Pagi yang hening, angin musim dingin berhembus lirih. Jalanan masih basah ketika saya berangkat menuju London. Langit masih agak gelap disertai udara dingin yang menyergap, membuat saya harus bergegas, bersiap menuju halte bus dari halte University of Southampton. Saya memilih naik bus dari Southampton ke London, daripada mengemudi mobil sendirian. Lebih nyaman, juga bisa memanfaatkan waktu untuk membaca beberapa laporan.
Saya tiba di Victoria Coach Station, tepat tengah hari. Langit London masih mendung, udara lembab, jalanan basah dari rintik air hujan. Seharusnya ini sudah masuk Spring, musim semi, tapi angin kencang dan hujan masih sesekali menyapa. Orang-orang berjalanan di sepanjang Victoria Street dengan jaket tebal.
Dari Victoria Coach Station, saya menuju Victoria Central Station. Jaraknya hanya selemparan batu, tapi harus menyeberang perempatan super padat di depan stasiun. Saya mengecek jadwal kereta sebelum memutuskan naik bus atau subway, kereta bawah tanah di London yang terkenal itu. Dari informasi di ponsel, saya memutuskan naik subway, kereta underground yang tiap hari menembus tanah di London. Ini kereta keren yang beroperasi puluhan dekade, yang dipadati puluhan juta orang tiap hari, menghubungkan antar zona di London.
Dari Victoria Station, saya mengambil lorong menuju Victoria Lane, yang menyambung ke Euston station. Hanya butuh 10 menit untuk sampai ke stasiun pemberhentian, yang kemudian bersambung ke kereta berikutnya menuju Old Street station. Dari stasiun ini, saya kemudian berjalan kaki sekitar 0,3 mile, menuju kantor Amnesty International, tempat berlangsungnya agenda British Islam Conference.
Di konferensi ini, saya ingin bertemu dengan Prof. Ebrahim Moosa, Dr. Peter Vandeville, Mbak Alissa Wahid, Mas Ihsan Ali Fauzi, juga Pak Moazzam Malik. Prof Ebrahim Moosa merupakan intelektual muslim terkemuka, ia punya beberapa murid di Indonesia. Karyanya tersebar di pelbagai jurnal dan penerbitan internasional. Ia juga ahli tentang al-Ghazali, serta sangat perhatian pada perkembangan dunia muslim. Sedangkan, Dr. Peter Vandeville merupakan ahli tentang politik Islam di kawasan Timur Tengah, ia juga mulai riset tentang populisme Islam, yang mana Indonesia termasuk bagian dari kawasan risetnya.
Dua hari sebelumnya, Mbak Alissa mengontak saya mengabari bahwa beliau datang ke London, diundang Pak Moazzam Malik untuk berbagi tentang Islam Indonesia. Sekalian saya kontak beberapa teman-teman yang bermukim di London.
Setelah seharian ikut conference, saya mengantar Mbak Alissa ke beberapa lokasi di Oxford Street, London. Mbak Alissa ingin membeli beberapa souvenir, serta pengen menyisir kawasan Oxford Street. Ini kawasan ramai di London, pusat perbelanjaan dan restauran. Apalagi ini malam minggu, ramai sekali dengan pemuda-pemuda Londin.
Setelah seharian mengikuti beberapa sesi konferensi tentang perkembangan Islam, komunitas muslim, dan tantangan masa depan muslim di pelbagai penjuru dunia menjadikan kepala saya penuh. Penuh dengan banyak hal: tantangan, ketidakadilan, ketimpangan, juga harapan-harapan baru. Agak penat tapi bersemangat.
Saya mendengarkan paparan Pak Moazzam Malik di sesi panel beliau. Pak Moazzam berkisah tentang bagaimana pandangannya terhadap Islam Indonesia, kondisi arus muslim moderat, juga tantangan-tantangan yang terjadi. Ia membandingkan dengan apa yang diketahuinya, dengan basis pengamalan sebagai Duta Besar United Kingdom di Indonesia. Juga, pengalamannya di beberapa negara Eropa, Malaysia dan Pakistan.
Ada banyak sisi menarik dari lontaran Pak Moazam. Misalnya tentang bagaimana Islam Indonesia menjadi kekuatan besar karena nilai-nilai budaya, kebebasan berpikir, dan kekuatan organisasi sipil-keagamaan. NU dan Muhammadiyah menjadi contoh nyata gerakan muslim Indonesia.
Nah, sehabis ikut panel di conference, saya menemani Mbak Alissa cari angin. Bersama Mas Ihsan Ali Fauzi (Direktur Pusad Paramadina) Mas Heri (peneliti tamu di SOAS London), kami melipir dari Old Street ke Oxford Street. Naik subway melewati Euston station, lalu pindah ke arah Oxford Street.
Di kawasan Oxford Street, mas Ihsan Ali Fauzi ngajak ngopi sambil menuntaskan obrolan. “Ayo ngopi dulu. Cari yang anget-anget,” katanya.
Udara London cukup dingin, meski angin tidak terlalu kencang dan suhu stabil. Tapi dingin tetap terasa menusuk. Mampirlah kami di Costa, warung kopi seperguruan sama Setarbak lah kira-kira.
Habis ngopi, kami menunggu Pak Moazzam Malik. Mbak Alissa dan Mas Ihsan memang diundang Dinner oleh Pak Moazzam Malik. Saya bersama Mas Heri, kecipratan berkahnya. Ikut digandeng dinner bareng Pak Moazzam Malik. “Wah kebetulan yang dibenarkan,” batinku.
Pak Moazzam datang bersama istri beliau dan seorang koleganya. Dengan keramahan yang khas, Pak Moazzam mengajak kami berbincang beberapa hal tentang London. Lalu, kami masuk ke sebuah restoran di pinggiran Oxford Street, semacam pujasera dengan makanan halal.
What a night. Sebuah malam yang berkah. Pak Moazzam Malik tidak hanya mengajak menyantap makanan yang lezat, tapi beliau bercerita panjang tentang bagaimana kondisi muslim di Inggris, tantangannya, juga peran pemerintah.
Di sisi lain, Pak Moazzam juga mengenang Gus Dur, beliau ingin mendengar lebih banyak cerita dari Mbak Alissa tentang sosok Gus Dur sekaligus bagaimana gerakan jangka panjang Gerakan GusDurian, NU dan Muhammadiyah.
“Jangan menganggap kecil apa yang bisa kami pelajari dari muslim Indonesia,” begitu ungkap Pak Moazzam. Ia mengulas bagaimana muslim dunia juga harus belajar dari apa yang telah dilakukan muslim Indonesia, meski dengan pelbagai tantangan yang kini dihadapi.
Pak Moazzam punya perhatian yang besar terhadap generasi muda muslim Indonesia, khususnya kelompok moderat dari NU dan Muhammadiyah. Ia bilang sudah seharusnya generasi muda muda Islam moderat berani berbicara di level internasional agar dunia mengetahui lebih dalam tentang dinamika Islam Indonesia. Moazzam Malik juga berpesan agar generasi muda islam inibharus terus belajar, terus mengupdate pengetahuan dan wawasan, seraya membangun jejaring global. Ia berpesan demikian, karena cinta dengan Indonesia. Dan, Moazzam Malik menaruh harapan besar pada generasi muda Islam yang moderat.
Di sisi lain, Moazzam Malik memuji gerakan Gusdurian sebagai gerakan nyata yang membangkitkan generasi muda Indonesia.
“Bagi saya, yang menarik dari gerakan Gusdurian adalah bagaimana mereka bergerak di ranah digital sekaligus punya gerakan berpengaruh di wilayah publik yang menyentuh kehidupan masyarakat secara luas. Ini hal yang penting,” ungkapnya.
Kami ngobrol panjang lebar tentang berbagai gerakan Islam, tantangan sekaligus peluang kerjasama yang memungkinkan dikreasi pada masa-masa mendatang. Dari meja makan itu, saya belajar banyak dari Pak Moazzam Malik. Perbincangan kami diakhiri oleh malam yang telah mulai larut, udara dingin London menyergap kami ketika keluar dari restauran. Tapi, hati saya hangat, kami tersenyum dan saling bersalaman seraya membuat janji untuk ketemu di masa mendatang. Membangun tahapan-tahapan yang lebih kongkret untuk aksi nyata masa mendatang.
Berkah melimpah (*).