Berat Sekali Rasanya Berkata, Maafkan Ayah-Ibu, Saya Enggak Mudik Kali Ini

Berat Sekali Rasanya Berkata, Maafkan Ayah-Ibu, Saya Enggak Mudik Kali Ini

Maafkan, Ayah-Ibu, Saya Tidak Mudik Tahun Ini

Berat Sekali Rasanya Berkata, Maafkan Ayah-Ibu, Saya Enggak Mudik Kali Ini

Ia bernama Fitri dan sudah lebih dari 325 hari lamanya ia tidak memeluk ibunya secara langsung. Ia berencana tahun ini akan mudik bersama anaknya yang baru berumur dua tahun memakai mobil dan akan disupiri oleh suaminya. Dalam perjalanan, rencananya, ia akan mampir di beberapa saudaranya di kota-kota yang ia lewati ketika mudik nantinya. Covid-19 meruntuhkan segala mimpinya untuk sejenak.

Ia jengkel sekali, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Padahal, ia sudah menyiapkan segala protokoler yang mungkin ia harus lakukan ketika sampai di rumah, termasuk sudah menghubungi pihak pemerintahan desa ketika nantinya harus isolasi mandiri usai sampai di rumah ibunya. Apalagi, beberapa waktu lalu,  pemerintah masih tarik-ulur terkait kebijakan pelarangan mudik ini dan cenderung membiarkan saja mereka yang hendak mudik.

Lagi-lagi, pemerintah hanya membuat imbauan belaka, tanpa larangan.  Dan kautahu, pastinya di negeri ini, imbauan belaka hanya akan menjadi angin lalu. Coba saja saat ini kau keliling di jalan-jalan kecil di Jakarta dan akan dengan sangat gampang sekali menemukan fakta kecil, imbauan #SocialDistancing di beberapa tempat tidak begitu dipusingkan dan masih beraktivitas seperti biasanya—meskipun harus diakui sedikit berkurang.

Ada satu fakta menarik dan ini pengalaman pribadi. Di beberapa tempat kebijakan rasa-rasanya tidak ada. Di beberapa jalanan yang saya temukan adalah,  beberapa oknum warga justru tampak kucing-kucingan dengan petugas kelurahan maupun polsek yang melarang acara kumpul-kumpul itu dan saban hari harus teriak-teriak mengigatkan warga betapa berbahayanya virus ini, betapa berbahanya jika terus memelihara kebodohan ini.

Itu bisa jadi fakta-fakta kecil di jalanan-jalanan sempit area Jakarta yang saya beberapa kali saya lewati ketika terpaksa harus berbelanja keluar rumah atau sesekali menemui mertua saya di Jakarta Timur. Sekali lagi, tanpa ketegasan dan mungkin hukuman, bisa jadi imbauan pemerintah soal #SocialDistancing maupun PSBB—yang namanya saja begitu aneh untuk sebuah kampanye—hanya jadi pepesan kosong dan itu menyedihkan sekali di tengah wabah yang entah sampai kapan akan berhenti ini.

Tentu saja pengalaman ini tidak semuanya terjadi di Jakarta. Banyak kok tempat yang benar-benar ‘kosong’ dan menerapkan prinsip-perinsip penting pencegahan wabah ini di kawasannya. Bahkan, banyak sekali menerapkan #Lockdown wilayah dan membuat lumbung pangan bersama, serta penjagaan yang ketat.

Meski begitu, banyak juga yang galau dan ingin mudik. Paling tidak bertemu denga kelurga dicinta dan menjaga mereka dari dekat. Tapi segalanya berantakan bagi banyak orang, termasuk segala rencana terkait mudik. Presiden Jokowi akhirnya secara resmi melarang mudik dan secara keras menyatakan, jika keputusan ini dilanggar, bakal ada hukuman serius. Termasuk penahanan dan denda hingga ratusan juta rupiah. Semuanya atas nama penekanan wabah biar tidak sampai di kampung yang kita cintai.

“Mau bagaimana lagi. Mungkin ini yang terbaik bagi kita semua di tengah wabah ini dan udah minta maaf ke ibuk nggak bisa pulang, ” ketik Fitri dalam pesannya.

Ya, saya tahu, itu kata pasti berat buat Fitri, berat untuk kita  semua.