Dalam salah satu hadits sahih yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim Nabi pernah bersabda: “ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah.”
Ada sebagian orang yang saat ini melatih anaknya memanah dan berenang sebagai bentuk pengamalan dari perintah Nabi tersebut. Tentu ini bukanlah hal yang salah karena bunyi teks tersebut memang demikian. Tapi apakah ini tepat kalau dikaitkan dengan konteks kekinian, era milenial? Ini persoalan yg perlu pemikiran lebih lanjut.
Untuk bisa melaksanakan perintah Nabi secara kontekstual, perlu pemahaman terhadap konteks munculnya perintah, atau mengkaitkannya dengan hadits lain yang relevan. Karena dari sini akan terlihat maksud dan tujuan di balik perintah tersebut.
Hadits lain yang terkait dengan perintah ini adalah sabda Nabi yang diucapkan dari atas mimbar: “Persiapkanlah semua kekuatan yg kalian miliki. Ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu memanah” (HR. Muslim).
Hadits lain dari Ibn Umar, Nabi bersabda: “ajarilah anak-anak lelakimu berenang dan memanah, dan ajari menggunakan alat pemintal unt wanita” (HR. Baihaqy)
Dari sini dapat dilihat bahwa konteks perintah tersebut adalah membangun kekuatan berperang melalui penguasaan tehnik dan skill yang tinggi terhadap persenjataan dan peralatan perang. Pada zaman itu panah adalah senjatan andalan dalam pertempuran, kuda adalah peralatan perang yang paling utama dan renang adalah skill yang sangat dibutuhkan dalam perang fisik. Sedangkan penguasaan tehnik produksi tekstil dibutuhkan dalam perang ekonomi dan kebudayaan.
Pendeknya perintah tersebut merupakan antisipasi Nabi atas terjadinya perang fisik maupun ekonomi budaya. Dalam peperangan tersebut diperlukan kekuatan melalui kemampuan menggunakan senjata dan peralatan perang dengan skill tinggi. Baik senjata fisik (panah, berkuda dan berenang) maupun senjata ekonomi dan budaya (alat produksi).
Ketika persenjataan dan peralatan perang makin canggung, hadits ini akan kehilangan makna dan fungsi jika hanya dipahami secara tekstual. Kepandaian memanah dan berenang serta ketrampilan menunggang kuda tidak ada artinya ketika berhadapan dengan senjata canggih modern; AK-47, M16, M1 Garand, Staeyr AUG. Di laut ada kapal selam Kilo, kapal selam Delta yg memiliki 16 pelontar rudal balistik SS-N-18 Stingray dan berbagai jenis kapal Induk yg menguasai lautan. Belum lagi di darat dan udara ada Mirage, MiG, Lockheed Martin F-22 Raptor Air Superiority Fighter, tank, amphiby dan sebagainya. Semua senjata ini tidak bisa dihadapi hanya dengan ketrampilan memanah, berenang dan berkuda.
Jelas di sini perlu takwil dan tafsir baru terhadap hadits di atas agar tetap relevan dan sesuai dengan missi dan tujuan dari perintah yg ada di balik teks hadits tersebut.
Jika hadits tersebut dipahami dan diamalkan secara tekstual makan yg terjadi bukan mempersiapkan kekuatan perang yg kuat, tetapi justru mencetak atlit yang yg tangguh karena ketiga ketrampilan tersebut sekarang hanya jadi cabang olah raga bukan ketrampilan yang bisa meningkatkan kemampuan tempur modern.
Dalam perang fisik yang mengandalkan senjata canggih, hadits tersebut harus dipahami bahwa anak-anak kita harus dilatih mengenal dan memahami ilmu pengetahuan agar bisa menggunakan senjata dan peralatan perang modern yang bertehnologi canggih.
Sebaliknya, dalam perang kebudayaan dan ekonomi yg dikenal dengan istilah Proxy War, persenjataan perang tidak lagi berupa alat pembunuh seperti disebutkan di atas.
Dalam perang jenis ini senjata yang diperlukan adalah kecanggihan tehnologi informasi (TI) dan kemampuan membuat konten yang mampu mempengaruhi cara pandang, pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Ini artinya, dalam perang kebudayaan dan ekonomi yang diperlukan adalah kemampuan dan ketrampikan memanfaatkan TI.
Perang kebudayaan yg menggunakan kecanggihan TI ini sdh terjadi di Indonesia dan masuk di kalangan generasi milenial. Hal ini bisa dilihat dari data pengguna medsos di Indonesia, terutama FB, usia 13-29 th yg memcapai angka 61 juta user. Sedangkan jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2016 mencapai 132,7 juta, setara dengan 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Perang jenis ini jelas tidak memerlukan ketrampilan memanah, berenang dan berkuda. Ketajaman anak panah sudah digantikan oleh ketajaman kata yang bisa mempengaruhi pemikiran dan gaya hidup masyarakat.
Busur untuk melepaskan anak panah digantikan oleh peralatan TI yang bisa melepaskan berbagai isu untuk menggerakkan opini publik; smart phone, gatget, laltop dan sebagainya.
Dalam proxy war ini juga tidak diperlukan lagi kuda dan lautan tempat berenang karena perang jenis ini sudah melampaui ruang dan waktu.
Di kalangan generasi milenial, memanah harus ditakwil dengan kemampuan menggunakan IT dan membuat konten yang bisa mempengaruhi kesadaran dan pemikiran masyarakat sehingga bisa menggerakkan mereka sesuai kemauan sang “pemanah”.
Sedangkan latihan berenang harus dipahami dengan kemampuan literasi media yaitu kemampuan menyikapi informasi secara kritis.
Generasi milenial tidak lagi berenang di air atau gelombang laut, tetapi berenang dalam gelombang dan arus informasi. Jika mereka tidak memiliki ketrampilan berenang tingkat tinggi (kemampuan literasi media yg canggih) maka akan tenggelam dan hanyut oleh arus informasi. Demikian sebaliknya, mereka yang memiliki keterampilan literasi media akan bisa berenang, surving dan menyelam dengan baik di tengah pusaran arus informasi yang dahsyat tanpa takut hanyut atau tenggelam. Sedangkan berkuda di era melenial adalah ketrampilan menguasai dan mengendalikan TI.
Di tengah maraknya hoax, fitnah, ujaran kebencian dan caci maki, maka diperlukan generasi tangguh yang bisa melesakkan anak panah unt menebar kebaikan dan perdamaian. Generasi milenial perlu kemampuan yang bisa berburu berita hoax, memblokir conten fitnah yg merusak dan mengejar para penyebar kebencian yang merusak peradaban dan mengancam kemanusiaan, sebagaimana layaknya penunggang kuda berburu musuh.
Inilah takwil kemampuan memanah, berenang dan berkuda yang harus dukuasai oleh generasi milenial. Dengan keterampilan ini misi kebaikan agama akan bisa dipertahankan. Karena tak ada cara terbaik mempertahankan agama melebihi upaya mewujudkan kebaikan, kedamaian dan keadilan untuk semua manusia