Dalam kitab I’anah al-Thalibin dijumpai keterangan bahwa ditengah mengerjakan wudlu disunnahkan untuk tidak berbicara tanpa ada keperluan. Jika terdapat keperluan mendesak, berbicara malah bisa berubah menjadi wajib.
Misalnya dalam berwudhu kita melihat orang buta berjalan sendirian, padahal di depannya terdapat lubang yang membahayakan dirinya. Dalam kondisi seperti itu tentu kita wajib bicara seraya berteriak memberikan peringatan kepadanya.
Menyelamatkan orang buta jelas lebih diutamakan daripada memenuhi anjuran untuk diam saat mengerjakan wudlu. Anjuran wudlu tersebut sangatlah beralasan. Bagaimanapun wudlu merupakan ibadah yang sedapat mungkin kita laksanakan dengan kekhusu’an dan konsentrasi agar terlaksana sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan syariat sebagaimana terumus dalam kitab-kitab fiqh.
Sebagaimana dimaklumi membasuh kaki, tangan, dan muka harus betul-betul merata. jangan sampai ada bagian yang tidak tersentuh air, karena termasuk perbuatan dosa. Melakukan aktivitas tersebut tentu membutuhkan ketenangan dan kehati-hatian dan konsentrasi secukupnya.
Dari keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan, berbicara saat berwudlu, meski kurang layak, tidak sampai membatalkan. Lain halnya dengan shalat, berbicara pada saat mengerjakannya (shalat) bisa membatalkan.
Sumber: Dialog Problematika Umat, Khalista, Surabaya 2011