Beragama Secara Santai

Beragama Secara Santai

Beragama bisa dengan santai. Tidak harus ngotot, kaku dan berapi-api

Beragama Secara Santai

Foto ini saya teruskan dari dinding FB seorang teman. Terlihat para santri duduk memanjang di jalan raya desa Lirboyo menjelang sholat jumat. Bukan karena masjid dan serambi penuh, bahkan beberapa santri memilih menggelar sajadah di jalan sejak awal.

Yang tak terlihat lebih banyak lagi sebenarnya. Jalan raya sepanjang hampir 500 meter dari pondok induk ke komplek paling timur, HM Putra juga berjajar para santri. Barisan sajadah mereka tidak selalu rapat. Kecuali santri yang kebal terik matahari, kebanyakan santri bahkan ustadz memilih berkerumun menggelar sajadah di tempat yang teduh. Ada juga yang menggelar sajadah di bawah pohon, di halaman rumah penduduk, atau dimanapun, asal bisa menghadap kiblat dan nyembung dengan barisan di depan sana, atau di samping.

Ada lagi, santri yang memilih shalat jumat di musholla komplek masing-masing atau di depan kamar jika memungkinkan. Di musholla paling timur Komplek HM Putra tempat saya tinggal, juga selalu penuh dengan santri. Jadi mereka lebih senang sholat di musholla atau di dekat kamar mereka dari pada capek ke jalan raya. Ada satu dua orang biasanya yg berada di jalan raya samping musholla yg secara otomatis menjadi duta imam, sebagai penyambung estafet sholat jumat yg diadakan di pondok induk sana.

Karena berada jauh dari masjid, maka hampir dipastikan khutbah jumat tak akan terdengar. Bagi kami cukuplah 40 orang saja yg mendengarkan khotbah dan itu sudah sah. KH Anwar Mansyur (yang terlihat di gambar di atas) biasanya membaca khotbah singkat dlm bahasa arab. Waktu itu saya yang seringkali jumatan di serambi masjid tidak selalu mengerti isi khotbah, tapi saya yakin apa yang disampaikan berisi ajakan kebaikan, minimal untuk bertaqwa kepada Allah. Khotbah yang disampaikan juga tidak berapi-api dan tdk membentak-bentak seperti sedang berhadapan dengan musuh.

Demikianlah, kewajiban sholat jumat dijalankan dengan santai saja. Tidak harus berbaris rapat, di satu masjid, dan kami tidak diceramahi dengan keras. Beberapa kalimat doa memang berisikan permohonan pertolongan untuk pasukan Allah, mungkin menyesuaikan dengan kontek doa itu dibuat dulu pada zaman Rasulullah. Tapi doa itu dibaca biasa saja oleh khotib. Tangan juga diangkat setinggi dada, tidak lebih dari itu.

Di hari-hari biasa, adzan dhuhur dikumandangkan pukul 2 siang, lalu sholat berjamaah dimulai menjelang ashar. Dulu saya mengira kebiasaan ini hanya agar bisa sekalian sholat ashar. Ternyata setelah saya menikahi gadis Kediri dan beranak-pinak, saya jadi tahu sholat dhuhur jam 2 itu menyesuaikan dengan aktivitas bertani masyarakat. Para petani berangkat ke sawah selepas subuh. Jam 10an matahari sudah terik sekali sehingga sebagian pulang ke rumah, istirahat, tidur sampai jam 2 siang. Setelah sholat dhuhur n ketika matahari udah mulai rendah, sebagian mereka kembali ke sawah menyelesaikan pekerjaan.

*Khoirul Anam, alumni Pesantren Lirboyo dan Ciganjur.