Sebagai jeda dari membaca berita-berita politik dan membaca naskah-naskah akademik saya membaca buku-buku cerita. Saya memilih yang ringan: cerita anak-anak. Salah satu yang saya baca dan khatamkan adalah Sebuah Lorong di Kotaku karya Nh Dini. Buku tipis yang membahagiakan. Saya membelinya bertahun silam, namun baru sempat membacanya beberapa waktu lalu. Jujur saja, setelah mendengar wafatnya Nh Dini.
Membaca “memoar” itu sekilas saya teringat novel Dari Hari ke Hari (Mahbub Djunaidi). Sama-sama bercerita tentang masa kecil di zaman yang sedang kacau karena perang. Bedanya, Mahbub bercerita sambil cekikian, sementara Nh Dini dengan sedikit dramatis. Novel yang menggunakan sudut pandang anak-anak memang selalu menggembirakan. Kegembiraan yang sama, barangkali, kita rasakan saat membaca buku-buku Astrid Lindgren atau Roald Dahl.
Kita bertemu dengan Nh Dini yang polos, lugu dan takjub dengan apapun di Sebuah Lorong di Kotaku. Bagaimanapun mata kanak-kanak beda dengan mata orang dewasa dalam memandang. Kisah berlibur di rumah kakek nenek di Jawa Timur dapat diceritakan dengan menarik oleh Nh Dini. Begitu juga cerita tentang rumah yang ia tinggali, tentang pekerjaan ayahnya, juga tentang karakter suadara-saudaranya.
Salah satu kutipan bagus di novel itu adalah: Sabar dan lapangkanlah dadamu. Jangan selalu mau cepat marah. Ambillah bumi ini sebagai contoh. Dia kita injak, kita ludahi, kita belah, kita tusuk dan kita lukai dengan berbagai alat. Tetapi dia selalu sabar dan diam, selalu memberi kita makanan lezat dan berguna. Nyaris seperti khutbah memang. Tapi jika direnungkan pesan itu cocok sekali untuk kita di masa sekarang, yang boleh jadi menjadi cepat marah, entah karena politik atau cara beragama yang sempit.
Setelah membaca Sebuah Lorong di Kotaku dan Dari Hari ke Hari, saya rasa ada baiknya jika kita menggunakan cara pandang anak-anak dalam beragama. Mereka tulus dan apa adanya, tidak mencampur agama dengan politik praktis, misalnya. Saya punya anak usia dua tahun tiga bulan. Ketika berlibur di Ponorogo, saya ajak ia ke masjid. Faza, anak saya antusias sekali. Begitu dengar azan maghrib ia ambil peci dan minta segera pergi ke masjid. Ini pengalaman pertamanya ke masjid. Di sana ia juga akan bertemu anak-anak seuasianya dan bermain.
Antuasisme Faza saya kira kontras sekali dengan status Facebook kawan saya. Ia bercerita baru saja bertemu dengan khutbah Jumat yang membakar. Sudah udara Jumat siang panas sekali, masih ditambah dengan khutbah yang tak kalah panas. Apalagi jika bukan soal politik dan caci maki untuk presiden (seorang kawan lain berseloroh: janganan khutbah Jumat, khutbah nikah saja sekarang disisipi pesan-pesan politik). Saya tidak tahu, ketika Faza dewasa kelak apakah ia akan berjumpa hal-hal serupa itu. Apakah ia nanti masih akan seantusias ini pergi ke masjid? Di masa ketika mimbar-mimbar masjid berubah menjadi mimbar-mimbar politik.
Belum lama, Kalis Mardiasih membagikan foto sampul buku terbarunya: Berislam seperti Kanak-Kanak. Saya belum membaca buku itu tapi judul buku itu benar belaka. Beragama seperti kanak-kanak adalah beragama tanpa kebencian terhadap kelopok lain. Beragama dengan gembira, tanpa prasangka. Yang melihat segalanya sebagai “permainan dan senda gurau”, tak perlu terlalu serius dan spaneng, tak perlu marah-marah. Selaras dengan judul buku Acep Zamzam Noor: Islam Santai.
Perwujudan Islam Santai atau beragama dengan riang gembira juga bisa kita jumpai pada buku yang ditulis Ahmad Khadafi, kolega saya di kampus. Ia menulis buku Dari Bilik Pesantren. Sebuah buku yang mengungkap sisik melik pesantren. Buku itu begelimang humor segar khas pesantren, bukti betapa “santai” kaum sarungan dalam beragama. Dari Bilik Pesantren adalah sebuah rekaman bagaimana moderasi Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tentu saja melalui pesantren, lembaga pendidikan yang sangat unik dan khas.
Begitulah, semoga tahun politik tidak membuat kita lupa bergembira, pun dalam beragama. Semoga Indonesia baik-baik saja.
Selamat tahun baru. Bahagia selalu. Jangan ribut melulu.