampai di sini, kita melihat ada titik kesamaan antara istihsan-nya mazhab Hanafi dan istishlah-nya mazhab Maliki: yaitu bisa menerima hal-hal yang baik meski tidak ada dalil kuat dari al-Qur’an dan Hadis.

Kalau begitu, apakah kita harus menerapkan hukum Islam persis sama dengan jaman Nabi dan sahabatnya? Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali menawarkan jawaban: hukum itu bisa berubah disebabkan perubahan waktu, tempat, niat dan tradisi. Kalau begitu, tidak harus sama persis dengan praktek Nabi dan Sahabat yah?

Berbagai jawaban luar biasa dari ulama mazhab yang saya gambarkan di atas itu kalau jaman sekarang ini sudah dianggap menyesatkan atau dianggap Liberal dan bakal di-bully habis-habisan di medsos 🙂 Beruntunglah para ulama klasik itu, jaman mereka belum ada medsos.

Penggambaran singkat sejarah hukum Islam di atas menyiratkan beberapa hal penting:

Sejak awal al-Qur’an tidak turun pada ruang yang hampa. Al-Qur’an sangat akrab dengan keseharian Nabi dan umat. Sepeninggal Nabi dan semakin tersebarnya Islam ke penjuru dunia, para ulama terus mencoba menawarkan jawaban agar interaksi akrab antara Al-Qur’an dan Hadis dengan umat terus berlangsung. Para ulama sejak awal menyadari perlunya dalil tambahan untuk memahami al-Qur’an dan Hadis, baik berupa tradisi setempat maupun kemaslahatan. Itu semua hasil bacaan dan observasi para ulama masa lalu akan kondisi masyarakat yang berbeda-beda lokasinya.

Dengan kata lain, para ulama berpendapat bahwa sumber hukum sekunder seperti amal ahli madinah, istihsan, ‘urf (adat) dan mashalih mursalah itu juga diakui sebagai bagian dari dalil agama. Terakhir, dalil sekunder tersebut saat ini bisa dilengkapi dengan ilmu lainnya seperti antropologi, sosiologi, politik, atau ekonomi. Inilah cara kita membuat wahyu ilahi dan petunjuk Nabi untuk terus relevan dan tetap akrab dengan berbagai problematika keseharian yang kita hadapi.

Jadi, bukan sekedar “kembali” kepada al-Qur’an dan Hadis, tapi kita harus terus “maju” membangun peradaban umat dengan mengaplikasikan al-Qur’an dan Hadis pada konteks lokal yang berujung pada kemaslahatan bersama. Semoga!

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand