Berebut Kuasa atas Masjid

Berebut Kuasa atas Masjid

Berebut Kuasa atas Masjid

Sekelompok ibu-ibu memasang muka kecewa. Dengan masih menenteng alat-alat rebana, mereka berjalan membelakangi masjid. Ketika bertemu dengan Haji Rohili (Fuad Idris), keluh kesah langsung mereka ungkapkan. Seketika itu, Haji Rohili langsung mangkat. Ia tak peduli hanya memakai kaos lusuh dan bawahan sarung. Dengan langkah panjang dan wajah bersungut-sungut, ia bergegas menuju masjid.

“Kami tidak membolehkan membaca Maulid di sini. Membaca Maulid itu bidah,” demikian kata si takmir setibanya Haji Rohili meminta keterangan. Haji Rohili kaget dan heran takmir masjid sudah berganti orang. Sepanjang hidupnya di kampung itu, baru sekali ia mendapati takmir melarang ini dan itu. Ibu-ibu di belakang Haji Rohili mulai ramai mencibir si takmir. Haji Rohili kemudian mendebat dengan berbagai dalil dan suaranya semakin meninggi. Bila saja azan asar tidak segera terbantun dari toa masjid, niscaya keributan bakal terjadi.

Ilustrasi di atas tergambar dalam film Bid’ah Cinta bikinan Nurman Hakim. Mengambil latar masyarakat kampung Betawi di Jakarta, film ini membingkai kehidupan masyarakat muslim Indonesia yang heterogen. Keberagaman itu, tidak dapat dimungkiri, menimbulkan dialektika tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dilaksanakan. Dialektika itu menjadi bungkus perjalanan asmara antara Khalida (Ayushita) dan Kamal (Dimas Aditya).

Bid’ah Cinta sejatinya adalah film tentang asmara. Tentang bagaimana lika-liku percintaan Khalida dan Kamal, Anda bisa nikmati sendiri selepas ini. Saya tak berniat untuk memberikan bocoran yang bisa saja mengurangi jumlah haru biru perasaan dan air mata Anda. Di samping kisah cinta itu, satu sisi yang tak kalah menarik dibahas dalam film ini adalah pergolakan golongan Islam kultural dan Islam murni yang berbeda dalam memaknai bidah.

Ustaz Jaiz (Alex Abbad) adalah sarjana lulusan Arab yang tengah mendirikan yayasan pendidikan Islam di kampung Kamal sekaligus menjadi guru mengaji Kamal dan keluarga. Ia yakin bahwa Islam seharusnya murni, tidak boleh tercampur dengan budaya. Suatu kali, ia mengungkapkan perasaannya tentang ritus-ritus bidah yang dilakoni masyarakat. Baginya, warga kampung telah menjadi ahlulbid’ah dan kudu dimurnikan kembali. Ritus-ritus bidah itu tidak boleh lagi dikerjakan, lebih-lebih di dalam masjid. Berangkat dari sana, ia berpesan kepada murid-murid barunya untuk menjadi takmir di masjid kampung.

Dari sini, keributan mulai terjadi. Hukum salatnya waria, pembacaan Maulid, penggunaan Doa Qunut di salat subuh, dan pelaksanaan acara malam Nisyfu Sa’ban jadi arena debat antara Haji Rohili dan murid-murid Ustaz Jaiz. Mulanya hanya obrolan baik-baik. Namun seiring waktu, adu jotos tidak terhindarkan di antara kedua kelompok tersebut.

Sebagaimana film romansa, tentu film ini tidak fokus mengakomodir setiap perbedaan khilafiah yang ada di masyarakat. Pun dengan masing-masing cara menanggapi dan mengelolanya. Namun demikian, gambaran yang disuguhkan Nurman Hakim bisa kita pahami sebagai salah satu tawaran bagaimana seharusnya perbedaan-perbedaan itu dikelola.

Bid’ah Cinta menjadi fiksi yang secara jujur memberikan ilustrasi perbedaan fikih masyarakat Indonesia. Film ini tak malu-malu mengatakan: menjadi takmir masjid adalah posisi yang politis. Takmir adalah posisi yang, sampai taraf tertentu, punya kewenangan menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan masyarakat di masjid.

Kejadian ini tak jauh beda ketika beberapa waktu lalu, terjadi polemik penyalatan jenazah di beberapa masjid ibukota. Beberapa masjid tidak boleh digunakan untuk menyalatkan jenazah warga yang mendukung calon pemimpin non muslim. Aturan ini dikeluarkan bukan atas nama ulama setempat ataupun MUI, melainkan oleh takmir. Sampai-sampai muncul kejadian ada takmir yang “dipecat” karena tidak sepakat dengan aturan itu.

Bagi mereka, memilih pemimpin nonmuslim adalah tindakan orang-orang munafik. Kontestasi pilkada membakar semangat mereka untuk memasang baliho-baliho di masjid masing-masing. Sontak, tindakan itu menuai banyak komentar termasuk Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin. Ia berkomentar: “Satu kampung berdosa jika tak ada yang salatkan jenazah.”

Menghadirkan Cinta dalam (Ber)agama

“Kita selalu saja berbicara tentang agama dan agama, tapi luput menggunakan cinta,” dengan suara tinggi, Kamal sudah siap pergi dari rumah. Ia terjebak dalam perdebatan dengan ayahnya setelah mengetahui adanya adu jotos antara jamaah Haji Rohili dan murid-murid Ustaz Jaiz. Alasan Kamal minggat: sang ayah membenarkan adu jotos demi menegakkan akidah.

Cinta yang sedang dibicarakan Kamal bukan saja merujuk perasaannya kepada Khalida. Lebih dari itu, ia tengah melihat bagaimana kebiasaan masyarakat seharusnya tidak boleh dipandang dengan muka garang akidah-akidah keagamaan.

Dialog Kamal tersebut seakan membenarkan narasi Naimatur Rofiqoh dalam esainya yang berjudul “Pergolakan Cinta dalam Kehidupan Keberagama(a)n” dalam buku Me-Wahib, Memahami Toleransi, Identitas, dan Cinta di Tengah Keberagaman. Rofiqoh mengutip Soroush yang mengatakan bahwa iman dan cinta berasal dari biji yang sama.

“Maka wajarlah kita melihat seorang yang beriman seperti seorang pencinta: kita melihat betapa wajah-wajah itu syahdu dalam ritual keagamaannya karena kecintaan mereka pada apa yang mereka imani,” lanjut Rofiqoh.

Mendengar hal itu dari anaknya, ayah Kamal bergeming. Keimanan dia tengah bergejolak. Bersamaan dengan itu, ia berpikir untuk bernegosiasi dengan Ustaz Jaiz untuk tidak menyuruh lagi murid-muridnya melarang-larang kegiatan masyarakat di masjid. Pun dengan mengooptasi posisi-posisi takmir.

Mungkin sebagian dari Anda tak akan menangis maupun haru karena humornya yang picisan. Namun demikian, setidaknya film ini sudah cukup berani menyuguhkan tema yang sensitif. Satu pandangan lain yang bisa didapat dari film ini: puritan tak pandang golongan. Golongan Islam kultural maupun Islam murni, ketika saling sikut beradu benar, niscaya selalu menghadirkan bibit intoleransi.

Aziz Dharma. Penulis adalah penggiat di Islami.co Institute dan Gusdurian Jogja.