Bercermin dari Tahun 2020: Menyambut Kebudayaan Baru yang Tidak Mudah

Bercermin dari Tahun 2020: Menyambut Kebudayaan Baru yang Tidak Mudah

Bercermin dari Tahun 2020: Menyambut Kebudayaan Baru yang Tidak Mudah

Alvara Research Center baru saja merilis Catatan Akhir Tahun 2020. Ada tiga hal yang diulas: ekonomi bisnis, anak muda, dan polarisasi. Berikut adalah uraian yang telah penulis bubuhi dengan beberapa detail tambahan.

Ekonomi & Bisnis

Pandemi covid telah menurunkan ekonomi Indonesia, yang mulanya 5.02 di triwulan III 2019, menjadi -5,32 di triwulan II 2020. Maret hingga Mei 2020 adalah periode bagi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bisnis, usaha-usaha, dan distribusi logistik menjadi sektor yang paling terdampak. Daerah-daerah pusat produksi seperti JABODETABEK, Banten, Jawa Barat, dan beberapa kota industri di Jawa Tengah dan Timur mengalami kenaikan pengangguran yang signifikan dibanding daerah lain karena tingginya intensitas sektor pekerjaan yang rentan terdampak.

Bias kelas jelas mewarnai dampak PSBB terhadap ketenagakerjaan. Mereka yang menjalankan work-from-home (WFH), sebagian besar, adalah pekerja formal yang memiliki jaminan kesejahteraan (ekonomi, sosial, kesehatan) yang memadai. Mereka umumnya berasal dari sektor-sektor perkantoran, bisnis manajerial, akademik, administratif dan sejenisnya.

Sementara mereka yang terikat pada ruang-ruang kerja seperti retoran, retail, becak, pabrik, lapak kaki lima, dan sejenisnya tidak dapat digantikan oleh WFH. Dengan kata lain, pertama, WFH adalah privilese khusus bagi kelas menengah atas. Kedua, mereka yang bekerja pada sektor informal dan sektor upah harian adalah matir bagi keberlangsungan tata sosial-ekonomi kapitalistik dengan mempertaruhkan diri pada resiko terpapar virus di setiap nafas kerjanya.

Sebuah prediksi memperkirakan, bahwa pada skenario terbaik, dampak pandemi terhadap ekonomi akan mendongkrak persentase kemiskinan, dari 9.2% di September 2019, menjadi 9.7% di akhir tahun 2020. Selisih 0.6% tersebut akan menyumbang 1.3 juta orang miskin baru. Sedangkan pada skenario terburuk, persentase kemiskinan dapat menyentuh angka 16.7%, atau senilai 19.7 juta orang miskin baru. Skenario manapun yang terjadi, keduanya sama-sama punya dampak laten yang tidak bisa diselesaikan lewat sulap politik.

Pertama, dampak laten terhadap struktur ekonomi. Pengangguran berkepanjangan yang melanda sektor non-formal dapat menular ke sektor formal, dan menyebabkan kerusakan terhadap struktur ekonomi. 10.000 buruh yang nganggur jelas akan menjadi beban karir bagi seorang manager perusahaan. Ada dua pilihan dilematis bagi krisis ini: merestorasi lapangan kerja sebagaimana adanya, atau merombak arah lapangan kerja dengan persyaratan kompetensi dan latar pendidikan yang lebih tinggi.

Opsi pertama mungkin akan menarik kembali tenaga kerja yang terumahkan (meski sepertinya tenaga kerja perempuan tetap memiliki peluang kembali yang lebih sempit dibanding laki-laki), namun perusahaan butuh mengeluarkan energi ekstra, baik finansial ataupun bukan, untuk memulainya. Sementara itu, opsi yang kedua mungkin akan mengembalikan perusahaan pada rutinitas produksi yang lebih efektif, namun opsi ini akan mengeliminasi pekerja berkeahlian rendah (low-skilled worker) secara massal.

Kedua, dampak laten terhadap pendidikan. Anak-anak yang hidup di bawah naungan orang tua yang bekerja di sektor non-formal terancam mengalami penundaan masa, atau bahkan putus sekolah. Rantai ekonomi yang mencekik pendidikan dapat menyebabkan bahaya bagi sumber daya manusia di masa depan. Kemiskinan tidak hanya membunuh pendidikan anak, tapi juga membunuh masa depan negara.

Di samping kemiskinan, pandemi juga turut mempertajam kesenjangan ekonomi. Di JABODETABEK misalnya, aktivitas belanja online mengalami peningkatan dari 4.7% menjadi 28.9 persen. Menurut Catatan Akhir Tahun 2020 Alvara, peningkatan ini berkorelasi erat dengan mewabahnya tren e-commerce dan e-payment. Namun lagi-lagi, menurut hemat penulis, terjadi bias kelas: pengguna dua fasilitas itu berasal dari kelompok kelas menengah atas yang pekerjaannya minim atau bahkan tidak terdampak sama sekali. Artinya, mereka yang miskin semakin miskin. Sedangkan kalangan kelas menengah dan atas menikmati diskon-diskon yang disediakan pelaku usaha selama pandemi, sehingga membuka kepemilikan kapital yang lebih luas bagi mereka.

Di Amerika, meski dihantam gelombang pandemi yang memporak-porandakan ekonomi dan ketenagakerjaan hingga mengungkap ketimpangan rasial, namun anehnya terjadi sebuah tren peningkatan pembelian rumah. Setelah diungkap, ternyata para pembeli rumah itu rata-rata berasal dari kalangan menengah atas yang pundi penghasilannya tidak terdampak. Dan mereka cenderung memilih untuk membeli rumah yang ada di kawasan luang penduduk. Ini terjadi karena ada anggapan bahwa kota padat penduduk adalah tempat yang tidak aman. Penulis belum tau apakah pola serupa juga terjadi di Indonesia. Namun, perlu untuk ditelusuri lebih jauh, baik pada komoditas yang sama ataupun berbeda.

Anak Muda

Di tahun 2020, BPS mencatat setidaknya ada 273.9 juta penduduk di Indonesia. 29.23% diantaranya adalah Gen Z (kelahiran 1998-2009) dan 62.98% lainnya adalah Millennial (kelahiran 1981-1997). Dengan kata lain, ada 80 juta jiwa Gen Z dan 92 juta jiwa Millennial. Jika dijumlah, maka ada sekitar 172 juta jiwa anak muda di Indonesia. Ada tiga masalah utama yang membelit anak muda:

Pertama, pendidikan. Tingkat partisipasi pendidikan bagi anak muda cenderung rendah bahkan sejak sebelum pandemi (BPS 2019). Beragam hal yang pandemi bawa, seperti inefektifitas belajar daring dan putus sekolah turut mewarnai suasana pendidikan anak muda. Perbedaan kualitas sekolah/kampus antar daerah dan dikotomi kurikulum global-lokal juga menjadi tantangan tersendiri bagi anak muda dalam merajut masa depannya―di samping masih minimnya etos kemandirian belajar.

Kedua, teknofilia. Kecintaan terhadap teknologi tidak hanya mendorong terjadinya kecanduan gawai dan internet, tapi juga melemahkan kemampuan fokus secara bekesinambungan dan memperpendek renungan visioner terhadap masa depan karena tersibukkan oleh lalu-lalang informasi dalam frekwensi yang padat. Resikonya, teknofilia punya peluang besar untuk menjadi paradigma dominan dalam memandang segala aspek kehidupan. Perubahan paradigma ini akan semakin berdampak ketika teknofil hari ini menjadi pembuat kebijakan di masa depan.

Ketiga, masalah struktural. Anak muda adalah subjek bagi bonus demografi yang rencana awalnya disambut melalui digitalisasi, baik wadah pekerjaannya ataupun corak ekonomi yang melingkupi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, trajektori ini sepertinya belum menjanjikan sebab masih minimnya talenta digital dan masih tingginya anak muda yang mengalir pada sektor industri konvensional ataupun pekerjaan lain yang sekedar memberikan penghidupan pas-pasan.

Situasi itu jelas sangat membebani anak muda dalam bayak hal, seperti menggapai rumah yang harganya semakin tak tergapai; mendapat kesehatan jasmani ketika disihir fleksibilitas ruang dan waktu kerja oleh kapitalisme digital; membangun rumah tangga yang stabil saat pilar penopang lain seperti stabilitas ekonomi, politik, psikologi dan sosial semakin tak pasti. Jadi, sampai sejauh ini, ide tentang bonus demografi, sangat dipertanyakan―mengingat juga diperburuk oleh pandemi.

Polarisasi

Benih polarisasi sebenarnya sudah lama terpendam sejak runtuhnya Orde Baru. Sejak itu, Islamisme dan nasionalisme menjadi dua klaster ideologi dengan bargain yang sangat kompetitif. Benih ini kemudian mendapat momentumnya saat kasus Ahok 2016 silam, dan terus memuncak hingga pilpres 2019. Benih polarisasi dipersubur dengan berbagai macam faktor lain seperti: rendahnya tingkat literasi di Indonesia; dominannya konten agama yang memuat soal kesalehan, keimanan, dan moralitas;  dan penggunaan propaganda komputasi oleh kekuatan politik dalam memainkan Islamisme dan nasionalisme.

Dampaknya tidak hanya memperbanyak reproduksi penganut konservatisme. Tapi juga membuat istilah ‘nasionalisme’ itu sendiri semakin rawan untuk ditafsir sekehendak kepentingan. Ada dua titik puncak yang mungkin dapat muncul di masa depan bila polarisasi ini tidak tangani secara optimal: pertama, perpecahan (atau bahkan perang sipil). Kedua, bila salah satu kubu mendapat momentum yang lebih besar dibanding kasus Ahok 2016 kemarin, ada resiko terjadinya disorientasi nasional.

Di kehidupan sehari-hari, polarisasi melanggengkan cara pandang partisan, sehingga ketika dihadapkan pada suatu realita pahit maka akan muncul dua kepercayaan yang berbeda. Islamisme mengarahkan penganutnya pada kacamata tautologis yang kurang luwes dalam melakukan analisa permasalahan hidup. Sedangkan, loyalitas penganut nasionalisme punya kerentanan untuk berubah menjadi chauvinistik, atau bahkan dimanfaatkan oleh kepentingan oligarki.

Catatan dari Penulis

Yang terpenting dari situasi krisis ini adalah, bagaimana mengantarkan 172 anak muda ke masa depan yang lebih baik dengan selamat, meski situasi kehidupan dan payung kebijakan saat ini terlalu pendek dan sangat meragukan untuk diandalkan.

Di Indonesia, ada tendensi yang cukup terasa bahwa setiap permasalahan dapat diteknikalisasi. Akarnya berasal dari kepercayaan bahwa teknologi adalah indikator kemajuan ilmu pengetahuan dan simbol kemajuan bangsa. Ini benar, namun terlalu reduktif. Dampaknya, kemajuan di bidang ilmu sosial (seperti critical thinking, scientific attitude, dan budaya ilmiah) tidak mendapat apresiasi sebagai simbol kemajuan bangsa, meski ketidak-hadirannya dalam proses politik, pendidikan dan keagamaan jelas telah membawa katastrofi yang tak dapat sangkal mata dan tidak murah.

Saat dihadapkan pada peristiwa luar biasa seperti pandemi, retorika tentang penemuan dan kecanggihan alat (vaksin dan sejenisnya) dibingkai menjadi bahtera bagi semua permasalahan, meski pada kenyataanya tidak demikian. Dan, kenestapaan yang menelan banyak biaya (materi ataupun nyawa) yang melanda Indonesia hari ini adalah karena absennya hal-hal sederhana seperti scientific attitude dalam mengidentifikasi masalah dan memprioritaskan tujuan. Situasi krisis akhirnya melahirkan bias-bias kognitif (new normal, optimisme toksik, dan sejenisnya) sehingga menarik manusia semakin jauh dari realita yang harus ia tangani. Hasilnya, konsekuensi yang seharusnya tidak perlu terjadi, terjadi.

Cara hidup dan struktur sosial-politik yang seperti ini jelas sangat berbahaya kalau terwariskan ke 172 juta anak muda. Sejauh apa pewarisan ini mungkin terjadi? Tergantung bagaimana konservatisme dan teknofilia hari ini ditangani agar tidak menjadi paradigma dominan. Tahun baru sering kali menjadi rumah bagi harapan baru, meski tidak selalu memuat perbaikan perilaku. Kemana kita akan pergi?