Mengonsumsi pangan yang halal dan thayyib merupakan keharusan yang melekat bagi setiap Muslim. Berlandaskan pada berbagai dalil, baik dari Al-Qur’an maupun hadis dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perkara yang diharamkan untuk dikonsumsi lebih sedikit jumlahnya daripada perkara yang halal untuk dikonsumsi.
Hal ini sebagaimana penjelasan Wahbah al-Zuhaili dalam al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tahbiqatiha fi al-Madzahib al-Arba’ah bahwa,
ان الله تعالى اباح اشياء كثيرة, وحرم بعض الاشياء
Sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan banyak hal, dan mengharamkan (hanya) sebagian perkara.
Termasuk di antara yang diharamkan adalah khamr. Keharaman dari khamar secara eksplisit disebutkan didalam nash, meskipun dalam sejarahnya dalil tentang keharaman khamar turun secara berangsur-angsur. Kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi membawa berbagai macam jenis khamr “baru” dengan segala derivasinya. Batasan syariat dalam pelarangan khamr ini berlandaskan pada illat atau alasan hukumnya yaitu memabukkan. Hal ini ditendensikan pada hadis Nabi Muhammad SAW berikut,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ, وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدمِنُهَا لَمْ يَتُبْ, لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْاَخِرَةِ رواه مسلم
Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap dari khamar adalah haram. Barang siapa yang meminum khamar didunia kemudian ia meninggal dan belum bertaubat maka ia tidak akan meminumnya (khamar) di akhirat (kelak).
Tendensi keharaman khamar dengan adanya illat memabukkan tersebut, kemudian memunculkan persoalan manakala penggunaannya amat sedikit. Hal ini kemudian ditepis oleh nash hadis sebagai berikut,
مَا اَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ (رواه الترمذي)
Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun (juga) haram.
Pemaknaan kata khamar dalam Bahasa Indonesia seringkali tertuju pada alkohol. Sehingga banyak persepsi yang menjadi bias dan berakibat pada kesimpulan penarikan hukum. Secara etimologi, cakupan khamar lebih luas daripada alkohol. Khamar digunakan untuk menyebut segala yang memabukkan baik yang mengandung alkohol maupun tidak, dan berasal dari jenis buah apapun.
Khamar dan alkohol sesungguhnya merupakan dua hal yang berbeda sehingga memiliki perbedaan pula dalam status hukum penggunannya. Alkohol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Alkohol berupa cairan tanpa warna dengan aroma khas dan sifatnya mudah menguap dan terbakar. Alkohol biasa dijumpai dalam minuman keras dengan jenis ethyl alcohol atau juga disebut dengan etanol dengan rumus kimia C2H5OH.
Alkohol banyak digunakan dalam industri makanan dan lainnya, maka status halal dari alkohol yang digunakan perlu dijadikan sebagai kajian serius. Khamr sudah pasti mengandung alkohol, namun alkohol belum tentu merupakan khamar. Secara umum, golongan alkohol memang memiliki sifat memabukkan (narkosis). Namun, apabila yang diharamkan adalah zat alkoholnya, maka dampak yang terjadi sangat luas, karena beberapa buah alami juga mengandung alkohol seperti halnya buah durian serta olahan tape dan lainnya dengan konsentrasi alkohol yang cukup tinggi.
Problematika pemanfaatan alkohol dalam industri makanan dan minuman di Indonesia direspon oleh MUI melalui Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol.
Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa minuman beralkohol merupakan minuman dengan kadar alkohol/etanol lebih dari 0,5%. Kadar etanol pada produk akhir minuman ditoleransi sebesar 0,5% selama secara medis tidak membahayakan. Minuman beralkohol yang melebihi batas yang ditetapkan bisa dibilang termasuk dalam kategori najis dan haram.
Berdasarkan fatwa tersebut, alkohol dibedakan berdasarkan sumbernya menjadi dua macam yaitu alkohol hasil dari industri khamr dengan hukum haram dan najis serta alkohol yang dihasilkan dari industri non khamr (baik dari sintesis kimia maupun hasil industri fermentasi non-khamr) maka hukumnya tidak najis dan boleh digunakan selama tidak membahayakan secara medis.
Adanya ambang batas penggunaan alkohol dalam makanan dan minuman tersebut ditendensikan pada penelitian yang dilakukan oleh Ir. Muti Arintawati,M.Si dari lembaga LPPOM MUI Pusat. Penelitian dilakukan berlandaskan hadis tentang nabiz dengan redaksi hadis sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنَّا نَنْبِذُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سِقَاءٍ فَنَأْخُذُ قَبْضَةً مِنْ تَمْرٍ أَوْ قَبْضَةً مِنْ زَبِيبٍ فَنَطْرَحُهَا فِيهِ ثُمَّ نَصُبُّ عَلَيْهِ الْمَاءَ فَنَنْبِذُهُ غُدْوَةً فَيَشْرَبُهُ عَشِيَّةً وَنَنْبِذُهُ عَشِيَّةً فَيَشْرَبُهُ غُدْوَةً وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ نَهَارًا فَيَشْرَبُهُ لَيْلًا أَوْ لَيْلًا فَيَشْرَبُهُ نَهَارًا
Dari Aisyah berkata, “Kami membuat minuman untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bejana minum; kami ambil segenggam kurma atau kismis dan memasukkannya ke dalam bejana tersebut kemudian menuangkan air ke dalamnya. Kami membuatnya di waktu pagi lalu beliau meminumnya di waktu sore, dan jika kami membuatnya di sore hari beliau meminumnya di waktu pagi.” Abu Mu’awiyah berkata, “(membuatnya) di waktu siang dan meminumnya di malam hari atau (membuatnya) di malam hari dan meminumnya di siang hari.”
Dari hadis tersebut, kemudian dilakukan penelitian dengan sampel buah apel, anggur dan kurma dengan perlakuan fermentasi selama 5 hari pada suhu 290C, untuk diukur kadar kandungan etanol, gula, dan fraksi asam pada masing-masing sampel setiap hari. Hasil diukur dengan menggunakan alat HPLC (High Performance Liquid Chromatography).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah proses pemeraman pada masing-masing sampel pada hari ketiga dalam kondisi mikroaerofilik, secara berurutan sampel anggur mengandung 0,76% etanol, apel mengandung 0,76% etanol dan kurma mengandung 0,33% etanol. Kemudian penelitian dilanjutkan hingga hari kelima dan menghasilkan kadar etanol masing-masing sampel masih dibawah 1%. Kadar tersebut tidak menimbulkan efek memabukkan.
Hasil penelitian tersebut kemudian digunakan sebagai pembuktian ilmiah kebolehan penggunaan alkohol dalam pangan halal. Pengunaan alkohol atau turunannya dalam bahan pangan termasuk kedalam titik kritis. Penelusuran titik kritis keduanya dilakukan dengan meneliti SJH (Sistem Jaminan Halal) dalam alur proses sertifikasi halal produk pangan. Ambang batas 0,5% ditetapakan sebagai bentuk ihtiyat atau kehati-hatian dalam memfatwakan produk halal dengan campuran alkohol. (AN)
Wallahu a’lam bis showab.