Berbisnis dengan Allah

Berbisnis dengan Allah

Berbisnis memang punya banyak risiko, tapi juga jangan lupakan Allah, ia pasti akan menolongmu

Berbisnis dengan Allah
Ilustrasi: www.triptrus.com

Berbisnis pasti berpartner. Semua mitra bisnis karenanya harus diperlakukan dengan baik. Secara komitmen profesional dan juga etik. Jalannya lalu akan baik.

Semua mitra bisnis jelas punya kepentingan. Paling jelas adalah kepentingan untung. Karena tabiat dasar ini, sangat memungkinkan kita suatu kali mengalami kekecewaan sebab terlampau dominannya faktor tersebut.

Mencari mitra bisnis yang tak pernah mengecewakan dan selalu memberikan kita keuntungan jelas susah. Tapi bukannya tak ada.

Yakni, berbisnis dengan Allah. Bermitra dengam Allah. Karena Allah tak pernah punya kepentingan apa pun pada kita, otomatis Allah tak pernah mengecewakan kita.

Di al-Qur’an, poin-poin utama berbisnis dengannya terwakilkan dari kandungan ayat-ayat ini:

Pertama, Allah lah pemilik segala karunia dan diberikanNya kepada siapa pun dari hambaNya yang dikehendakiNya. Kemutlakan karunia ada di tanganNya.

Kedua, siapa yang memberikan pinjaman yang baik kepada Allah, dijanjikan olehNya akan dibalas denhan perluasan karunia yang banyak. Siapa yang memberikan yang terbaik (mimma tuhibbun), dijanjikanNya akan dibalas dengan luar biasa, bahkan tak terbatas.

Ketiga, siapa yang bersyukur akan sungguh ditambahkanNya terus menerus. Bersyukur tiada lain ialah mengarahkan dan mengerahkan semua karuniaNya hanya kepada menjadi lebih dekat padaNya dan jauh dari bermaksiat padaNya dan RasulNya.

Keempat, berjuang (jahadu) keras dan bersabar (shabaru) keras sebagi syarat bagi diberikanNya “surgaNya”. “Keras” tersebut ialah semakin tak terbatasnya apa yang kita bayangkan sebagai batas-batasnya. Bayangan batas-batas itu sudah pastilah hanya belenggu hawa nafsu kita.

Begitu. Ya, begitu. Dengan makin tegaknya pilar-pilar berbisnis dengan Allah itu, takkan pernah ada kekecewaan lagi pada diri kita. Semua yang hadir, terjadi, merupakan karuniaNya semata. Dari yang begini begitu sampai yang otak kita tak sanggup menyangkanya (min haitsu la yahtasib).

Kerap saya melamunkan nasihat Imam Sufyan as-Tsauri dalam Hilyatul Auliya’: “Air mata takut pada Allah lebih mulia daripada sedekah dengan segunung emas….”

Ya ya, kapan terakhir kali saya menangis karena takut sama Allah = kapankah saya mampu mensedekahkan segunung emas?

Suatu sore, seseorang meminta bantuam saya. Kapan terakhir kali saya kokoh menyebutnya dalam hati sebagai “utusan Allah” untuk mengajak saya berbisnis denganNya, bukannya cemas saldo berkurang atau mengklaimnya orng berniat buruk pada kita?

Bagaimana kalau dia adalah malaikat yang menyamar?

Ibrahim As didatangi Jibril yang menyamar suatu kali.

“Banyak sekali ternakmu,” kata Jibril.

“Iya, banyak titipanNya ini,” sahut Ibrahim As.

“Bagaimana kalau aku minta separuhnya?”

“Jangankan separuh, semuanya juga boleh untuk jalan Allah,” pungkas Ibrahim As.

Allah sebagai pemegang tunggal segala karunia, semua adalah milikNya, termasuk diri kita, sudah demikian itu, Dia jugalah yang menawarkan “membeli jiwa dan harta” kita dengan jaminan surgaNya (pahami: surga dunia dan akhirat), bukankah ini perniagaan yang tak masuk akal dari sisi keuntungan-keuntungan yang dihamparkanNya pada kita?

Tetapi, memang, yang sanggup berbinis dengan Allah hanyalah sang mukmin. Ia adalah orang yang tiada lagi rasa takut dan sedih dalam hidupnya, la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun.

Jangankan harta, atau pun keluarga, bahkan diri ini adalah mutlak milikNya semata, lillahi ma fis samawati wal ardhi.

Angka-angka, apa itu?