Beragama dengan Akal

Beragama dengan Akal

Beragama mesti dengan nalar. Karena dengan kebaikan yang dibawa agama bisa tersampaikan

Beragama dengan Akal

Sejak dahulu, meski tanpa pengetahuan yang memadai, saya tidak pernah percaya bahwa Nabi Muhammad Saw menyematkan kata “kafir” kepada non muslim.

Saya berpatokan bahwa Rasulullah adalah manusia suci dan ketika kesucian beliau bersumber dari sang Maha Suci, maka dirinya selalu berada dalam kebaikan. Beliau diturunkan bukan untuk meng-Islamkan manusia, tetapi memperbaiki ahlak dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Jalan yang dibawanya adalah keselamatan atau Islam, sebagaimana Nabi-nabi yang lain juga membawa jalan keselamatan yg sama kepada umat manusia pada zamannya.

Dan ketika pengetahuan saya bertambah, saya menemukan banyak hal yang mendukung bahwa kata “kafir” itu disematkan kepada mereka yang perilakunya keluar dari tuntunan Tuhan dan Rasul-nya. Itu berlaku juga kepada umatnya sendiri.

“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalku…” Perkataan ini bukan ditujukan kepada non muslim tetapi kepada umatnya dan secara spesifik kepada mereka yang meng-klaim sebagai sahabat-sahabatnya yang berjumlah puluhan ribu orang itu.

Begitu juga dengan bahasa “Jangan menjadikan Yahudi dan Nasrani..” bukan kepada mereka yang Yahudi dan Nasrani secara keseluruhan, tetapi kepada para pendeta-pendeta dan pengikutnya yang dulu menentang dan memerangi beliau. Dalam ayat lain, Nabi Muhammad Saw juga menyampaikan firman Tuhan, bahwa Yahudi dan Nasrani tidak perlu bersusah hati karena Tuhan memberikan perlakuan yang sama kepada mereka.

Adapun ayat yang tidak membolehkan mengangkat Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah hal yang sangat wajar karena umat Islam harus dipimpin oleh Islam sendiri dalam wilayah ke-umat-an, seperti halnya umat Yahudi dan Nasrani dipimpin dari kalangan mereka sendiri. Jika agama di ibaratkan “manual book”, maka jelaslah yg bisa menjelaskan petunjuk itu adalah dari kalangan sendiri.

Tetapi yang terjadi sekarang bahasanya selalu di-generalisasi, dibuat seolah-olah keseluruhan, apalagi dibumbui oleh kepentingan. Padahal kalau kita pakai analogi sederhana ketika ada yang bilang, “Orang batak itu keras .. ” Itu tidak berlaku bagi semua, tapi pandangan rata-rata. Buktinya saya yang batak ini berperangai halus, santun dan imut tak berkesudahan. (Bentar, nyisir dulu…)

Ketidak-mampuan mereka yang menerjemahkan sesuatu berdasarkan konteks “kapan”, “dimana” dan “pada saat peristiwa apa” ayat dan hadis itu dikeluarkan, membuat banyak orang terjebak pada teks saja. Parahnya lagi banyak yang ho oh saja ketika ustadnya mengisi otak mereka. Yang penting si ustad berjenggot, jidat kapalan dan celana cingkrang, itu sudah patokan kebenaran.

Beragama itu sesungguhnya dituntut cerdas, karena itulah manusia disematkan akal untuk memahaminya. Jangan menjadi kerbau yang nurut saja ketika dibawa ke tempat pembantaian. Logika-logika harus penuh dulu sebelum meng-imani sesuatu.

Beragamalah seperti secangkir kopi. Ia bisa berada di kalangan menengah bawah sampai atas, tapi ada satu hal yang tidak bisa lepas darinya, yaitu kenikmatan.